Senin, 30 September 2013

Justifikasi Kesedihan

Orang pertama                           : Mengapa wajahmu tampak bersedih?
Kamu                                        : (heran) Tidak, aku tidak sedang sedih.
Orang kedua                              : Ya. Mengapa kau bersedih?
Kamu                                        : (bingung) aku tidak… .
Orang ketiga                              : (memotong) Sudahlah, akui saja. Kamu pasti bersedih.
Kamu                                        : (makin bingung) Apa yang harus kuakui? Aku… .
Orang pertama, kedua, ketiga      : (menyela hampir bersamaan) kamu bersedih!
Kamu                                        : (mulai ragu) Em, apa iya?
Orang pertama, kedua, ketiga      : (mantap) Ya. Tidak salah lagi!
Kamu                                        : (berpikir) Barangkali.
Orang pertama, kedua, ketiga      : Jangan ragu-ragu!
Kamu                                        : (tatapan melayu; suara lirih saja) Ya…, aku sedih.
Orang pertama, kedua, ketiga      : (mengangguk-angguk)
Kamu                                        : Tapi sedih untuk apa?
Orang pertama                          : Itu bagian paling menyedihkannya. Kau tak tahu bersedih untuk apa.


Minggu, 29 September 2013

Imah Pencuri Mukena


Imah kecil berlari kecil
pulang
bawa mukena hasil curian
dari musolla

Imah kecil berlari kecil
pulang
mukena lamanya tak lagi masuk badan
pula robek-robek di tiap bagian

Imah kecil berlari kecil
pulang
untuk salat Magrib
dan tegakkan tiangnya.

(25 Mei 2004)

Sabtu, 28 September 2013

Apa Kabar Pondok Bambu


Ketika ku pergi
aku meninggalkan jejak yang rontok
dan hingga kini masih menempel
tanpa ada kejelasan
apakah dia baik-baik saja

(16 September 2005)

Jumat, 27 September 2013

Istrimu (nantinya)


Jakarta, 1 Februari 2013

Teruntuk suami
Di masa depan

Hai, Tuan,
          Selamat datang di duniaku. Kautahu, Tuan, tanganmu itu istimewa. Ia yang akan aku salami dan kukecup tepat di tengahnya tiap hari.
          Hidungmu pastilah istimewa. Ia yang akan menciumi aroma keningku tiap pagi saat kau berangkat kerja dan sore ketika kau pulang kerja.
          Lenganmu itu, Tuan, pastilah istimewa. Ia yang akan kugamit ke mana-mana sewaktu pergi bersama.
          Pun punggungmu, Tuan. Ia tentu istimewa. Tempat aku meletakkan kepala dan bersandar.
          Belum lagi hatimu, Tuan. Tempat hatiku bersemayam. Belum lagi benakmu, Tuan. Tempat buah-buah pikir melayang. Belum lagi matamu, Tuan. Tempat mengunci diriku utuh. Belum lagi… ah, Tuan, belum lagi buah hati kita nantinya. Perpaduan kita.
          Dengkurmu, Tuan, melodi khas malam hari. Tawamu, Tuan, pelecut semangat tanpa henti. Marahmu, Tuan, kala introspeksi dan kala kita lebih saling mengenali. Nyanyianmu yang sumbang itu, Tuan, barangkali akan kukata-katai untuk aku rekam dan kuputar berulang-ulang dalam hati.
          Kautahu, Tuan, kau tidak sempurna. Akulah yang melengkapimu. Pun aku. Aku tidak lengkap. Kamulah yang menyempurnakanku.

Hai, Tuan, imamku dalam ibadah dan dalam kehidupan sehari-hari,
          Marilah kita berjalan. Kamu ke arahku, aku ke arahmu. Dari tempatku memandang, kita begitu dekat. Bukankah bumi kita sama?

