Minggu, 20 November 2016

(Ulasan) Kisah Rambut Palsu Mozart untuk Ata

Abi menutup buku Seri Digby dan Hester di Pasar Antik: Kisah Rambut Palsu Mozart karya Gerry Bailey dan Karen Foster. Mestinya Mama yang membacakan buku ini untuk Ata, tapi Mama sedang flu berat malam ini. Tadi Mama mengirim kode mata Mama sedang flu berat, tolong gantikan Mama membaca untuk Ata. Ata tidak tahu sih kode itu karena Mama diam-diam memberikan kepada Abi. Ata hanya mengerti bahwa yang membaca malam ini adalah Abi.

Sampul depan Seri Digby dan Hester di Pasar Antik: Kisah Rambut Palsu Mozart karya Gerry Bailey dan Karen Foster
(Foto: pribadi)

“Jadi, buku ini menurut kamu gimana?” Bagian yang paling Abi suka adalah membahas buku. Ata sudah hafal. Ata tadi menyimak dengan baik dan sudah siap berkomentar.

“Ata suka Digby. Kalau Ata sudah 7 tahun, Ata mau seperti Digby. Kolektor barang antik,” sahut Ata.

“Memang kamu tahu, kolektor itu apa?” tanya Abi agak mengejek.

“Tahu. Mama bilang, kolektor itu orang yang mengumpulkan sesuatu untuk dikoleksi.” Melihat ekspresi Abi, Ata cepat-cepat melanjutkan, “Mama sudah pernah baca untuk Ata. Tapi Ata mau lagi. Nanti kalau Ata sudah bisa baca sendiri, Ata mau baca setiap hari.”

Abi hanya mengangkat alis.

“Abi suka sama siapa?”

“Di buku ini?” Ata mengangguk. “Mr Rummage. Keren banget. Punya kios yang penuh dengan barang yang bikin penasaran. Tahu cerita dari benda-benda itu lagi. Di buku ini, misalnya, dia punya rambut palsu Mozart dan tahu kisah Mozart! Jadi aja cerita tentang hidup Mozart di sana.”

“Ata suka banyak gambar.”

Gambar kios Mr Rummage
(Foto: pribadi)

“Iya, buku anak-anak memang asyiknya banyak gambar. Hurufnya juga besar-besar. Sampulnya tebal dan desainnya bagus. Biar anak-anak suka baca.”

“Ata suka baca.”

“Dibacain, maksudnya?”

“Ya nanti kalau Ata sudah sekolah, Ata baca sendiri, Bi. Ata bacain deh buat Abi.”

“Iya, iya, lanjut bahasnya. Sebelum dibacain Mama, Ata berharap apa dari buku ini?”

“Ceritanya Digby. Habis, Digby itu suka banyak cerita kalau sudah ke pasar antik. Mozart-nya juga suka sih… kan biasanya cuma dengar lagunya tuh.”

Abi mengangguk. Mama sebentar-sebentar melap hidungnya. Mama mau ikutan bahas, “Menurut kamu, sllrpp—”

“Menurut Abi, Mama nggak usah ikutan,” ujar Abi tegas. “Mama tidur aja.”

Mama mengabaikan Abi dan tetap bertanya pada Ata, “Menurut Ata, ceritanya menarik?”

“Menarik. Ada cerita Digby-nya, ada cerita Mozart-nya,” jawab Ata.

“Maksud kamu, ada fiksinya, ada nonfiksinya?” Abi memperjelas.

Ata memandang Mama. Bahasa Abi susah menurutnya. Mama paham, “Iya, cerita Digby itu fiksi. Artinya cerita karangan. Kalau kisah hidup Mozart yang ditulis di bagian ini (Mama membukakan bagian tertentu) namanya nonfiksi.”
  
Ini bagian nonfiksi yang dimaksud Mama
(Foto: pribadi)

“Akhir ceritanya bagus, Ata?” Abi kembali ke pembahasan. Abi memang orang yang fokus kalau sudah membahas sesuatu.

“Ata suka. Hester ngeledekin Digby—dan mereka akan main lagi ke tempat Mr Rummage untuk cerita baru.”

“Habis Ata baca, Ata dapat manfaat apa?”

“Ya, Ata tahu tentang Mozart dong, Abi. Tapi nggak ngebosenin. Seru!”

“Berapa bintang untuk buku ini—1 sampai 5?”

