Jumat, 28 Juni 2013

USDEK

          Tanggal 22 – 24 Juni 2013 lalu aku ke Solo bersama beberapa orang teman. Tujuannya, sih, mau menghadiri pernikahan seorang teman kerja. Namanya Estri Yunitasari. Em, tapi itung-itung sekalian liburan. Hehehe… .
          Menurutku, tata cara pernikahan di sana cukup menarik. Jadi, sebagai oleh-oleh kukisahkan tentang pernikahan ala Solo yang aku hadiri, ya? Iya. Siplah, kalau gitu.
          Penamaan untuk adat pernikahan ini beragam. Temenku yang menikah menyebutnya carikan sedangkan temanku yang lain menggunakan akronim usdek. Karena menarik, aku jadikan usdek sebagai judul sekaligus fokus penceritaan di sini. Oke, ya? Iya.
          Adat pernikahan Solo (Jawa Tengah secara umum) bisa kamu lihat di sini. Temanku tidak menggunakan adat Jawa secara lengkap. Ia hanya menggunakan beberapa di antaranya. Oh, ya, usdek itu kepanjangan dari unjukan, sop, dahar, es, kondur. Itu apa? Bentar, ya. Kita mulai dari awal.
          Jangan kamu bayangkan sistem perayaan pernikahan di sana seperti di Jakarta (atau kota besar lain) yang menggunakan prasmanan. Mulanya, ruangan dibagi dua sisi yang berhadapan. Sisi yang satu untuk perempuan sedangkan sisi lainnya untuk laki-laki. Bagian tengah dikosongkan untuk lalu lalang sekaligus datang-perginya pengantin. Tersedia beberapa meja di antara bangku. Di meja inilah jamuan nantinya ditempatkan.   
Sebelum acara dimulai, di meja sudah tersusun gelas-gelas kosong. Biasanya gelas-gelas ini akan disusun sedemikian rupa. Bentuk yang diambil di pernikahan temanku adalah segitiga.
          Adat di sini mengharuskan tamu yang datang dilayani, bukan ambil sendiri suguhan dari tuan rumah. Beberapa orang yang sudah ditunjuk telah siap melayani para tamu. Biasanya, kalau di kampung orang tuaku, orang-orang terpilih itu menggunakan pakaian adat, tetapi di pernikahan temanku mereka menggunakan koko—dan semuanya pria.



          Tahap pertama usdek adalah unjukan. Unjukan  berarti minuman. Namun, unjukan di sini juga berarti pemberian makanan pembuka. Dalam waktu hampir bersamaan, para pelayan ini muncul dengan membawa teko berisi teh pekat. Ya, teh di sana kental dan manisnya hanya slumut-slumut (samar-samar). Dengan mahir, satu tangan memegang teko dan tangan lainnya membuka tutup gelas – menuang teh – menutup gelas, para pelayan ini mengisi teh di gelas-gelas yang sudah tersusun di meja.




          Tidak berapa lama, pengantin wanita masuk disertai iring-iringan. Ia ditemani keluarganya (bukan keluarga inti) hingga di pelaminan. Setelah itu, ia duduk dan menunggu.





          Rombongan mempelai pria kemudian datang dan berdiri di muka pintu. Keluarga mempelai wanita berdiri di sisi dalam. Keduanya memiliki wakil untuk berbicara. Wakil dari rombongan mempelai pria menyatakan kedatangannya lalu wakil mempelai pria menyambut dan mempersilakan masuk (kurang lebih gitulah, pake bahasa Jawa alus banget soalnya). 


          Berikutnya, sementara mempelai pria masuk, mempelai wanita berjalan menuju mempelai pria. Ini disebut panggih atau temon yang artinya kurang lebih sama: bertemu. Temanku tidak memakai adat injak telur, membasuh kaki, dan lempar sirih. Ia langsung ke bagian sindur (isin mundur = malu mundur). Pada bagian ini ibu mempelai wanita menyampirkan kain berwarna merah – putih di bahu kedua mempelai. Selanjutnya, pengantin diantar duduk ke pelaminan. Seharusnya, ayah mempelai wanita memimpin di depan. Sayangnya, ayah temanku itu sedang sakit, sehingga tidak bisa mengiringi. Ketika itu, aku sempat melihat ayahnya mengeluarkan air mata. Kukira ia ingin sekali turut mengantar anaknya.


   



          Sesampainya di pelaminan, pengantin dipersilakan duduk sebentar untuk kemudian mengikuti tahap sungkeman.



