Minggu, 21 Agustus 2016

Fragmen: Debu dan Bayang-bayang

          Entah bagaimana ini bermula: aku patah hati sebelum akhirnya jatuh cinta lagi dengan orang yang sama. Mau kau kuceritakan? Sini, mendekat kepadaku dan beri aku kupingmu.
          Ia lelaki dengan api semangat yang cantik. Kubayangkan ada kobaran di matanya saat mengatakan, “Kautahu, Matari! Kau-tahu! Dan aku tidak tahu kalau Chairil itu plagiat! Krawang-Bekasi! Oh.”
          “Ya, aku tahu. Ada dosenku bilang begitu ketika kuliah,” sahutku santai, cenderung heran. Informasi itu bagiku bukanlah hal yang istimewa.
          Tidak baginya yang penyuka Chairil. Kekecewaan melandanya.
          Aku, tanpa berusaha menghibur, semata menganalisis, berkata lirih karena dia memilih diam, “Apa dia benar-benar plagiat? Maksudku, kita kan tahu konon Chairil itu bisa langsung hafal sebuah puisi hanya dari sekali membaca. Ya kan? Apa tidak ada kemungkinan bahwa puisi itu—Krawang-Bekasi itu—merupakan hasil pembacaan ulangnya terhadap ‘The Dead Young Soldiers’ karya Archibald MacLeish?”
          Terdengar tarikan napas di seberang telepon lalu dengan suara enggan dia menyahut, “Entahlah.”
          Begitu. Kami menghabiskan banyak malam untuk berdiskusi hal-hal semacam itu. Terkadang membahas tulisanku—em, hal yang sebenarnya lebih sering kuamini saja. Aku lebih sering tidak mengusik tulisanku sendiri, terlebih puisi. Menurutku, biar saja orang membaca lalu menangkap hal-hal yang bisa ia tangkap dari tulisanku.
          Lain waktu ia akan membacakan puisi karya orang yang tidak kukenal hingga memberikan pengetahuan baru bagiku; terkadang sekadar menyanyikan lagu yang terlintas di benaknya. Itu selalu menjadi hal yang menyenangkan bagiku. Diam-diam aku menutup mataku dan meminta kepada-Nya agar bisa selalu mendengarkan pembacaan puisinya atau nyanyiannya menjelang tidur. Aku merasa ada yang terbang. Entah aku, entah doa.
          Aku merasa terbuai dengan segala yang ia berikan hingga malam itu datang. Ia menelepon dan dengan suara terburu-buru ia bilang, “Matari, Matari, kalau pacarku meneleponmu nanti, bilang saja kita tidak pernah kontak selama ini. Tolong ya, Matari!”

          Tidak-pernah-ada-kontak.
          Kautahu, aku merasa terluka. Terluka sekali. Seperti yang aku yakini sendiri, aku menjelma debu dan bayang-bayang.



(tulisan yang (tidak sempat) diikutsertakan dalam give away Aprie yang ini)