“Lima!” Ata menunjukkan kelima jari kanannya yang kurus panjang. “Abi?”

“Yap. Sama. Lima.”

“Yay!” Mereka tos-tosan.

“Terus, kalau kamu misalnya ketemu sama penulis bukunya, kamu mau ngapain?”

“Mau minta bikinin cerita untuk Abi.”

“Untuk Abi?” Abi senang sekali Ata bilang begitu.

“Iya. Bikinin cerita tentang jenggotnya Abi.”

“Yeee.. emang jenggot Abi palsuuuu... .” Abi mengelus-elus jenggotnya. “Sini tangan Ata. Elus jenggot Abi yang superkeren ini.”

“Nggak mauuuu… .”

“Sini, sini.” Abi malah menggosokkan jenggotnya ke wajah Ata.

“AAKKKK~ MAMAAAA~,”Ata berteriak-teriak kegelian. Mama makin nggak bisa tidur.
  
Gambar pasar antik yang dikunjungi Digby dan Hester, ditambah gambar tokoh-tokoh dalam buku ini
(Foto: pribadi)
Identitas buku:
Judul: Seri Digby dan Hester di Pasar Antik: Kisah Rambut Palsu Mozart
Penulis: Gerry Bailey dan Karen Foster
Pengalih bahasa: Septina Yuda (editor: Gabriella Felicia)
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Kota, tahun: Jakarta, 2008


(tulisan yang diikutsertakan dalam Reading ChallengeNovember 2016 Monday Flash Fiction)

Rabu, 16 November 2016

(Ulasan) Peninggalan Benda dan Nonbenda dalam Warisan karya Chairul Harun

         Kesan pertama setelah aku menutup buku Warisan karya Chairul Harun adalah kok bisa aku baru tahu sekarang ya?
  
Halaman depan Warisan karya Chairul Harun


Penyajiannya asyik seperti kau sedang mendengarkan kakekmu bertutur. Kisah dalam Warisan dijalin begitu memikat, tumpat. Novel ini hanya mengambil satu episode ketika Rafilus pulang ke kampung halamannya di Kuraitaji, Sumatra Barat, hingga tugasnya di sana selesai dan ia kembali ke Jakarta. Meski demikian, cerita tak sesederhana itu. Konflik berupa intrik mendapat warisan dikemukakan secara apik oleh penulisnya.   

Rafilus datang dari Jakarta ke Kuraitaji sebagai utusan dari ibu dan adik-adiknya untuk menjemput ayahnya, Bagindo Tahar, yang sakit keras. Ia berencana mengobati ayahnya hingga sembuh di Jakarta. Sayangnya, ayahnya tak menghendaki demikian.         

Ayahnya tak dapat meninggalkan adiknya, Siti Baniar, dan kemenakannya—anak dari Siti Baniar—Sidi Badaruddin yang pula sakit keras. Ketiganya dijadikan satu kamar dengan tiga tempat tidur yang berbeda. Ketiganya digadang-gadang akan meninggal dan banyak orang berharap warisan harta benda atas mereka. Rafilus akhirnya tinggal sementara untuk mengurus mereka.

Selama merawat itulah, Rafilus bertemu dengan berbagai macam manusia di sekitar hidup ayahnya. Mereka yang tulus dan mereka yang datang dengan mengada-adakan hubungan darah, berharap mendapat bagian warisan bila Bagindo Tahar wafat.

Mulanya kupikir aku akan dapat menemukan budaya Minang yang kental agama. Nyata dalam novel itu disajikan sisi lain wajah Minang. Rafilus yang berpendidikan, tinggi-tampan, dan calon pewaris Bagindo Tahar bukan tokoh sempurna. Ia dapat diandalkan untuk mengurusi keluarga besarnya—dan memang bisa memimpin. Namun, tetap saja ia lelaki yang dapat sewaktu-waktu memuaskan berahi tanpa harus menikahi terlebih dulu. Upik Denok, Arneti, Maimunah, dan Farida merupakan perempuan-perempuan yang ditidurinya.

Entahlah, aku jadi bertanya-tanya, apa novel ini mendekonstruksi atau hanya memaparkan kenyataan?

