Selasa, 31 Desember 2013

Waktu yang Tepat

          Pernah aku terganggu dengan frasa “waktu yang tepat”. Apa, sih, “waktu yang tepat” itu?
          Apa “waktu yang tepat” itu benar ada?
          Lantas, apa yang membuat waktu itu menjadi tepat? Waktu yang bagaimana yang dibilang salah (ah, oposisi biner!)? Apa bisa kita menyalahkan waktu? Atau, “waktu yang tidak tepat” hanya muncul ketika kita perlu kambing hitam?
          Ini lagi. Kambing.
          Oke. Fokus.
          Bagaimana kita tahu kala itu menjadi “waktu yang tepat”?
          Apa “waktu yang tepat” antara seseorang dengan orang lain bisa sama? Lalu, bila tidak sama, apa berarti tidak ada yang bisa dilakukan?
          Entahlah.
          Aku tidak percaya “waktu yang tepat”. Bukankah semua sudah ada skenarionya? Ini semacam yang terbaik. Waktu yang “tidak tepat” sangat mungkin menjadi “waktu yang tepat”.

(27 Desember 2013)


Jumat, 27 Desember 2013

Hadir Sepenuhnya

          Pernah kamu merasa seperti melayang? Jasadmu di kantor, tetapi dirimu sendiri entah di mana.
          Aku pernah.
          Bagiku, itu tidak menyenangkan. Aku lantas teringat dengan film Click. Dia tidak menikmati hidupnya dengan optimal. Aku nggak mau.
          Satu kali muncul retweet entah dari siapa di twitter. Tulisannya: hadir sepenuhnya. Itu menggangguku.
          Ah, ya, aku memang gampang terganggu.
          Menurutku penting sekali melakukan itu: hadir sepenuhnya (dalam setiap momen). Bukankah waktu tak akan kembali?
          Ini masih jadi PR buatku. Aku masih belajar hadir sepenuhnya ketika macet di jalan. Aku masih belajar hadir sepenuhnya saat ibuku ngomel-ngomel. Aku masih belajar hadir sepenuhnya tiap momen. Ya, aku mesti hadir sepenuhnya dalam hidupku sendiri.

(27 Desember 2013)


Sabtu, 21 Desember 2013

Bukan Perempuan Cantik dan Cerdas

Yang bertanda tangan di bawah ini:
          nama           : Ika Fitriana
          usia              : 12++
          pekerjaan      : penjaga hatimu purnawaktu

          Dengan ini menyatakan bahwa saya bukan perempuan cantik dan cerdas. Melalui tulisan ini pula saya menggugat monopoli dicintai yang sejauh ini dilekatkan kepada perempuan cantik dan cerdas, bahwa tiap perempuan—ehm, oke, saya—berhak dicintai bukan dengan alasan cantik dan cerdas.
          Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Terima kasih dan terima cintamu.

Jakarta, 18 September 2013



Ika Fitriana 

Minggu, 15 Desember 2013

Dikejar Orang Gila

          Tahu-tahu seorang gadis berlari-lari dengan wajah pias. Di belakangnya, ada orang gila setangah telanjang mengejarnya dengan buas. Tak ada waktu berhenti untuk atur napas.
          Si Gadis berpikir seperti Timun Mas. Ia bayangkan dirinya dikejar Buto Ijo yang ganas. Tak peduli hari dingin atau panas.
          HAP!
          Si Gadis naik ke atap. Ia tengok ke belakang mencuri tatap. Ternyata Si Orang Gila masih mengejar dengan mantap. Si Gadis mulai kehilangan harap.

(5 Desember 2013)


Kamis, 12 Desember 2013

Ardi dan Kucing

          Seekor kucing hitam mondar-mandir mengikuti langkah Ardi. Ardi ke kanan, Si Kucing ikut ke kanan. Ardi ke kiri, Si Kucing ikut ke kiri.
          Mula-mula Ardi tidak peduli. Lama-lama ia gusar juga. Ia usir kucing itu. “Ssh… sshh… hush,” katanya.
          Si Kucing tak kunjung pergi. Malah makin semangat mengikuti langkah Ardi. Barangkali bagi Si Kucing, Ardi ini sedang mengajak bercanda.
          “Hush! Pergi sana! Sana!” usir Ardi.
          Si Kucing tetap keras kepala mengikuti langkah Ardi. Ardi ke kanan, Si Kucing ikut ke kanan. Ardi ke kiri, Si Kucing ikut ke kiri.

