Selasa, 26 Maret 2013

Siapa yang Kauingat Saat Berbaring?


Ini hari sudah malam. Ini lampu sudah padam. Ini pikiran belum terbenam.
          Aku lagi berbaring. Pandanganku membentur langit-langit. Benakku merajalela lalu melalui ventilasi ia pergi entah ke mana.
          Saat ia sudah kembali, benakku itu, dia bilang dia habis dari rumahmu, menyusup ke lamunanmu. Katanya, dia membisikkan namaku ke telingamu. 

Adakah kaudengar, Tuan?

Senin, 25 Maret 2013

April ke sekian


Barangkali tulisan ini tulisan ke sekian tentang April
Barangkali tulisan ini tulisan ke sekian tentang ke sekian
Tak apalah,
toh aku tetap menuliskannya juga.

Melalui ini aku cuma mau
Memberi tahu:
Ini sudah menjelang April ke sekian.
Kapan kau berdiri di pintu itu
Dan berkata, “Aku sudah pulang, Sayang”?

Kamis, 21 Maret 2013

Permainan Kata

Kata bermain-main di taman bermain.
Ia asyik memainkan permainan berupa-rupa.
Ia mengajak banyak pemain
yang tanpa mereka sadari
merekalah yang sebenarnya dipermainkan
oleh kata.


(Rawamangun, 8 Maret 2013)

Selasa, 19 Maret 2013

Kocokan Kartu


Dari kartu ia belajar takdir.
Ia tidak tahu kartu mana yang akan muncul.

Dari kartu ia belajar takdir.
Inisial nama siapa yang terpampang di kartu.

Dari kartu ia belajar takdir
dan dari takdir ia belajar mengocok kartu.

(Rawamangun, 8 Maret 2013)

Kamis, 14 Maret 2013

Jemari


          Sebuah akun puisi menantang dengan kata “jemari”. Aku lantas teringat kepadanya. Dia yang dulu pernah mengulurkan tangan kepadaku dua kali. Ya, dua kali. Itu pun aku tak sanggup memandang wajahnya.
          Pertama, saat latihan paskibra. Kala itu kami diminta baris-berbaris di selokan. Dalamnya kira-kira sebetis. Tangannya terulur sewaktu aku membutuhkan bantuan untuk naik ke jalan.
          Tangan-tangan kurus itu menyapa jemariku.
          Kedua, ketika berkeliling Pulau Rambut. Aku sekelompok dengannya. Ah, apa kautahu senangnya aku? Tangannya berperan membantuku melewati hutan bakau yang sedang pasang. Air mencapai pinggul. Kakiku sempat terperosok—saat itulah jemarinya menyapa.
          Mengingatnya, dengan kata kunci “jemari”, aku anggit sebuah puisi:

          Melalui jemari
          segala rasa terulur,
          tersampaikan
          —kita tak perlu bicara apa-apa.

          Kautahu,
          jemariku selalu ingat jejak tanganmu
          —dan mereka sudah tahu,
          tangan itu tak lagi menyapa mereka
          seterusnya. 

Rabu, 13 Maret 2013

Muncul dari Kotak Tisu


Aku bicara ini-itu kepadamu.
Tanganku sibuk memperkuat ceritaku.
Kamu memandangku lekat-lekat
lalu bertanya tanpa aba-aba,
“Dari mana kamu muncul?”

Aku, antara tak acuh, tetapi merasa perlu menjawab,
hanya menyahut,
“Aku muncul dari kotak tisu,
dilahirkan oleh batu.
Semua tahu.
Kamu aja yang belum tahu.”

Berikutnya, kubiarkan kamu ternganga
dan aku melanjutkan ceritaku.