Tertanda,

istrimu (nantinya)

Kamis, 26 September 2013

Teruntuk Penyuka Kaligrafi


Semua adalah aksara yang hidup
berirama
dan bermahkota
layaknya seorang putri
yang kemilau cantiknya

(2005)

Rabu, 25 September 2013

Pertemuan Para Njonjah

          Emmm..  ini sudah berapa tahun, ya, sejak pertemuan para nyonyah di Warung pasta Rawamangun tanggal 21 September 2013?
          Duh, lama betul!
          Ketika menulis ini, kami sedang beristirahat di tempat peristirahatan tol palikanci. Bukan, bukan, kami bukan naik mobil. Syukurlah kami cukup dana untuk menyewa helitaksi (taksi helikopter itu, lho! Dulu populer di Brazil karena di sana macetnya ampun-ampunan). Kami dari Leiden, jemput Filo dari kuliah musim panasnya di sana.
          Tahu kami akan ke mana?
          Menuju Kudus!
          Bisa kautebak untuk apa?
          Bikin menara tandingan?
          Oh, bukan.
          Bikin pabrik rokok tandingan?
          Bukan jugaaa… .
          Aku dalam perjalanan melamar Rava!
          Baik, baik, aku jelaskan.
          Rava seorang gadis hitam manis rendah hati yang memiliki nama lengkap Rava Renaka. Awalnya, namanya merupakan guyonan ayahnya belaka. Ia memelesetkan ra pareng nakal (Jawa: tidak boleh nakal). Iseng memang ayahnya. Ibunya tak kalah nyentrik. Ia menamai anak lelakinya Dikti, lengkapnya Diktionari. Mentang-mentang pengajar bahasa Inggris gitu? :D
          Semula aku tak menyangka Kukuh (Kukuh Priyambodo), anak ketigaku, berhasil merebut hati putri si Nyonya Toa Konde Gelinding Wahyu Nur Indah Kurniasari dan Jemy Panopo. Entah apa yang diperbuatnya! Yang jelas, sih, aku senang karena ini artinya tanpa perjodohan pun anakku dan anak si Nyonyah jatuh cinta! Haha… .
          Tahun 2013 aku memang sering berkelakar akan menjodohkan anak-anakku dengan anak karibku. Tahukah kau, hal itu terjadi sekarang?
          Anak pertama dan keduaku kembar: Ala (Niala Mentari) dan Ata (Niata Bumi). Seperti yang sudah kurencanakan, keduanya berjodoh dengan anak kerabatku. Malah Ata dengan kreatif sudah berpacaran dengan Al (Afkari Syakha Al Labiby), anak bundbund—sebutanku untuk Mb Firda—sebelum dijodohkan! Bagus, Nak! Hahaha… . Sekarang mereka sudah menikah, alhamdulillah.
          Sementara itu, Ala (Niala Mentari) terpikat hingga akhirnya menikah dengan Lazuardi Syaki Ahmad, adik dari Anindya Haura Syaki Ahmad. Ya, anak kedua mb Itaw—panggilan untuk Mb Wati Yunita. Huaaaah…  kau tak tahu betapa gembiranya aku!
          Sekarang?
          Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju rumah Mb Weye untuk mengantarkan Kukuh mempersunting Rava!
          Sebentar, Langit mendekat.
          … .
          Oke, lanjut.
          Langit (Langit Tegar Cakrawala) tadi menyorongkan telepon, “Ma, Ande Epi.” Aku sudah mengerti. Itu telepon dari Uni Epi. Hahaha… kamu bisa nebak, ya?
          Iya. Langit jatuh cinta dengan Etra (Elektra Antartika), putri Uni Epi. Jika mereka jadi, aku cukup ke Karawang saja, tidak perlu ke Pariaman sana. Untunglah. Aku tidak membayangkan jika Langit jatuh cinta dengan Moni (Monilia Sitophila), putri Mb Sari. Kalau dengan Moni, aku harus bersiap ke Kalimantan!
          Filo (Filosofia Semiotika Semesta), yang kami jemput dari kuliah musim panas di Leiden merupakan anakku nomor lima. Ia sedang didekati dua orang (setahuku): Fahri, anak Mb Indah, dan Bintang, anak Mb Endah. Nggak tahu, deh, nanti bakal jadi dengan siapa. Em, tapi kupikir sebenarnya Fahri ketuaan untuk Filo. Eh, tapi nggak apa-apa juga kali, ya, prianya lebih dewasa kayak Al (anaknya Mb Firda).
          Yang memusingkan, anak bungsuku, Awan. Lengkapnya Awan Senjahari. Awan ini anak yang tidak kami rencanakan. Maksudnya, aku dan suamiku merencanakan kami memiliki lima anak. Allah percaya sekali kepada kami hingga Awan didatangkan kepada keluarga kami.
          Jika Langit sering bolak-balik ke Rumah Tahfidz Mb Estri di Karawang (semoga ini bukan modus dia mampir ke rumah Uni Epi), Awan lebih suka nge-blog. Awan memang unik. Ia memanggilku suka-suka, tergantung lagi dekat atau jatuh cinta dengan siapa. Dia pernah menyebutku ibu, bunda, mama, sampai umi. Entah, ya, kalau dia jatuh cinta dengan anak yang memanggil ibunya “simbok”. Hadeuuuh… .
          Tentang Awan, bukan ia tak memiliki kepribadian karena panggilannya berubah-ubah, menurutku, melainkan ya.. memang kepribadiannya begitu. Hahaha… tauk, deh, dia mirip aku atau ayahnya.
          Oh, ya, kau tahu siapa yang dimodusin Awan di blognya?
          Cucunya Pak Anto!
          :O

