Kamis, 30 Mei 2013

Mei yang Tua

Mei yang tua, Mei yang tua,
Bernyanyilah!

Mei yang tua, Mei yang tua,
Menarilah!

Mei yang tua, Mei yang tua,
Berbahagialah!

Mei yang tua, Mei yang tua,
Mengingatlah!

Mei yang tua, Mei yang tua,
Bersyukurlah!

Mei yang tua, Mei yang tua,
Mengharaplah!

dan ini Mei merayap pelan-pelan

kita tidak sadar sudah kehilangan.

Rabu, 29 Mei 2013

Surat dari Ubud

Surat dari Ubud datang hari ini.
Beritanya sudah kudengar sebelumnya.
Tetap saja bahuku melorot.
Kubiarkan beberapa menit ia begitu.
Setelahnya, kugenggam diriku lalu berkata,
“Ini barangkali tentang selera.
Namun, yang harus kuingat,
aku bukan cuma harus belajar,
melainkan aku bisa belajar dan memang harus belajar banget.”


Aku tidak mau langkahku berhenti.

Jumat, 24 Mei 2013

Dia yang berfoto paling belakang itu

Kamu.
Ya, kamu.
Yang berdiri paling belakang di foto itu.
Aku… .

(memencet tanda silang di sudut kanan foto) 

Kamis, 23 Mei 2013

Tokoh Utama

Dia berkata dia menyukai gadis itu.
Sayangnya, Sang Gadis menyukai orang lain.
Dia lesu.
Perasaannya kacau
dan sebentar-sebentar ia meracau.

Ini yang mau kubilang kepadamu, Lelaki,
“Barangkali di kisah itu
kamu figurannya.
Memang bukan jatahmu menjadi peran utama di situ.
Namun, akan ada saatnya kaupunya kisahmu sendiri.
Ketika itu,
tentu di kisahmu tokoh utamanya
adalah kamu.
Sabar, Lelaki, tokoh utama wanitamu
sedang menunggumu.
Sekarang, berjalanlah.” 

Sabtu, 18 Mei 2013

bila kata-kata terlontar


Bagiku,
bila kata-kata terlontar
berarti memang semestinya
ia keluar.

Bila kata-kata yang terlontar sampai
berarti memang semestinya
ia sampai.

Bila kata-kata yang terlontar sampai sesuai dengan makna yang dimau
berarti memang semestinya
demikian.

Pun sebaliknya.

Aku nggak mau memaksa kata-kata di draft ini keluar bila mereka belum ingin.

Jumat, 17 Mei 2013

Putri Kecil Ayah


Berapa pun umurmu,
berapa pun tinggimu,
apa pun jabatanmu,
ke mana pun terbangmu,
kamu tetaplah putri kecil
bagi ayahmu.


Terima kasih, Ayah… .
Semoga hidupmu berkah.

Selasa, 14 Mei 2013

"Mantan dilarang masuk"


          Aku cemburu. Di dadamu ada plang bertuliskan “Selain mantan, dilarang masuk”. Aku ambil spidol permanen dari tempat pensil. Kucoret kata selain. Jadinya “mantan dilarang masuk”. Soalnya, kalau aku dilarang menembusi dadamu, di mana aku harus meletakkan kebahagiaan?

Tiap orang memang punya jalan kebahagiaannya sendiri.
Semoga kita berada di jalan yang sama dan menempuhnya beriringan, ya, kamu.. :))