(Rawamangun, 8 Maret 2013)

Senin, 11 Maret 2013

Sepatu Cadangan Cinderella


          Berangkatlah Cinderella menuju pesta di istana. Gaun pink-biru berkrinolonnya bergoyang-goyang ketika ia berjalan. Ia harus buru-buru. Pukul 00.00 nanti tak ada lagi kereta kencana, tak ada lagi gaun cantik, dan tak ada lagi sepatu kacanya. Semuanya akan kembali ke bentuk semula: kereta kencana menjadi labu, gaun cantik menjadi pakaian kumalnya, dan sepatu kaca menjadi sandal jepit. Menyadari hal itu, ia membawa sepatu kaca cadangan yang memang asli, bukan hasil sihiran ibu peri.
          Sesampainya di istana, ia berlaku sebagaimana dituturkan Juru Cerita. Ia tampil memukau, berdansa dengan pangeran, lalu berlari saat jam istana mulai berdentang dua belas kali. Ketika akan mencapai taman, ia berhenti sebentar untuk melakukan rencananya: meninggalkan sepatu kaca cadangan—yang asli, bukan sihiran—di selasar istana. Sebelum berlari kembali, ia memastikan bahwa yang berlari di belakangnya adalah pangeran sendiri.
          Berikutnya, di sanalah ia. Di balik semak. Berbaju dengan banyak ventilasi dan bersandal jepit. Ia tersenyum puas saat melihat pangeran mengambil sepatu itu.
          Kita pun tahu kelanjutan kisah itu.


Surat untuk Mbak Cantik


Bekasi, 8 Maret 2013

Dear Mbak Cantik yang di sana,
      salam kenal.
     Begini, Mbak, apakah Mbak sadar kalau Mbak begitu cantik?
     Saya yakin, selain berwajah cantik, Mbak juga sangat, sangat, sangat baik hati.
     Maksud sampainya surat ini ke mata Mbak tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyatakan rasa kagum saya terhadap kecantikan dan keluhuran budi Mbak. Tahukah, Mbak, dengan kecantikan dan kebaikan Mbak itu, Mbak bisa mendapatkan siapa pun yang Mbak mau. Lelaki mana pun pasti takluk di hadapan Mbak dan mau melakukan apa pun yang Mbak minta. Ya, kan?
     Saya yakin dugaan saya tidak salah. Oleh sebab itu, Mbak, cari saja lelaki tampan seperti pangeran. Nah, biar lelaki Mbak saya yang jaga. Seumur hidup.
     Sekian.


Pengagummu,


saya.


(tulisan ini diikutsertakan dalam #PostcardfictionEdisiValentine yang termasuk dalam dark theme)

Kertas di dalam Tas



     Tahu-tahu tasnya sudah didedel orang. Di tempat dompetnya semula berada, tergeletak secarik kertas.

"Dear penumpang,
maaf, duitnya saya ambil. KTP, SIM, dan kawan-kawannya juga terbawa karena kebetulan ada di dalam dompet. Mereka ada di tempat dan waktu yang salah. Semoga Anda nggak marah dan diberi kelancaran untuk mengurus surat-surat penting itu. Terima kasih.

sincerely,

copetmu."


(tulisan ini diikutsertakan dalam #PostcardfictionEdisiValentine yang termasuk dalam dark theme)

Kamis, 07 Maret 2013

Kuliah Bu Sakura

Kuliah Bu Sakura
hari Selasa
memberiku banyak mata
untuk melihat segala
dan kini aku sedang bercanda
dengan kertas dan pena
menulis apa-apa
tentang seorang Sephia

(31 Mei 2005)

Selasa, 05 Maret 2013

Boks Telepon Tua

Seorang wanita berjalan tanpa rencana
ke arah boks telepon merah yang sudah tua
“Yah, memang, semua menua.
Kamu, boks telepon, menua.
Pun, rasaku. Menua.”
Ia melangkah masuk ke dalam boks telepon itu
lalu mengangkat gagangnya.
Sambil menekan nomor tertentu
yang tampak sudah dihafalnya,
pikirannya berkelana.