(Palikanci, 2044)
  
bersama Uni Epi

bersama Mb Weye

bersama Mb Weye, Mb Itaw, bundbund, dan Mb Arma

ketika memberikan kado pernikahan untuk nyonyah.
foto ini diambil candid, tetapi semua pandangan bisa fokus semua! :D

aku suka ekspresi mereka!


Kalau kita bisa memperpanjang usia jodoh, mengapa harus diakhiri?
Selalu ada cara agar jodoh tak berakhir lekas-lekas.
Ah, belum-belum, aku sudah merindukan kalian, para besankuuu..

Uwuwuwuwuw.. ~~~ (/’3’)/

Senin, 23 September 2013

Menjadi Kenangan


ternyata menjadi kenangan itu tak mudah
karena bersyarat harus berkesan
bagi hati sesosok insan.

ketika naif menjadi diri
segala kebutaan akan kian liar
memuncak dan cabik-cabik kepala

(21 Januari 2005)

Minggu, 22 September 2013

Rumput Liar di Taman


Sebagai aku
rumput liar di taman
            kaupangkas
            aku tumbuh lagi
                        aku ini bebas!
Taman ini mengaturku
sebagaimana rumput yang baik
            kaubakar
            aku hidup lagi            
                        aku ini kuat!

(11 November 2003)

Jumat, 20 September 2013

Kompromi

          Mengingat salah satu adegan di film Kuch-kuch Hota Hai membuatku sangat pedih: adegan ketika Anjali Sharma berkata kepada ibunya, “Ini kompromi” sambil menunjukkan cincin di jari manisnya.
          Kompromi.  
          Tentu para aku sadar betul hal semacam itu mungkin terjadi. Sangat. Seseorang menikah meski tidak ada cinta, berpikir cinta akan tumbuh. Witing tresno jalaran soko kulino (cinta tumbuh karena sering bertemu). Alah bisa karena biasa. Kamu jalani hidupmu dimulai dengan membuat dirimu mencari cara mencintainya, mencari keindahan pasanganmu agar kau bisa mencintainya. 
          Cintamu sendiri?
          Kaunetralkan (dalam taraf usaha, tentu).
          Kompromi bukan suatu hal yang salah. Cuma pedih. Hahaha… .
          Em, tetapi aku percaya, ketika seseorang berada dalam situasi semacam itu, memang itu yang terbaik—lagipula itu pilihannya (ah, lain soal nanti bicara pilihan sebagaimana ada yang bilang: lain perkara jika kau bicara “mencintai” dan “bersama”).
          Satu hal, bila pada akhirnya kau memilih jalan kompromi, netralkan perasaanmu kepada dia yang kausebut cinta. Minta bantuan kepada pencipta rasa dalam dirimu—Mahakuasa. Jika tidak, bagaimana kau bisa bahagia? Bagaimana kalian bisa bahagia?

(17 September 2013)


Kamis, 19 September 2013

Cukup Jatuh Cinta Saja

cukup jatuh cinta saja
dan kautahu kau dogol.

