Sabtu, 29 Desember 2012

#PostcardFiction: Kelahiran boekoe



Itoe moeka entah tampak matjam apa. Di hadapnja ada rak boekoe jang djika Toean dan Nona lihat betoel-betoel tjuma milik satoe nama. Ikafff. Itoe nama milik si perempoean jang berdiri itoe. Barangkali dia terlaloenja bahagia, hingga kata telah mati kiranja. Ach, betapa kita terlaloe banjak berasoemsi.
Tak lama nanti kita akan tahoe bachwa boekoe itoe adalach anak kedoeanja; jang pertama ia seboet dengan skripsi. Ja, ja, kaoe bolehlach tertawa (oentoek alasan apa poen ataoe tak poenja alasan sekalipoen). Ia memang menjeboet semoea karja jang lachir dari dirinja adalach anaknja (jang tidak perloe menoenggoe boelan ke sembilan tentoenja).
Dengan berdirinja ia di sitoe, di depan rak boekoe seboeah toko boekoe itoe, ia lagi mengadakan perajaan; jang dihadiri oleh ia, karjanya, seloeroeh dirinja berkoempoel sempoerna. Ia sjahdu menikmati waktoe.
“Sjoekoerlach, akoe melahirkan normal, boekan sesar, boekan prematoer.”
Kita laloe merasa kita tak perloe mengerti benar apa artinja. Biarkan sadja ia dan boekoenja dan dirinja dan waktoenja. Biarkan sadja dia anggap kita poenja pemikiran mengerti logikanja. Begitoe lebich baik kiranja.
“Terima kasich soedah berkenan lahir dari rahimkoe, soedah maoe djadi bagian dari dirikoe.”
Lagi-lagi ia bermonolog. Mari kita pasang kita poenja telinga. Tak perloelah lebich dari itoe.
“Maaf, akoe tak poenja kata jang tjoekoep oentoek menjamboetmoe, anakkoe. Jang djelas, jang perloe kiranja kaoe tahoe, akoe bangga memilikimoe.”
Angin menjapa lemboet ia poenja roepa.
“Kaoe tahoe, sedjak moelanja hingga kini, akoe tak pernah tahoe, dari mana kata-kata jang koeradjoet di dalammoe itoe keloear, menetes dan menetas. Tentoelah Toehan memberi kepertjajaan jang sangat besar kepadakoe karena telach membiarkan kata-kata keloear dari benakkoe, dari segala loebang di toeboehkoe.”
Makin entah apa jang dimaksoed. Tak lama setelah itoe, kita tak lagi mendapati perempoean itoe di sitoe. Ia berangsoer mendjaoeh. Bisikan terakhirnja sebeloem ia berandjak adalach: terima kasich.



(Tulisan yang dirangkai dalam rangka #PostcardFiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi   dan Smartfren).

#PostcardFiction: Undangan Merayakan Cinta



          Sebuah kartu pos berlatar kota berkincir tergeletak di tepi jendela. Ia siap dikirim (atau siap diterima?). Tidak ada nama pengirim dan nama penerima di sana. Kalau kaujenguk lebih lanjut ke atas kartu pos itu, akan tampak deretan tulisan yang gemuk-gemuk di sana. Mari kita telusuri jejeran kata yang mengisi kartu pos tersebut.

Leiden dan kamu.
Dua hal yang semula tidak mungkin, kini memadu di depanku.Bersama senja yang merah, kita duduk di kafe tepi kanal itu. Kita menyeruput aroma senja begitu nikmat. Begitu nikmat hingga kita pikir kitalah senja itu. Kita tersenyum lepas.


Tiba-tiba kaumenoleh padaku.
Dengan muka itu kaubilang,
Mau kaujadi istriku?

Dan senyumku yang semula lepas
berubah terkulum
lalu tertelan
dan berganti dengan wajah tak percaya.

Melihat itu, kamu meyakinkanku dengan senyummu.
Aku tatap lurus-lurus matamu, menginterogasi hatimu.
Merasakan waktu itu: suara angin, aroma kopi, mata teduh, semua memadu.
Semua berkonspirasi. Cuma aku yang baru tahu.
Lalu, cuma ini yang aku tahu,
Ya. Aku mau jadi istrimu.

          Begitulah.Ternyata kartu pos itu berisi sebuah selebrasi. Yang dirayakan di sana adalah cinta. Ah, betapa merayakan cinta itu sangat menyenangkan, bukan? Selanjutnya, kubiarkan undangan merayakan cinta itu tiba di pangkuanmu. Semoga berkenan.


 (Tulisan yang dibuat untuk #PostcardFiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi dan Smartfren).