Rafilus yang orang kota dan sudah memiliki harta yang cukup itu tidak memerlukan uang lagi dari ayahnya. Namun, ia sejak SMP tidak salat dan hanya salat ketika ayahnya meninggal. Dalam mataku, orang Minang itu taat salat. Ini tentu tidak sesuai dengan pikiranku.

Hal lain yang membuat aku heran, misalnya pandangan tentang hubungan perempuan dan laki-laki. Melalui Ajo Pekok, Mamak kandung Farida, tampak budaya macam ini:
"Ada yang tidak kauketahui tentang negerimu ini. Seorang perempuan cantik seperti kemenakanku baru merasa malu kalau selama hidupnya hanya kawin dengan seorang laki-laki. Kalau seorang laki-laki ingin punya beberapa orang istri, maka perempuan juga ingin punya beberapa orang suami. Bedanya, perempuan tidak bisa sekaligus.” (hal. 91)

Aku lantas teringat ada salah seorang yang masih berikatan keluarga di Riau yang heran ketika tahu ibuku hanya menikah dengan bapakku.

Rasa tidak habis pikir itu dijawab di paragraf berikutnya:

… Di atas permukaan, dalam kehidupan masyarakat, semuanya tampak demikian ketat, demikian fanatik dengan nilai-nilai adat serta kesusilaan. Tetapi jauh di bawah mengalir dengan deras arus kebebasan untuk menikmati kehidupan duniawi. (hal. 92)

Oke. Itu bukan fokus novel ini sebetulnya. Aku tertarik saja menemukan fakta begitu. Fokus novel, sebagaimana judulnya, adalah warisan. Seorang bangsawan akan meninggal. Sudah pasti hartanya banyak. Begitu kan?

Sayangnya, tiap orang harus menghadapi pengertian lain terhadap simbol warisan ini. Warisan, bagi Bagindo Tahar, adalah:
 "… Semua mereka beranggapan yang dinamakan warisan adalah harta benda,  sedangkan aku berpendapat warisanku adalah darah perangai serta semangatku.  Seluruh anakku telah menerimanya. Tetapi masih ada anak-anakku yang      beranggapan belum menerima warisanku. Tentu mereka mengharapkan harta.    Kauberikan pada mereka.” (hal. 106—107)

Menarik.

Membaca novel ini, tampak penulis piawai mengikat konflik satu dengan yang lain. Mulanya mengingatkan aku pada Ledakan Dendam-nya Agatha Christie yang membahas keserakahan manusia hingga terjadi beberapa pembunuhan. Cuma ya… latarnya Mesir. Sementara itu, Warisan berlatar Sumatra Barat--dan nggak ada pembunuhan.

Selama membaca novel ini, kuharap kau tidak jauh dari KBBI. Pasalnya, bahasa yang penulis gunakan banyak arkais. Perbedaan masa memang tak bisa dibohongi, ya? Kau harus sezaman untuk dapat memahami perbendaharaan kata. Selain itu, aku yang Jawa tidak dapat mengerti benar beberapa hal semisal sistem kekerabatan di Sumatra Barat. Aku cenderung mengabaikan hal ini dan tetap melanjutkan baca. Ya memang, penulis sudah berbaik hati membuatkan keterangan di akhir buku, tapi tetap saja kau harus duduk di depanku lalu jelaskan kepadaku, baru aku ngerti. Hahahaha.
  
Keterangan yang diberikan penulis di akhir buku
Identitas buku:
Judul: Warisan
Penulis: Chairul Harun
Penerbit: Pustaka Jaya
Kota, tahun terbit: Jakarta, 2002 (cetakan kedua)

  

Selasa, 15 November 2016

(Ulasan) Dongeng karya Grimm Bersaudara untuk Haura

: Anindya Haura Sakhi Ahmad, selamat ulang tahun

“Hauraaaa…,” tak tahan aku tak menjawil pipi Haura, gadis kecil rambut gelombang bermata jeli. Ia menampik tanganku. Tak suka di-jawil rupanya. Lama tak jumpa memang membuat ia harus mengenaliku dari awal lagi. Aku yang sudah terbiasa digituin anak kecil ya cuek aja.

Aku tahu Haura suka membaca. Kuambil sebuah buku dari tasku lalu berpura-pura bicara sendiri untuk menarik perhatiannya, “Baca dongeng ah. Kayaknya seru banget nih bukunya. ‘Dongeng karya Grimm Bersaudara’.” Kulirik Haura. Dia masih sibuk dengan es krimnya. “Haura, lihat deh sampulnya. Bagus ya?”