          Kala kaudeklarasikan dirimu jatuh cinta, kau mulai merasa dunia ini tidak aman. Titik percaya dirimu melorot ke nol derajat. Kau berpikir kau dogol—ah, malah kau tak sempat lagi berpikir.
          Kau banyak menulis. Di awan kau menulis. Di pasir kau menulis. Di langit kau menulis. Di udara kau menulis. Di angin kau menulis. Di tembok jembatan tol kau menulis.
          Kaucemas ia tak bisa baca. Kalaupun bisa baca, kaucemas ia tak cakap menafsir. Kalaupun bisa menafsir, kaucemas tafsirannya berbeda dengan kehendakmu.
          Jatuh cinta membuatmu bersedia menempatkan diri dalam ranah ketidakpastian. Belum lagi sensitivitasmu yang menanjak signifikan. Selembar kata “oh” saja bisa membuatmu uring-uringan—atau sebaliknya: membuatmu tersenyum-senyum sendirian. Sinting.
          Ketika kau bersepakat bertemu dengannya, misalnya. Kau rajin menghitung mundur menuju hari pertemuan. Kau menjelma penghitung yang piawai.
          Kau menemukan hatimu pecah saat hari itu ia memutuskan tidak datang. Kau lantas berpikir kau tak cukup berarti baginya padahal ia sentramemori makhluk pelupa yang perlu memori eksternal macam kau. Ya, kau pelupa yang ingat banyak hal tentangnya.
          Beberapa orang temanmu berpendapat, “Hentikan menantinya! Itu cuma memperparah diri!” Beberapa lainnya bilang, “Mana logikamu? Mana? (“masih berlibur?”) Seberapa pantas ia kaunanti?”
          Kau malah makin mencintainya dengan begitu keras kepala.
          Ya, kau dogol.

(17 September 2013)


Rabu, 18 September 2013

Si Adek Nonton Konser

          Sabtu pagi (14 /9) gaduh. Si adek mau nonton konser girl band Korea itu. Ini pertama kalinya ia menonton konser—sekaligus pengalaman pertama keluarga kami ada anggota yang mau nonton konser. Mama sibuk memberi komando semacam, “Pak, itu telurnya digoreng buat bekal!” atau “Kamu tempatin minumnya, Dek. Itu tempatnya udah Mama siapin”.
          Ya. Bapak ikut nyemplung  ke dapur menyiapkan sarapan dan perbekalan adek nonton konser—ehm, sebenarnya emang Bapak biasa terjun ke dapur, sih... . Doi lebih jago masak dibanding semua perempuan di keluarga kami (Mama, aku, dan adek).
          “Daripada jajan di sana. Mahal doang, kenyang nggak,” begitu alasan Mama. 
          Sambil menyiapkan ini-itu, Mama komat-kamit memberi pesan, “Hati-hati di sana, Dek. Waspada. Gini hari berangkat, emang konsernya jam berapa, sih? Apa? Konsernya masih kapan tahu kok gini hari udah sibuk? Nanti kamu di sana ngapain? Duduk apa berdiri? Duduknya di mana? Lah, kalau jalan-jalan, ntar tempat duduknya didudukin orang gimana? Terus, itu kalau nonton, ngapain aja? Eh, kamu mau nasi uduk? Itu roti tawarnya dibawa.”
          Menurutku, adalah sebuah keajaiban Mama bisa melepas anaknya nonton konser. Biasanya, itu hal mustahil! Mama pencemas keterlaluan soalnya. Dengar anaknya jatuh aja bisa bikin jantungnya melorot sampai ke kaki (ehm, naudzubillah min dzalik, tapi maksudku, beliau memang pencemas banget!). Sebelum pergi ke mana-mana, selalu akan ada interogasi. Pertanyaan pasti: ke mana, sama siapa, anak mana, rumahnya di mana, ngapain aja, pulang jam berapa, kalau beliau bisa nelepon atau SMS mungkin akan tanya nomor telepon kawan pergi kami. Begitulah.
          Keluarga kami memang begitu. Satu punya acara, semua repot. Mama dan Bapak akan berupaya kami keluar rumah dalam keadaan siap dan memastikan kami aman.
          Oh, ya, sementara Mama dan Bapak sibuk menyiapkan keperluan adek itu, aku tidur-tidur ayam. Ketika akhirnya bangun dan keluar kamar, melihat penampilan si adek dan bawaannya, aku ketawa ngakak.  Si adek siap berangkat konser dengan tas ranselnya dan goody bag berisi makanan: roti tawar seplastik, minum dua botol, nasi uduk dan lauk (aku malah pernah datang ke pesta buku Jakarta dengan bekal sayur asem! Sayur favoritku, sih, emang, hehehe..), dan entah apalagi.
          “Kamu mau kemping di mana, sih?” komenku. “Hahahaha… .”
          Em, meski begitu, aku tahu dan sadar betul, yang dia bawa itu bukan sekadar bekal, melainkan cinta orang tua kami. Entahlah, kurasa, orang tuamu begitu juga. Cuma mungkin caranya yang beda. Ya, kan?
          Terima kasih, Mama dan Bapak. Kami siap keluar. :)


Untuk adek:
Ciye naik angkot ciyeee~
Mabok, nggak? Hahahaha..
*biasanya doi nggak lepas dari Abang (motor kami) soalnya*
Btw, syukurlah keinginanmu terwujud, dudz.. :’)

(14 September 2013)

Selasa, 17 September 2013

yang dikeluhkan matahari


Yang dikeluhkan matahari
adalah
berapa kali pun ia berusaha mengeluh
ia tetap tak memiliki keluhan

Ia lantas berjalan
dari keluhan ke keluhan.