(Jaticempaka, 27 Februari 2013) 

Senin, 04 Maret 2013

Ruangan Merah Muda


          Kamu-kamu-kamu-kamu-kamu-kamu.
          Ada suara lamat-lamat kudengar.
          Kamu-kamu-kamu-kamu-kamu-kamu.
          Kuduga suara bersumber dari ruangan itu. Ruang merah muda di sudut itu. Aku berjalan mendekat.
          Kamu-kamu-kamu-kamu-kamu-kamu.
          Suara itu terdengar makin jelas. Ini memperkuat dugaanku. Sumber suara pasti dari ruangan ini.
          Kubuka perlahan pintu ruangan. Ternyata tidak dikunci. Bunyi berkeriut terdengar saat aku mendorong daun pintu ke dalam. Barangkali lama tidak dibuka.
          Ia di sana. Pria bertubuh kurus, tinggi, alis separuh, dan kuyakin ada tahi lalat di leher bagian belakangnya. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
          Aku melihat ke arah tangan itu sejenak. Tangan kurus dengan jari panjang yang cenderung lentik dengan urat-urat menonjol di beberapa bagian punggung tangan. Tangan yang kusuka. Aku menyambut uluran tangan tersebut. Ia menjabat dengan erat, seperti biasa. Jabat erat yang katanya menandakan si empunya tangan merupakan orang yang hangat dan akrab. Memang demikianlah ia yang kukenal:
hangat
dan
akrab.

          Kamu-kamu-kamu-kamu-kamu-kamu.
          Suara tadi terdengar lagi. Lebih pelan, tetapi lebih intens. Suara itu seperti mengelilingi tempat kami berdiri. Kepalaku bergerak-gerak liar mengikuti si suara. “Suara siapa itu?” tanyaku mendesak.
          “Suaramu,” jawabnya tenang.
          Aku terkejut. “Suaraku?” Aku mencari kebenaran dari matanya. “Bagaimana bisa?”
          Ia tersenyum seolah memaklumi. “Ya, itu suaramu. Yang begitu kuat memanggil aku. Yang begitu kuat menarikmu kembali ke ruangan ini. Ruanganku.”
          Mataku melebar. Ruangannya? Apalagi ini?
          Seolah bisa membaca yang berkecamuk dalam hatiku, ia menyahut, “Ya, ruanganku. Ruangan merah muda yang kaubikin buatku. Ruang tempat kita bertemu saat merindu.” Ia memberi jeda sebelum melanjutkan lagi dengan kata-kata bernada lembut, tetapi tegas, “Ya, perempuan. Masih ada aku. Pun masih sering kamu berkunjung ke sini. Mencari aku.”

(Rawamangun, 26 Februari 2013)  

Teruntuk Lilis Sayyidah Murniasih


Jakarta, eh, Bekasi, 5 Februari 2013

Jeng Lilis,
          Tempo hari ketika saya bagikan beberapa surat saya di facebook, Jeng minta dibuatkan surat, ya?
          Melalui tulisan ini saya ingin meminta maaf kepada Jeng Lis karena belum bisa memenuhi keinginan Jeng Lis: menuliskan surat kepada Jeng Lis. Menurut saya, belum ada hal yang perlu saya sampaikan kepada Jeng. Jika saya tetap menuliskan surat padahal saya tidak ingin, saya takut nanti hasilnya malah tidak bagus. Ya, kan?
          Sekian tulisan saya. Sekali lagi maaf saya belum bisa menuliskan surat untuk Jeng Lis, ya! Pesan saya untuk Jeng: pertahankan prestasimu, gapai cita dan cintamu, bukukan kisahmu, dan tetap menjadi guru yang terbaik. Atas perhatian dari Jeng Lis, saya ucapkan terima kasih.

Salam hormat,

Ika Fitriana  

Jumat, 01 Maret 2013

Yang diinjak-injak

Dear kerikil,
              sabar ya diinjak-injak melulu. Sering-sering berdoa aja. Doa makhluk yang tertindas kan didengar Allah. Doa yang baik-baik ya. 


Salam, 


aku.