Senin, 13 Mei 2013

Cuma Mau ke Semanggi


          Hari ini aku mau kopdar dengan Aprie dan Riesna di Plaza Semanggi. Ah, tak sabar rasanya bertemu dengan orang di balik akun @AprieJ dan @Riesna_ itu. Seperti apa, sih, mereka? Nyatakah mereka?
          Transjaka berjalan dengan lambat. Jakarta. Macet. Kau pasti sudah paham, kan?
          Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di bagian khusus wanita ini memang semua penumpangnya wanita: anak-anak, remaja, hingga dewasa.
          Petugas pintu transjaka di sini bernama Rizky Cahyadi S. Tertera di label yang terpasang di dadanya. Wajahnya cukup lumayan. Barangkali jika ada pencari bakat di transjaka ini tentu akan mengontraknya saat ini juga. Tubuh tinggi tegap, kulit putih, potongan rambut rapi, dan sekilas tadi kala aku masuk kubaui aroma parfum segar menguar dari tubuhnya. Tambahan pula, ketika ia menyebut pemberhentian, suaranya terdengar sangat empuk. Tipikal pennyiaar radio yang sabar menghadapi ibu-ibu penelepon yang titip salam.
          Pandanganku beralih ke depan. Kendaraan tak bergerak. Selang beberapa detik, tampak segerombolan orang-orang berlarian dari arah depan. Mereka berlari sambil meneriakkan sesuatu. Sayangnya, teriakan mereka belum mencapai kami. Rupanya tidak hanya aku yang penasaran. Hampir seluruh penumpang menancapkan pandangan ke satu titik.
          “Ada apa, Mbak?” tanya ibu yang duduk di depanku. Karena duduk, ia tak bisa melihat jelas yang terjadi.
          “Nggak tahu, Bu,” jawabku sambil mencari-cari sebab mereka berlarian itu.
          “MONSTEEERR!” jerit salah seorang di antara mereka kala sudah mencapai bus transjaka yang kunaiki. Tidak, tidak, ia tidak naik. Ia hanya melintas dan terus berlari seperti orang kesurupan. Aku penasaran. Monster? 2013? Jakarta?
          Kufokuskan pandangan. Tampak jauh di depan sana ada sesuatu yang bergerak-gerak menuju ke arah kami. Semakin ia mendekat, semakin jelaslah wujudnya. Tubuh besar berwarna abu-abu kehitaman. Ia memiliki moncong dan ekor yang panjang. Langkah berdebumnya membuat getaran seperti gempa. Orang-orang di transjaka ini mulai panik. “AAAAAAKK… . MONSTERRRR!”
          “Tenang, Bu, tenang,” Rizky Cahyadi S, si petugas pintu transjaka menenangkan kami. “Itu bukan masalah.”
          “Bukan masalah bagaimana?” seorang perempuan berusia 30-an dengan baju biru berkata dengan gusar.
          “Itu cuma Momo Si Komo,” sahut Rizky Cahyadi S dengan tenang.
          “Hah? Momo Si Komo?” kali ini aku yang bertanya. “Dikata lagu, kali!”
          “Mbak masih percaya kalau dia cuma tokoh dalam lagu setelah melihat sosoknya di depan sana?” tanya Rizky Cahyadi S meruntuhkan dugaanku semula. Ia mengarahkan pandangan ke Momo Si Komo yang semakin dekat. Aku mengikuti arah pandangnya lalu ngeri sendiri. Ia paham kemudian katanya ke seisi bus, “Bapak-Ibu tenang saja. Saya akan mengusirnya.”
          “Loh, gimana caranya?” tanya ibu-ibu yang duduk di depanku yang sempat juga bertanya tadi. Rizky Cahyadi S hanya tersenyum penuh arti menanggapi pertanyaan ibu itu. Tiba-tiba transjaka berguncang lagi. Ia bergerak-gerak. Aku mengeratkan pegangan. Dengan posisi berdiri seperti ini, aku bisa mudah terombang-ambing.
          Aku mengerjap setelah menyadari yang terjadi. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu transjaka ini sudah bertransformasi menjadi sebuah robot! Aku menjenguk ke luar kaca. Kendaraan lain tampak kecil sedangkan patung pancoran di sebelah kanan tampak lebih dekat. Patung pancoran itu sudah bocel-bocel di beberapa bagian.
          “Jadi, sebenarnya apa ini?” tanya salah seorang entah siapa.
          “Robot,” jawab Rizky Cahyadi S. “Para penumpang harap tenang. Biarkan kami    yang menumpas Momo Si Komo yang menyebabkan kemacetan dan orang-orang berlari ketakutan.”
          “Lalu kamu siapa?” tanya seorang yang lain.
          Rizky Cahyadi S tersenyum. “Saya Pangeran Rodatika dari Ophiucus.”
          “HAAAAAH?” orang-orang tercengang.
          “Tidak ada waktu menjelaskan. Robo, terbang!” seketika transjaka ini terbang dan tahu-tahu sudah ada di hadapan Momo Si Komo. Dari dekat begini, tampak mata Momo Si Komo berwarna merah seperti kurang tidur. Pangeran Rodatika seperti bicara kepada Momo Si Komo, “Ah, sudah kauduga. Kau rupanya.”
          Aku tidak paham perkataan Pangeran Rodatika barusan jika tidak melihat ke pucuk Momo Si Komo. “Eh, ada seseorang di sana!” tunjukku. Orang-orang berlomba melihatnya. “Siapa itu?”