(Rawamangun, 8 Maret 2013)

Senin, 16 September 2013

Mengapa Anak Kecil Menyukai Balon?


Mengapa anak kecil menyukai balon?
Karena balon berwarna-warni.

Mengapa anak kecil menyukai balon?
Karena balon bisa mengangkasa tanpa jeda.

Mengapa anak kecil menyukai balon?
Karena balon itu bebas melanglang buana.

Mengapa anak kecil menyukai balon?
Karena balon itu ringan dan balon yang diberi beban
merupakan balon yang malang.

Mengapa anak kecil menyukai balon?
Karena balon itu cinta.


(Rawamangun, 8 Maret 2013)

Minggu, 15 September 2013

Konyol

Kurasa kita tak harus menjadi Mr. Bean
untuk melakukan hal-hal konyol

Cukup jatuh cinta saja
dan kautahu kau dogol.

(9 September 2013)


Sabtu, 14 September 2013

Bosan Menjadi Perantara

          Matanya!
          Kuamati matanya. Penuh—entahlah—cinta. Penuh puja. Penuh sepenuhnya.
         
          Tegaknya!
          Punggungnya terpancang lurus. Ketertarikan sempurna. Delapan orang pria menariknya pun tak akan membuatnya beranjak.
         
          Senyumnya!
          Melengkung itu senyumnya. Ia pemalu si irit tawa pengulum senyum.
         
          Aku bosan!
          Aku bosan!
          Sayang, aku bosan!
          Matanya (matamu), tegaknya (tegakmu), senyumnya (senyummu), bukan buat aku!
          Segala yang kaubuat itu bukan ditujukan untukku. Kau hanya anggap aku perantara. Aku bosan jadi perantara! Mengapa tak kauucap sendiri saja kepadanya?
          Sayang, aku bosan menjadi perantara!
          Tiap hari kaubaca tulisannya, kauresapi kata-katanya, kaukomentari dalam hati, kaubalas dengan tulisan lain, tetapi tidak pernah kausampaikan! Malah kausimpan saja dalam tubuhku. Mau sampai kapan, ha? Terus saja kau peralat aku dan kata-kat~
         
          “Kau berisik!”
          Ia menekan shut down.


(8 September 2013)

Jumat, 13 September 2013

Cinta Tak Mampir Hari Ini

          Kayaknya kita perlu kaji ulang hubungan bilateral kita, deh! Barangkali bisa dengan teori psiko dan pisau bedahnya semiotik. Simbiosis yang kita jalin jangan sampai parasitisme. Perlu solusi agar mutualisme. Bisa?
          Kembali ke bilateral kita, mari kita bahas masalah sosial hingga pertahanan keamanan. Oh, ya, perbaiki kerja sama domestik. Kita tahu kita bisa.
          Baik, baiklah. Ekonomi pun krusial untuk dibicarakan. Aku berusaha logis, kau (semoga) berusaha fungsikan rasamu.
          Dari kajian bilateral ini, diharap tidak berakhir dengan fraktura hepatica. Perlu plester luar biasa itu.
          Secara hukum, tubuhmu memang memiliki otoritas sendiri, tetapi bukankah ada yang disebut hablum minannaas?

          Pasal 1: “aku selalu benar”;
          Pasal 2: “jika aku salah, kembali ke pasal 1.”

          Secara matematis, aku + kamu = kita. Kecepatan menjadi “kita” berbanding lurus dengan jarak dan berbanding terbalik dengan waktu.
          Kamu adalah hutan. Aku rasamala dalammu.
          Ini kuberikan peta. Kamu tahu tempatku berada.

(tulisan ini merupakan kumpulan twit yang berlandaskan iseng dan sotoy mencampuradukkan ilmu kawan-kawan yang muncul di linimasa. Bila ada kesamaan dan ketepatan keilmuan, berarti baguslah. Aku nggak ngaco amat gitu.. hehehe)

-6 September 2013-