 
Halaman depan Dongeng karya Grimm Bersaudara

Haura melihat sekilas. Antara ingin melihat dan takut denganku.

“Ada banyak dongeng di buku ini. Em, 15 terus tambah satu cerita tentang penulisnya.”

“Ceritanya tentang apa aja, Tante?” Mama Haura ikut memancing.

“Banyaaaakkkk… . Ada Putri Salju, Hansel dan Gretel, Tom si Ibu Jari, Rapunzel, Aurora—”

Daftar dongeng di buku Dongeng karya Grimm Bersaudara ini

“Wah, Haura suka banget tuh sama Aurora! Ya kan, Haura?”

Haura mengangguk sambil tetap khusyuk dengan es krimnya.

“Oh, Haura sukanya sama Aurora. Kalau Tante Ikaf sih suka cerita kurcaci dan tukang sepatu. Sepatunya bagus-bagus. Haura sini deh lihat,” bujukku. Haura mulai melihat ke arah gambar yang aku tunjukkan. “Sini. Dari situ mana kelihatan.”

Haura melihat ke arah gambar. “Bagus?” tanyaku.

Dia mengangguk. “Haura juga punya sepatu ini,” katanya tak disangka-sangka. Yay, alhamdulillah dia mau ngomong! Hahaha.

“Oh, sepatu warna merah ya, Haura?” Dia mengangguk. “Baguuusss… .”
  
Gambar sepatunya lucu-lucu!
        
“Bukunya bagus, Tante?” tanyanya mulai terang-terangan terbuka.

“Yap. Sesuailah dengan Tante pikir. Dari sampulnya bagus, terus lihat daftar isinya juga bagus. Dari awal pegang, waaahhh Tante udah pengin beli!”

“Haura nggak suka cerita sedih.” Huruf “r”-nya fasih sekali.

“Tos. Tante juga. Tenang aja, akhirnya bahagia kok. Eh, ini lihat deh, banyak gambar bagusnya. Nggak tulisan doang.”
  
Buku Dongeng karya Grimm Bersaudara dilengkapi ilustrasi yang kece!

“Nanti setelah baca—atau dibacain sama Ibu—Haura bisa tahu bahwa selain Aurora, banyak banget cerita yang juga bagus. Gimana perjuangannya si Tom, kisah Rumpelstiltskin, sampai kisah tentang pembuat dongengnya. Grimm bersaudara.”

"Ini nih, cerita 'Rumpelstiltskin'."

“Mereka masih ada, Tante?”

“Nggak. Wilhelm Grimm meninggal tahun 1859 dan Jacob Grimm meninggal tahun 1863.”

“Tante udah lahir?”

“Hah? Ya belumlaaahhh.. Ibumu juga belum, Sayang. Hahaha.”

“Kirain masih ada. Terus Tante ketemu. Kalau mereka masih ada, terus Tante ketemu, Tante mau bilang apa?”

“Emmmm, bilang apa yaa?” Aku sok-sok mikir sambil lihat ekspresinya. “Tante mau bilang terima kasih aja deh. Terima kasih karena mereka menuliskan dongeng-dongeng yang bagus banget, Haura aja suka. Selain Haura, pasti banyak anak-anak di luar sana yang senang diberi cerita bagus. Anak-anak akan jadi orang yang kreatif deh sebab imajinasinya terasah. Tante juga mau lho kalau opa-opa itu ngajari Tante nulis dongeng gitu soalnya kan—”

“Bu, es krim Haura habiiis.”

“Oh, habis ya? Ya udah, kalau habis, sini bersihin,” sahut Ibunya.

“—seru banget.” Aku dicuekin. Aku akhirnya melihat Ibu dan anak itu sibuk dengan es krim yang habis dan membersihkan sisa-sisa es krim di mulut dan baju. Serah, Haura, serah. Suka-suka Haura ajalah. Tadi nanya, tapi nggak didengar jawabannya. Hauft. *pundung*

 
Dongeng si pembuat dongeng
Identitas buku:
Judul: Seri Dongeng Sepanjang Masa: Dongeng karya Grimm Bersaudara
Penyusun: Ruth Brocklehurst dan Gillian Doherty
Pengalih bahasa: Kartika Sari Santoso (editor: Marina Ariyani)
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Kota, tahun terbit: Jakarta, 2012

p.s.:
buku ini kuberi rating 5 dari 1—5. Yay!
(tulisan yang diikutsertakan dalam Reading ChallengeNovember 2016 Monday Flash Fiction)

Minggu, 13 November 2016

Malam #NusantaraBerdendang di Istana Merdeka

          Jumat, 28 Oktober 2016 adalah hari yang ultrakeren! Aku (bersama teman-teman Malam Puisi Jakarta) ke Istana Merdeka. Wahahaha.

