Senin, 17 Februari 2014

(Tentang) Gombal Suwek

Bekasi, 25 Januari 2014

Teruntuk Wulan Martina

Wul,
          Aku mau cerita.
          Ada seorang nenek yang menarik perhatianku. Nenek ini berjualan lesehan di pasar dekat Stasiun Klender. Tidak seperti pedagang yang lain, Nenek ini tidak berusaha menarik orang-orang yang lewat. Ia tidak berusaha menawarkan dagangannya semisal, “Beli apa, Bu?” atau apa. Ia pun tidak mencari mata (calon) pembeli—menurut teoriku, pedagang perlu mengadakan kontak mata dengan (calon) pembeli agar si Pembeli menaruh perhatian.
          Si Nenek tidak melakukan itu. Tidak melakukan apa pun selain duduk ndhengkluk, kadang-kadang tidur malah.
          Yang tak kalah menarik, produk jualannya ganti-ganti. Pernah ia jualan melon lalu ganti salak. Beberapa hari kemudian ganti bawang merah, dan seterusnya. Aneh nggak, sih? Menurutku aneh. Biasanya orang akan menjual salah satu (jenis) produk saja.
          Melihat Nenek ini, lantas terlintas di pikiran, “Duh, kasihan Nenek ini. Sudah tua masih harus berjualan di jalan. Ke mana anak dan cucunya?”
          Berikutnya, aku sangsi sendiri. Benarkah aku harus mengasihaninya? Bisa jadi itu yang membuatnya bahagia, kan (karena dia punya kegiatan, dsb)? 
          Selanjutnya, aku teringat orang tuaku. Bagaimana orang tuaku nanti? Bagaimana aku akan memperlakukan mereka? Tidak membiarkan mereka melakukan apa pun hingga alzheimer menyerang (konon orang tua yang tidak memiliki kegiatan justru lebih mudah terkena alzheimer)?
          Aku lantas membayangkan aku. Bagaimana aku akan diperlakukan oleh anak-anakku kelak? Bukankah ada saatnya kita tak berdaya—tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain? Aku kemudian merasa seperti gombal atau kain lap yang sudah nggak bisa dipakai. Jadilah tulisan berbahasa Jawa ini. Mengapa berbahasa Jawa? Entahlah, begitu saja.

Gombal Suwek
aku saiki koyo gombal suwek (aku sekarang seperti kain lap yang sobek)
dadi wong ora kanggo (jadi orang tidak berguna)
arep opo (mau apa pun)
arep nyandi-nyandi (mau ke mana pun)
kudu njawil uwong
njaluk tulung (harus meminta bantuan kepada orang lain)

aku iki gombal suwek (aku ini kain lap yang sobek)
ora enek regane (tidak berharga)
ora iso midhak ning sikile dewe (tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri)

aku gombal suwek (aku kain lap yang sobek)
aku musti kepiye? (aku harus bagaimana?)

paringono ngapuro, Gusti… . (minta maaf, Tuhan)
nyuwun pangapunten, Gusti… . (mohon ampun, Tuhan)



p.s.:
sudah sejak Desember akhir aku tidak melihat si Nenek itu lagi. 


8 komentar:

  1. Kasian Neneknya :(
    semoga diberi umur yang panjang :)

    mbak aku lebih suka daster suwek,, semriwiiing :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagaimana kalau berjualan itu membahagiakannya?

      btw, aku amini doanya.. :')

      Hapus
  2. aku kok ngilu sedih baca tulisan ini, tapi salut buat Nenek itu :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku sih melihat dia unik. sayangnya, sampai saat ini dia nggak ada di pasar lagi. nggak sempat aku foto..

      Hapus
  3. :( tulisanmu bagus banget. aku tersentuh. semoga si nenek menemukan tempat terbaiknya ya.

    eh, iya, besok nulis bertema "buat tukang pos yang pengen diajak kencan #NaikAgya"yaa :D
    semangaattt

    - ika, tukangpos

    BalasHapus
  4. Sedihhh ... Semoga si Nenek sedang dirawat dan diurus sama anak dan cucunya di rumah.

    BalasHapus