(4 Desember 2013)

Senin, 09 Desember 2013

Jongkok

          : Marion Bloem

          Marion seorang perempuan keturunan Indonesia yang tinggal di Belanda. Ia tidak bisa berjongkok sebagaimana ayah dan ibunya berjongkok. Teman-teman di negara yang ia tempati sejak kecil itu pun tak bisa berjongkok. Mereka heran dengan ayah dan ibu Marion yang bisa berjongkok. Ayah dan ibu Marion orang hebat karena mereka bisa berjongkok.
          Ketika Marion akhirnya menginjakkan kaki ke Indonesia, ia merasa bahwa ini adalah surga. Di mana-mana ia melihat orang berjongkok. Ia lantas menyandang kamera lalu memotret sana-sini.
          Di sungai orang berjongkok, sambil mengulek sambal orang berjongkok, sabung ayam orang berjongkok, dan seterusnya. Di sana orang jongkok, di sini orang jongkok. Marion tak mampu membendung air mata haru karena ia bisa melihat malaikat-malaikat ahli jongkok.
          Harapannya tak kunjung hilang hingga sekarang: ia ingin bisa jongkok seperti ayah ibunya.


(3 Desember 2013)

Jumat, 06 Desember 2013

Ika dan Bola-bola

          “Ika, kita mesti bicara,” kata Ika kepada dirinya sendiri, “tentang banyak hal.”
          Ika membuka mulut seluas-luasnya dengan maksud akan mulai bicara. Nyatanya, yang keluar dari mulutnya bukan kata-kata, melainkan bola-bola dengan macam bentuk dan warna. Bola-bola itu memenuhi kamarnya.
          Kalau kauperhatikan benar-benar, bola-bola itu berlabel: “hadir sepenuhnya”, “tingkah laku semesta”, “sorge”, “tendensius”, “ngungun”, dan sebagainya. Ika memegang satu bola. “Kita mulai dari ini saja,” katanya sambil menatap bola bertuliskan “kamu mesti menulis”.

(4 Desember 2013)


Selasa, 03 Desember 2013

Apa Pernikahan Membuatmu Bahagia?

Bekasi, 5 November 2013

Teruntuk Zus seantero semesta

          Zus,
          pernahkah Zus berada dalam titik ingin sekali menghentikan lelaki yang lewat depan rumah lalu memintanya menikahi denganmu?
          Aku pernah.
          Saat ini.
          Aku ingin sekali menyetop orang lewat lalu menyuruhnya menikahiku untuk membungkam semua mulut comel yang merasa tahu tentang aku.
          Aku tahu, bahagiaku taruhannya.
          Aku lantas berpikir, apa kebahagiaan masih menjadi sesuatu yang penting?
          Mengapa orang-orang, sering juga dari kaum kita, berpikir bahwa “kalau belum menikah kita belum bahagia”? Mengapa orang yang belum menikah dianggap orang yang paling patut dikasihani? Malah ada yang menyebut “belum laku”. Memang apa yang kaujual, hei?
          Apa orang yang sudah menikah sudah pasti bahagia?
          Apa menikah cepat membuat orang berbahagia?
          Sejak kapan pernikahan menjadi kompetisi yang berhadiah kebahagiaan?