Undangan, skema jalan, kartu parkir, buku acara, dan goodie bag
(foto: pribadi)

          Ngapain ke sana? Untuk menghadiri acara peringatan Sumpah Pemuda yang ke-88 bertajuk “Nusantara Berdendang”. Dalam acara itu disajikan berbagai tarian daerah (dengan beberapa dimodifikasi atau digabung dengan tarian lain). Aku cerita pakai foto-foto aja ya. Iya.

Barisan penyambut RI-1 dan RI-2
(foto: pribadi)

Tari Pa'jaga Makkunrae (Sulawesi)
Pada dasarnya, pajaga bukan hanya gerak semalam suntuk, melainkan sebagai meditasi, pemujaan kepada penguasa alam zaman pra-Islam untuk menjaga ketenteraman dan kesejahteraan lahir dan batin.
Tarian ini biasanya ditarikan oleh bangsawan di dalam istana.
(foto: pribadi)

Tari topeng (Jakarta)
Tari topeng dulunya ditarikan secara berkeliling oleh para seniman, biasanya mereka diundang pada acara khitanan atau pernikahan dengan fungsi pengusir malapetaka
(foto: pribadi)

Tari kuntulan.
Tari ini terdapat di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai salah satu media penyebar agama Islam.
Para penarinya menggunakan baju tertutup dan nyanyiannya berbahasa Arab.
Tari kuntulan yang ditampilkan tempo hari di istana itu, bersama gandrung, mewakili Banyuwangi.
(foto: pribadi)

Tari gandrung (Banyuwangi)
Tarian gandrung merupakan tarian perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.
(foto: pribadi)

Para penjaga bersiaga
(foto: pribadi)

Wayang Ajen--Sumpah Sang Satria (Jawa Barat)
Prabu Kresna mengangkat Gatotkaca menjadi senapati perang di Kurusetra. Sumpah sang Satria Gatotkaca untuk maju ke Kurusetra berperang melawan Adipati Karna sampai titik darah penghabisan demi kejayaan bangsa dan negara.
(foto: pribadi)

Tari kecak (Bali) yang dipadukan dengan tari saman (Aceh).
Tari kecak mengisahkan pertempuran kakak beradik Subali dan Sugriwa yang sangat dahsyat.
(foto: pribadi)

Di akhir acara, seluruh pengisi acara menari bersama.
Tampak di gambar Gatot Kaca yang tingginya fenomenal sedang menari.
(foto: pribadi)

          Selain tari-tarian, hal yang nggak kalah menarik adalah pergantian wajah istana. Foto hampir semua foto dari kamera ponselku. Nih, nih.
Istananya begitu hidup.

Epik! Ini favoritku.

Bendera besar!

Para pemuda ketika itu.

Kece banget kan?

Indonesia raya!

Batik, yay!

Jelang pergantian gambar.

Pura-nya warna-warni!

Gambar tari piring!

Dinamis!


Ketika di bawah istana

Kami punya mimpi suatu saat membaca puisi di tangga istana ini!

Berpotret di salah satu sudut istana

Foto sebelum masuk dan hilang sinyal karena akses memang dibatasi
(foto: Bentara Bumi)

Oh, kau nggak tahu senangnya aku! Alhamdulillah.
Lihatnya ke aku aja ya, jangan ke sampahnya.
Tapi kalau kau lihat ada orang yang taruh sampah sembarangan, kasih tahu. Kasihan dia.
Dadah.

Sabtu, 12 November 2016

Mereksmi Memberi Warna di #MembacaChairil

          Oktober menjadi bulan yang paling wow sepanjang 2016 ini, bagiku. Pertama, aku mendapat kesempatan sebagai moderator di acara “Membaca Chairil”. Kedua, aku menjadi salah satu tamu undangan untuk peringatan Sumpah Pemuda di Istana Merdeka. Ketiga, aku menjadi salah satu juri lomba puisi. Asyik banget!