          Bukannya menjawab, Pangeran Rodatika memberi kode serangan, “Sinar Penghancur!”
          Sebuah sinar muncul dari dua mata Robo, tempat kami berada. Sinar tersebut membuat Momo Si Komo tersungkur. Namun, Robo tak memberi kesempatan Momo Si Komo untuk bangun. Ia menghujani Momo Si Komo dengan berbagai serangan. Para penumpang menyemangati Robo, “Maju, Robo!”
          “Jewer aja, Robo!”
          “Langsung terjang aja!”
          “Jangan! Gigit aja dulu!”
          “Piting, piting!”
          “Itu coba topengnya Momo Si Komo dilepas, Robo!”
          “Lah, emang begitu mukanya! Bukan topeng!”
          Orang-orang mulai berisik mengatur Robo. Untungnya, Robo hanya menurut perintah dari Pangeran Rodatika. Entah apa jadinya jika ia dengarkan semua perintah orang-orang. Momo Si Komo kalah serangan. Ia tampak tak berdaya. Eh, atau jangan-jangan sejak awal tadi ia tak menyerang?
          Setelah yakin Momo Si Komo tak berdaya lagi, Pangeran Rodatika tertawa puas. “MUAHAHAHAHAHA… . Cuma segitu kemampuanmu, Tuan J Rapah?”
          Jadi itu namanya. Orang di pucuk Momo Si Komo tadi. Tuan J Rapah. Siapa pula dia?
          Berhasil mengalahkan Momo Si Komo, Robo tak berubah kembali menjadi bus transjaka. Ia malah berjalan ke arah Gelora Bung Karno. “Loh, loh, kita mau ke mana?” tanya seseorang.
          “Iya, mau ke mana ini? Saya harus turun di Semanggi. Mau ketemu Riesna dan Aprie,” aku ikut-ikutan.
          Tidak ada jawaban dari Pangeran Rodatika. Seseorang, dengan agak kesal, berseru kepadanya, “Hei, Pangeran Rodamobil! Mau ke mana ini?”
          Pangeran Rodatika membalik badan ke arah orang yang kukira berseru tadi dan berkata dengan gusar, “Hmp, namaku Pangeran Rodatika. Dasar manusia bodoh! Jangan banyak bertanya!”
          Setelah mencapai GBK, kami mendapatkan jawaban. Robo berusaha meraih GBK dengan dua tangannya. Ia berseru dengan suara robotnya, “DONAT! DONAT!”
          Hah? Donat? Yang benar saja, batinku. 
          “Itu bukan donat, Robot jelek!” seru seseorang melalui pelantang. Tuan J Rapah, kukira. Ia dan Momo Si Komo baik-baik saja tampaknya. “Letakkan kembali stadion itu!”
          “HAHAHAHA… . Kamu bisa apa, J Rapah?” sahut Pangeran Rodatika yang juga menggunakan pelantang.
          “Rodatika! Lepaskan mereka dan kembalikan stadion ke tempatnya!”
          “Tidak!” salak Pangeran Rodatika. “Aku akan bawa donat ini untuk rakyatku. Begitu pun orang-orang ini. Mereka pasti berguna di Ophiucus. HUAHAHAHAHA!”
          Apa? Jadi, selama ini kami sandera? Itu sebabnya Momo Si Komo tak banyak melawan? Apa yang sebenarnya terjadi?
          Aku sibuk memikirkan berbagai kemungkinan saat menyadari Robo sudah tidak bergerak lagi. Pangeran Rodatika kalang kabut.
          “Kenapa, Rodatika?” suara Tuan J Rapah terdengar lagi. “Mencari ini, hah?” ia mengacungkan sesuatu berbentuk silinder. Ukurannya kecil sehingga aku tidak yakin itu apa.
          Apa pun itu yang ditunjukkan Tuan J Rapah membuat Pangeran Rodatika pias. Ia tampak ketakutan. Tuan J Rapah berkata lagi, “Tanpa baterai ini, robotmu itu tak lebih dari mainan besar. Menyerahlah, Rodatika!”
          Pangeran Rodatika gelisah. Lebih-lebih, para penumpang mulai berani karena Robo sudah tidak berfungsi. Mereka hampir meraih Pangeran Rodatika ketika tiba-tiba ia menghilang. Orang-orang celingukan. “Ke mana dia?”
          “Hahahaha… . Aku kali ini mundur. Tapi, suatu saat aku akan kembali, J Rapah. Ingat itu! Hahahaha…,” terdengar suara Pangeran Rodatika entah dari mana.
          “HOREEEE!” para penumpang bersorak saat mengetahui Pangeran Rodatika sudah pergi. Namun, euphoria itu tidak lama. Seseorang menyadari sesuatu, “Lalu, bagaimana caranya kita turun dari robot ini?”
          Rupanya Tuan J Rapah sudah memikirkan ini. Ia sudah berada di antara kami. Katanya, “Biar kuantar kalian ke tujuan semula.”
          “HOREEEE!” orang-orang bersorak lagi. Mereka lantas satu per satu berpindah dari Robo ke Momo Si Komo.
          Kuperhatikan benar-benar Tuan J Rapah. Ia berambut seperti garpu, berjerawat, dan warna kulitnya sawo matang terbakar matahari. Sangat jauh berbeda dengan Rizky Cahyadi S yang seperti model. Ia sadar diperhatikan kemudian mendekatiku. “Tidak sesuai dengan bayanganmu, ha?” tanyanya.
          Aku terkejut. Ia hanya tersenyum.
***
         
