Rabu, 20 Juli 2016

Lelaki dan Perahu (2)

Setelah ceritaku di sini, Lelaki tetap pergi dengan perahu. Namun, perahu yang memang sudah tak bisa bepergian lagi itu putus umur. Lelaki kembali ke tepi.
          Aku senang. Lelaki tetap di tepi. Ia menjalankan hari-hari bersamaku. Banyak orang pergi-pulang di tempatku. Lelaki tetap bersamaku. Sampai saat itu.
          Ia kembali berperahu.
          Kupikir akan selamanya ia di tepi bersamaku. Selama ini kupikir ia begitu ingin bersamaku, mengalahkan keinginan berperahunya. Aku heran, bila benar-benar ingin berperahu, mengapa dulu ia tak lantas membuat saja perahu?
          Kini ia berperahu menjauh.
          Sudahlah. Mau bilang apa. Hidupnya miliknya. Aku hanya bisa relakan dan aku baik-baik saja*.


*tentu saja aku bohong (lagi). Mana bisa kau baik-baik saja ketika orang terkasihmu pergi?

Selasa, 19 Juli 2016

(Mempertahankan) Genggaman

:fragmen

          Tidaklah kami di tepi kanal di Leiden saat senja belum dipotong Seno atau bermandi cahaya kapal di Bremen kala malam membungkus. Ruang tunggu sebuah agen travel Jakarta dan kota tetangga. Sampah dan tembok dekil menjadi pemandangan yang tidak romantis.
          Jenggot dua lembar yang ia bangga-banggakan bergerak-gerak ketika bicara. Rasanya ingin kupotong dengan gunting yang selalu sedia di tempat pensil. Namun, seharusnya itu tidak kulakukan. Ada yang lebih penting daripada menggunting jenggotnya: mempertahankan genggamannya yang sebentar lagi akan mengendur dan menjauh.


(25 April 2016)