        Nah, tulisan ini membahas diskusi “Membaca Chairil”. Horay!

Atur tempat untuk diskusi
                Sebenarnya, “Membaca Chairil” memiliki serangkaian acara: menyusuri jejak Chairil di Cikini dan sekenanya, diskusi buku, hingga malam puisi. Acara pertama, tur sejarah, menyusuri jejak Chairil, aku nggak ikut karena harus gladi resik. Jadi yaa.. nggak bisa cerita apa-apa. Yang jelas sih, tur sejarah itu dipandu oleh teman-teman dari Jakarta Good Guide. Mereka sering bikin acara tur sejarah gitu. Cek aja acara mereka berikutnya.
Ini dicomot dari @wulanparker deh kayaknya. Soalnya, ada Wulannya! Haha.
Oh ya, itu suasana jalan-jalan menyusuri jejak Chairil dan suasana diskusi.
       Deg-degan dimulai ketika rombongan tur sudah tiba di ke:kini dan bersiap untuk mengikuti diskusi buku. Sekira pukul 17.30 diskusi buku Chairil karya Hasan Aspahani dimulai.

Yuk, mulai diskusinya! 

         Acara dibuka dengan pembacaan puisi oleh teman-teman dari Malam Puisi Jakarta: Edoy, Riza, Syahrul, dan Danis. Baca puisi apa? Tentu karya Chairil-laaahhh~
         
Beuhh, gayanya Riza! Dihayati betul.

          Banyak hal baru (dan menarik pasti) tentang Chairil. Aku curiga, jangan-jangan Bang Hasan ini lebih tahu tentang Chairil daripada Chairil sendiri. Hahaha. Habisnya, kau tanya apa, kurasa buku Chairil bisa menjawab. Kalau nggak, ya tanya langsung kepada Bang Hasan.
          Misalnya nih ya, kau tahu Chairil sudah menetapkan cita-cita di jalur seni ketika usianya 15 tahun? Padahal, ayahnya Chairil, Toeloes, orang yang cukup berada dan sangat berharap Chairil jadi pegawai sebagaimana dirinya (emm, jabatan bapaknya sih setingkat bupati, kalau disamakan dengan sekarang).
          Chairil itu usil sekali. Ini kita bisa lihat dari karya-karyanya. Dia cenderung memberontak terhadap bahasa. Misalnya penggunaan kata “legah”, alih-alih “lega”. Selain itu, ada kata dari puisi “Kenangan” yang menjadi bahan debat aku dan teman-teman Malam Puisi Jakarta ketika rapat penentuan nama acara. Biar kujelaskan dulu. “Membaca Chairil” adalah nama yang diusulkan Danis. Aku, mengusulkan:
Chairil
Mereksmi Memberi Warna
         
          Aku jatuh cinta pada kata “mereksmi”. Aku cari di KBBI, tidak ada. Hasil googling waktu itu juga tidak memuaskan. Meski begitu, aku tetap utarakan judul itu. Sebagaimana diduga, mereka yang mendengar akan bertanya, “Mereksmi itu apa?”
          “Aku nggak tahu.” Ya, memang aku nggak tahu.
          Kami mulai berasumsi-asumsi. Aku pikir, mungkin mereksmi itu ditegaskan oleh frasa berikutnya: memberi warna. Jadi, mereksmi sama dengan memberi warna. Namun, yah, itu cuma ke-mung-ki-nan. Bukan yang pasti betul. Tidak mau berisiko, judul itu tidak digunakan.
          Dasarnya lapar wawasan, aku dan teman-teman bergerilya dari teman yang satu ke teman yang lain, dari grup yang satu ke grup yang lain, hingga dapatlah pengetahuan bahwa mereksmi merupakan salah satu bahasa prokem yang berkembang di Medan kala itu. Orang menggunakan bahasa kode kepada yang lain. Kata kapan jadi kavanderpan. Semacam itu. Nah, mereksmi merupakan bahasa kode untuk mereka. Iya, mereksmi itu artinya mereka! Gils. Aku jadi membayangkan ada orang yang menulis puisi pakai bahasa “gaga”! Jadi gini:
          Kagamuga segalagalugu diga hagatigakugu

          Mamam.