          “Waaaaaa, Aprie, Riesna, maaf, ya, aku telat!” kataku masih setengah histeris. Aprie dan Riesna menatapku. Pandangan bertanya. “Panjang ceritanya! Bisa jadi satu cerpen, deh! Hahaha…,” ujarku sambil melirik siluet komodo besar dengan pucuk yang seperti garpu di sebelah barat sana.


(12 Mei 2013)
 

Jumat, 10 Mei 2013

Mataku Menjelma Telaga


          Aku ingat pagi tadi. Aku bangun dengan sungai mengalir di pipi. Mataku menjelma telaga. Kuingat-ingat lagi, apa penyebabnya?
          Insyaflah aku.
          Aku bermimpi. Tentang seorang putri. Ya, kupikir ia putriku sendiri. Gadis cilik dengan gembil pipi dan gemulai jemari.
          Ia berusia anak sekolah dasar. Melukis ia gemar. Pada berbagai wahana ia menggambar.
          Ada kala aku tersadar sudah waktunya aku berpulang. Aku sudah diberi peringatan. Aku tak punya waktu luang. Sebentar lagi aku hanya berupa ingatan.
          Aku merasa sangat sedih. Menatap gadis kecilku yang gembira dengan mata yang pedih. Namun, sudah kuputuskan untuk berdiri dengan hati yang gigih.
          Ia sedang mewarnai tembok. Warna-warni khas anak-anak: mencolok. Semakin menyadari waktu kian habis, aku tertohok. Tak lama, di sanalah aku teronggok.

Mataku menjelma telaga.
Aku sudah ingat sebabnya.
Aku kehilangan cinta.
Aku mati di hadapan rasa.

(9 Mei 2013)

Rabu, 08 Mei 2013

Ada Sepasang Mata yang Rindu

Ada sepasang mata yang rindu
Merontokkan selembar bulu mata
Ia mengerjap
Agar si bulu mata bergeser ke bawah mata

Dua buah bola mata yang rindu
Melihat ke arah jam
(jam dan menit yang kembar)
Kini ia tahu tentang siapa

Selasa, 07 Mei 2013

Harapan yang Membengkak

yang membengkak dari tubuhku ini
selain kaki
selain mata
selain rindu
: harapan.

Jumat, 03 Mei 2013

Jangan Biarkan Dirimu Tersinggung


Jangan biarkan dirimu tersinggung, Sayang.
Kalau kau tersinggung,
kata-kata yang jelek berebut keluar
dari bibir tebalmu.

Jangan biarkan dirimu tersinggung, Sayang.
Doakan mereka
Doakan mereka

Jangan biarkan dirimu tersinggung, Sayang,
apalagi karena kata-katamu sendiri.

(12 April 2013)

Rabu, 01 Mei 2013

Menghitung Perjalanan


Orang biasa menghitung perjalanannya
sesampainya di tempat tujuan.
Ia akan berkata,
“Wah, lumayan jauh, ya,
tadi dari rumah jam 10
eh, sampai sini jam 12.
Dua jam.”

Jika ia berdua,
maka yang satunya akan menimpali,
“Iya. Pantat sampai kesemutan.”

Mereka, bersama Tuan Rumah, lantas tertawa.

Aku jadi bertanya-tanya,
apa nanti begitu juga,
ketika akhirnya kau tiba.
Apa kau akan cerita perjalananmu juga, Tuan?