Jumat, 31 Juli 2015

Sore

         Saya suka sekali bengong. Membiarkan pikiran terbang tampak kosong.
          Seperti sore ini. Saya dan kekasih sedang menanti piza pesanan kami datang. Saya senang kami memilih teras karena bisa puas bengong.
          Saya membiarkan dia bercerita tentang ini-itu. Diam-diam saya rekam suasana sore itu: orang lalu lalang, padat kendaraan di lampu merah sana, polisi sibuk mengatur lalu lintas, dan suara kekasih. Saya suka. Dengan diam-diam pula, saya berharap akan melalui suasana semacam sore itu terus—bersamanya.

(3 November 2014)


Senin, 27 Juli 2015

Alir

Alir terjun bebas dari mata yang menelaga
aku tak tahu sebab
ia terlalu begitu saja


(4 Februari 2015)

Minggu, 26 Juli 2015

Sepi dan Kesepian



          Aku yakin banyak di antaramu akan mengacungkan jari saat kutanya: apa kau suka sepi?
          Namun, apa ada yang menjawab ya bila kusodorkan: apa kau suka kesepian?
          Aku, secara pribadi, suka sepi. Untuk beberapa kasus, aku suka menyepi. Tapi, aku tak pernah suka kesepian.
          Terbangun dari tidur di pagi hari, ada suara kokok ayam, detak jam weker, suara panci, tapi kesepian.
          Di tengah siang, kala matahari sedang riang-riangnya, terdengar celoteh anak-anak, suara orang-orang ngobrol  tentang pekerjaan, suara ketak-ketik komputer, tapi kesepian.
          Kaunyalakan mesin mobil, nyalakan televisi dengan suara nyaring, suara denting oven, tapi kesepian.
          Sementara itu, ada orang yang di puncak gunung sana, sepi, jauh dari keramaian, tapi tidak kesepian.
          Ah, apa kesepian, sebagaimana bahagia, juga faktor “merasa”?

(2 Juni 2015)

Sabtu, 25 Juli 2015

Jalan Malam



          Malam ini aku bersyukur kena macet dan mesti jalan kaki dari Jalan Kejaksaan Pondok Bambu sampai Pangkalan Jati.
          Ada sebuah kontainer mogok melintang di Pondok Bambu. Lalu lintas otomatis terhenti. Macet ndhedhet. Sudah tidak tahan lagi, aku memutuskan turun dari angkot kemudian memilih berjalan kaki.
          Berjalan malam hari aku melihat bulan bulat. Mengingatkanku kepada Ooy, teman sekolahku. Namanya Nur Qomariyah, artinya “cahaya bulan”. Wajahnya bulat berlesung pipit. Yah, dia dengan baik hati merelakan dirinya dipanggil “ooy”, yang emang jauh banget dari nama aslinya.
          Kemarin ia mengirimiku pesan di facebook. Pertanyaan awalnya, “Masih nulis cerpen, Ka? Udah jadi penulis terkenal, ya?”
          Aku spontan histeris sendiri. AAAAAAKKKKKK~ OOOOOOY~
          “Aku lebih sering menulis di blog, Oy.”
          Yah, kamu jangan bilang ke dia kalau blog pun sekarang sudah jarang terisi.
          Aku senang sekali diberi pertanyaan begitu. Seberapa banyak sih teman sekolah yang menanyakan perkembangan tulisanku—terutama dibandingkan yang bertanya kapan nikah? Atau kok belum nikah? Dan blablabla.
          Ooy merupakan orang yang pertama-tama baca tulisanku ketika sekolah dulu. Maklum, kami pernah satu meja. Kami lalu bernostalgia tentang masa lalu: seorang lelaki yang menjadi inspirasi menulisku kala itu.
          “Masih suka sama dia, Ka?” tanyanya.
          “Wuahahahaha… ya nggaklah. Itu udah zaman kapan tahuuuu… .”
          Aku lalu menyadari itu udah lama sekali! Sekarang nikmat betul menertawakan masa lalu: caraku mengaguminya, dan seterusnya. Aku ingat, aku dan Ooy pernah ngobrol  di depan pintu kelas waktu kami kelas 3 SMA. Dia bertanya, “Ka, kalau nanti lu nggak jadi sama dia (pria yang kukagumi diam-diam kala itu) gimana?”
          Aku tertawa geli. Gimana tidak, aku tidak pernah berekspektasi aku akan hidup dengan pria itu. Aku mengaguminya. Sudah.
          “Nggak apa-apalah, Oy. Nanti malah gue akan bilang ke anak gue: Mama pernah lho suka sama cowok waktu SMA. Nah, ada novel tentang dia. Gitu.”
          Ah, berjalan kaki malam hari, melihat bulan, teringat Ooy, teringat masa lalu, ditemani bising kendaraan. Selamat malam. Aku pulang.

(6 Januari 2015)