          Zus,
          barangkali kebahagiaan (dan kebebasan?) menjadi konsep imajiner yang terus-menerus dikuliti hingga ditemukan wujud konkretnya oleh banyak manusia. Barangkali salah satu pelakunya aku.
          Entah, ya, Zus, sejauh ini aku merasa bahagia, tetapi tidak dalam penglihatan orang-orang di luar diriku. Berkali-kali pertanyaan sekitar pernikahan diajukan kepadaku (mungkin juga kepadamu?).
          Aku sekarang mungkin dilabeli jomlo (dalam pengertian yang paling leksikal—dan paling sentimen mungkin). Orang-orang lantas jatuh iba seakan-akan aku ini entah apa (tidak terbayang olehku apa yang bisa kujatuhi iba tanpa dia mesti tersinggung).
          Kautahu, Zus,
          belum lama ini ada seorang kawan yang bisa dikatakan baru kenal menanyakan (lagi-lagi) persoalan pernikahan. Mula-mula ia terkejut mengetahui usiaku kemudian ia terkejut karena aku belum menikah lantas ia dengan gesit tanpa diminta mulai memberikan nasihat. Aku lumayan hafal pola ini karena orang-orang sering melakukan ini kepadaku.
          Ia pula memvonis bahwa aku terlalu sibuk bekerja, bahwa aku tidak memikirkan masa depan, bahwa bila mencapai kepala tiga perempuan tak bagus untuk hamil, bahwa nanti anak-anak masih kecil aku sudah tidak bekerja, dan blablabla lainnya. Kalau dalam keadaan sehat, pikiran tenang, mood oke, mungkin aku akan menambahkan hal lainnya. Lah, ini?
          Aku sedang pusing memikirkan pekerjaanku hari itu, ditambah vonis, dan nasihat-nasihat—yang “Hei, itu basi! Aku sudah tahu!”—membuatku mengeluarkan senyum “sebaiknya kau diam atau kulakban mulutmu!”.

          Zus,
          pada masa-masa seperti ini akan ada yang menyodorkan alternatif perjodohan kepadamu. Terus terang, demi upayaku mendapatkan ketentraman (dan tentu upaya mencapai kebahagiaan) aku tidak menolak cara ini.
          Tidak.
          Aku bukan mau bilang aku sekarang sedang dijodohkan. Aku cuma mau cerita, aku pernah dijodohkan. Aku tidak tahu efeknya kalau ini dibaca para broer di luar sana. Toh, kini aku tak begitu ambil peduli.
          Waktu usiaku sekira dua satu, aku pernah ditawarkan konsep ini. Seorang lelaki usia dua enam menyukaiku tanpa kutahu lalu ia meminta orang tuanya untuk bilang ke orang tuaku. Aku meradang, aku tidak kenal dia!
          Usiaku dua satu dan aku jatuh cinta dengan seorang lelaki yang tak mau mengakui perasaannya. Aku mesti bilang apa kepada ibu dan bapakku?
          Aku kesal. Kepada orang tuaku. Kepada si lelaki dua enam. Kepada orang yang kujatuhi hati.
          Ibuku menikah usia 22 sedangkan bapakku 27. Jadi kau tentu mengerti, usia dua satu aku sudah bisa menikah.
          Lelaki usia dua enam bukan berasal dari lingkunganku sehari-hari. Aku tidak tahu siapa dia, bagaimana dia, blablabla. Dalam kacamataku kala itu, bila dia lelaki, dia mesti mendatangiku sendiri sebagai lelaki, bukan lewat orang tuanya. Tentu aku akan jauh lebih menghormatinya.
          Pria yang kujatuhi hati. Kala ia tahu aku dijodohkan, ia malah mendorongku. “Aku nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu,” katanya.
         
          Zus,
          mendengar itu ada yang sakit di dada sini. Di rumah aku bertengkar hebat dengan orang tuaku. Aku akhirnya menyetujui untuk “diperkenalkan”, bukan “dijodohkan”. Ini semata agar ia yang kujatuhi hati punya kesempatan yang sama. Ah, barangkali egonya terluka aku melakukan ini: menjadikan ia sebagai bahan pilihan, tetapi aku ingin ia yang maju. Namun, kautahu jawabannya… . Ia mundur.
          Aku hanya bisa menangis di balik punggungnya.

          Zus,
          kebahagiaan itu apa?

          Zus,
          bisakah kita merdeka dan menentukan kebahagiaan kita sendiri?

          Zus,
          apa pernikahan membuatmu bahagia?

(ini tanggapan dari Zus Aprie: "Surat Terbuka untuk Zus Ika")