          Kembali ke acara diskusi buku Chairil karya Bang Hasan Aspahani. Dengan asyik, Bang Hasan cerita tentang Chairil yang bertengkar dengan Asrul Sani karena masalah plagiarisme, Chairil yang dipukul HB Jassin di belakang panggung ketika Jassin akan pentas, hingga keluarga Chairil. Kau bisa baca sekilas tentang itu di buku Chairil, kok. Selebihnya, misalnya untuk tahu makanan favorit Chairil adalah ketan durian atau untuk tahu Chairil harus menulis untuk ditukarkan dengan Rp25,00 guna membeli salvasan atau untuk tahu puisi Chairil kesukaan Bang Hasan, ataauuuuu.. untuk tahu kalau buku ini akan difilmkan, ya kau harus bertemu Bang Hasan langsung. Hehehe. 

Berfoto bersama Bang Hasan ketika rapat

Dapat tanda tangan Opung Chairil dan Bang Hasan, dooong~ *pamer*
Rapat pertama bersama teman-teman Malam Puisi Jakarta

Rapat kedua, bersama Bang Hasan, Gagas Media, Jakarta Good Guide, dan pihak ke:kini


 Aku: "Bang, ini pertanyaan titipan. Tentang frasa 'penyair sempurna' yang Abang kutip dari A Teeuw. Apa Chairil sempurna dalam puisi itu saja (A Teeuw membahas 'Cemara') atau memang dianggap sempurna sebagai pernyair? Kita kan tahu betapa bohemiannya dia. Bagi orang yang memilih jalan penyair, apa harus bohemian dulu--seperti Chairil--agar menjadi penyair sempurna? Tapi masalahnya, kalau dia tidak hidup sebagaimana dia jalani, apa dia akan menghasilkan 70 karya luar biasa dalam waktu 7 tahun?"

"Chairil ini, teman-teman, banyak sekali bikin puisi yang ditujukan untuk perempuan. Sebut saja, Mirat, Ida, Sri Ajati, Dien Tamaela, dsb. Chairil ini punya magnet yang kuat terhadap perempuan. Kok pada mau ya?"

Aku: "Mbak, Mbak bangga nggak jadi cucunya Chairil?"
Bu Nasti (cucu Chairil): "Nggak, biasa aja. Karena kan Ibu saya aja tahu dia anak Chairil ketika sudah sekolah."
Aku: "Kalau saya, pasti udah petantang-petenteng Mbak jadi cucunya beliau."
Penonton: "Makanya nggak jadi cucunya Chairil. Cita-citanya gitu sih. Hahahaha."

Bang Hasan kuminta membaca puisi Chairil favoritnya. Judulnya "Aku Berkisar di Antara Mereka". Yay!

Ketika sesi tanya jawab dibuka, banyak yang mau nanya, dong. 

Kesamaan kami yang hadir di sana adalah satu: untuk Chairil

Para penanya mendapatkan goodie bag dari Gagas Media. 

Ini sudah acara Malam Puisi. Bumi, motor Malam Puisi, sedang cerita tentang Malam Puisi di Indonesia
Gabriel Mayo membuka malam puisi

Moderator Malam Puisi kali itu: Ndigun

Bang Hasan membacakan naskah pidato Chairil
Al membacakan "Diponegoro" dengan dramatis!
Rangkaian foto-foto di sini diunduh dari tagar Membaca Chairil di Instagram dan Twitter dan karena banyak yang diunduh akhirnya lupa itu foto jepretan siapa. Kiranya aku dapat maaf :(

Tulisan tangan Chairil
Akhirnya, terima kasih untuk Malam Puisi Jakarta, Gagas Media, Bang Hasan Aspahani, Jakarta Good Guide, dan ke;kini atas kesempatan yang sudah diberikan untuk memandu diskusi "Membaca Chairil". Saya merasa alhamdulillah!


Chairil Anwar.
Binatang jalang dari kumpulannya terbuang yang tak bisa dijinakkan.
Dia datang dengan muka penuh luka, "Siapa punya?" tanyanya.
Dia si pengembara serupa Ahasveros yang dikutuk-sumpahi Eros.
Baginya, nasib adalah kesunyian masing-masing.
Ia suka pada mereka yang berani hidup dan yang masuk menemu malam.
Ia bercita-cita ingin hidup seribu tahun lagi dan hidup baginya,
sekali berarti, sudah itu mati.