#PostcardFiction: Satu Selebrasi



          Belum-belum aku sudah seperti nano-nano. Beragam rasa. Seperti banyak bola-bola rasa bertuliskan: senang, sedih, haru, bahagia, dan kawan-kawan yang mengudara di kamarku. Mereka muncul dari benak, dari hati, dari mata, dari kuping, dari segala lubang, dari segala pori di tubuhku.
          Mungkin kamu bertanya-tanya, seberapa istimewanya peristiwa itu sampai-sampai berbagai rasa memenuhi udara. Ya, kan?!
          Mmm… Dia itu disebut: WISUDA (kuberi huruf kapital biar matamu bisa membesar dan berbinar. Hehe…). Menurutku itu satu pencapaian. Bukan cuma pencapaianku, melainkan juga pencapaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku.     
          Awalnya kuliahku lancar. Aku bisa mengambil SKS lebih banyak dibanding kebanyakan teman dan bisa semester pendek dengan tujuan percepatan (bukan perbaikan). Tahun 2003 aku masuk kuliah dan tahun 2006 semua mata kuliah selesai. Tiga tahun. Tinggallah skripsi. 
          Namun, Allah berkehendak lain. Rencanaku bubar jalan. Berbagai konflik seperti terasa kelereng setruk dijatuhkan dari langit ke kepalaku. Mulanya masalah ekonomi, berimbas ke masalah keluarga, berimbas ke masalah internal diriku, dst.
          Aku kesulitan konsentrasi. Pikiranku pecah ke mana-mana. Bolehlah kau tahu, aku baru kembali ke kampus tahun 2010 (sejak tahun 2007 awal). Sebelumnya, aku ke kampus hanya untuk bayaran, tanpa kuliah, tanpa konsul, tanpa aktivitas apa pun—temanku selalu bilang: “Ika Fitriana sedang bertapa di gunung”.
          Beruntungnya aku memiliki orang-orang yang peduli padaku. Mana bisa aku melupakan nama-nama seperti: Imas Uliyah, Indah Bakti, Nuniek Nurbayani, Anandia Eka Kencanawati, Wati yunita, Wahyu Nur Indah Kurniasari, Siti Asiyah, dan sederet nama lain yang kalau dituliskan serasa kata pengantar skripsiku pindah ke sini. Mereka memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Kurasa, mereka sempat hampir patah semangat membangun semangat dan percaya diriku yang mati suri.
          Hal lain yang membuatku makin gentar menghadapi skripsi adalah pembimbingku yang idealis. Tapi ya… itu. Waktu beliau terbatas. Harus sering bolak-balik Jakarta-Jember. Pernah konsulku dibatalkan sampai 3 atau 4 kali baru bisa bertemu. Aku bersyukur, paling maksimal cuma disuruh konsul di bandara—ada yang pernah harus ke Jember menyusul beliau. Ya. Aku ke bandara hanya untuk konsul. Jangan kaubayangkan kami akan duduk dan membahas skripsiku di salah satu bangku di sana. Kami membahas skripsi sambil berdesakan antre masuk terminal!
           Kini aku seperti langit.
Merdeka.
Alhamdulillah.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
*salim*

 
(bersama orang-orang paling berharga di momen berharga) 

(Catatan ini diikutsertakan dalam #Postcardfiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi dan Smartfren).

Jumat, 28 Desember 2012

Kemerosotan Moral (?)


            Benarkah generasi kita mengalami kemerosotan moral?
           Setidaknya itu yang dituduhkan seorang Bapak pada suatu hari. Ia menganggap, hilangnya mata pelajaran Budi Pekerti dan digantinya pelajaran tersebut dengan Pendidikan Moral dan Pancasila (PMP; sekarang PKn) menjadi salah satu penyebabnya. Anak-anak tidak lagi mengerti tentang cara bersikap yang baik terhadap orang lain.
            Lebih lanjut, si Bapak itu bilang, generasi yang mengalami kemerosotan moral ini adalah generasi 90-an ke atas. Mereka dianggap tidak dapat lagi menghargai orang lain, terutama orang yang lebih tua.
            Apa benar demikian?
            Bagaimana menurutmu?
            Ambil satu cermin di dekatmu. Tatap baik-baik cermin itu. Apa iya, kita tidak bisa menghargai orang lain, tidak bisa menghargai orang tua, tidak bisa menghargai guru?     Apa betul begitu?
            Ada salah seorang teman yang mengatakan ini imbas tayangan televisi. Di televisi guru dilempar ini-itu hingga kehilangan wibawanya. Apa benar kita hanya generasi yang bisa bikin onar macam itu?
            Pernah, ketika saya mengajar pendalaman materi di sebuah SMA di Jakarta, saya bertemu dengan guru asal daerah. Ia mengeluhkan anak-anak yang diajarnya. Menurutnya, anak-anak tidak bisa menghargainya sebagai seorang guru. Beda dengan anak-anak daerah. Dengan nada mengancam, ia bilang, “Lihat saja, Mbak, nanti yang masuk universitas-universitas bagus itu anak daerah semua.”
            Nah, sekarang yang bisa kubilang kepadamu, cek bahasa kita dan sikap kita. Jika bahasa dan sikap kita ternyata membuat orang lain (terutama guru dan orang tua) tidak suka, barangkali benar kita telah mengalami kemerosotan moral.
            Bagaimana cara kita memperbaikinya?
            Apa yang bisa kamu lakukan untuk berprestasi dan menunjukkan kepada semesta bahwa kita bukan hanya generasi pembuat onar yang moralnya merosot?