          Pada bagian ini, ayah temanku tampak menahan tangisnya. Yang pada akhirnya tangisnya pecah adalah ibu mempelai pria. Melihat ibunya menangis, fotografer sebelahku yang ternyata adik mempelai pria ikut menangis. Ini barangkali karena ayah mempelai pria sudah berpulang.
 
Ibu mempelai pria tampak menyeka air mata

          Jika di atas pelaminan sedang sungkeman, para pelayan menyajikan makanan pembuka—lagi-lagi secara hampir serentak. Yang menjadi makanan pembuka di sana adalah bolu gulung dan risol. Aku kembali membandingkan dengan makanan pembuka di kampungku yang (biasanya) berupa wajik, kacang goreng tepung, emping, bolu, dodol, dan semacamnya (tiga atau empat jenis tiap piring).



          Setelah unjukan, makanan berikutnya yang dihidangkan adalah sop. Sup yang disajikan di sana adalah sop matahari—seorang teman bertanya kepada penyaji. Em, tepatnya itu apa aku nggak ngerti. Hahaha… . Yang jelas, ada daging giling, irisan wortel, irisan jamur kuping, dan sosis di bagian atas. Ini penampakannya. Jangan ditanya lagi, beda banget dengan di kampungku.



          Di tengah-tengah acara, Al, anak temanku, tiba-tiba minta mainan. Nggak ngerti, deh, dia tahu aja ada yang dagang di luar. Alhasil, ia menggelar mainannya. Jadi begini ini.



          Di sisi lain, keluarga mempelai wanita memberikan sambutan. Lagi-lagi dengan bahasa Jawa halus. Aku nggak ngertiiii… . Fotoin ajalah.



          Makanan berikutnya yang dihidangkan adalah nasi lengkap dengan lauk-pauknya (dahar). Di sana nasinya dibentuk sedemikian rupa. Lauknya enak-enak. Jangan tanya itu apa aja (hahaha.. dudul tentang penamaan makanan soalnya). Liat aja langsung, deh!



          Bagian usdek  yang selanjutnya adalah es. Esnya enak. Ada jelly di dalamnya.


          Yang terakhir ya kondur (pulang). Pengantin dipersilakan meninggalkan ruangan. Pun tamu. Sudah boleh pulang. Acara bebassss… . Kami mengajak mempelai wanita untuk berfoto bersama.
 
dari kiri ke kanan: aku, mb Ika Pratiwi, mb Estri Yunitasari, mb Anna Mariana, mb Firda Aulia, dan Afkari Syakha Al Labiby (Al)

Orang-orang di balik layar
Ada orang lain di balik sebuah kegiatan. Ini yang sempat kutangkap:
1.     Penata kostum



2.    Penerima tamu dan keluarga



3.    Sebelum sebuah foto itu jadi dan masuk facebook
 
Mb Firda, Mb Ikap, dan Mb Anna diminta memotret teman-teman Mb Estri yang lain


4.    Fotografer untuk diri sendiri (halah!)
 
Mb Anna dan aku

 Terus, terus, bagaimana tradisi pernikahan di tempatmu?

Rabu, 19 Juni 2013

Kita Masih di Jalan

Pulang sedang dalam perjalanan
Lewat pasar lepas tengah malam
Lalui tukang ikan
Lalui tukang ayam
Lalui tukang sayuran
Lalui tukang buahan
Lalui tukang kemenyan.

Ya, kita masih di jalan.


(16 Juni 2013)

Senin, 17 Juni 2013

Kita Tidak Sedang Berkompetisi

kita tidak sedang berkompetisi

puisi kita kawin di sini
dan kau masih berpikir ini kompetisi

mari kita tenggak puisi
melarut meluruh dalam diri


(Kedai Lentera Jakarta, 15 Juni 2013)

Kamis, 13 Juni 2013

Malam

Hai, selamat malam.

Malam di kotaku gelap.
Di tempatmu bagaimana?
Gelap juga?

Ah, jangan-jangan kita jodoh?

Sabtu, 08 Juni 2013

Pemilik Rumah Berpintu (yang Awalnya) Terbuka

          Seseorang melintas di sebuah rumah berpintu terbuka. Ia masuk begitu saja lalu kembali dengan membawa surat rumah. Pemilik rumah mulanya tidak menyadari. Ia lantas histeris saat mengetahui inti dari rumah sudah dibawa lari. Ia histeris. Ia histeris.
          Berikutnya ia memagari rumahnya. Pintunya ia buka separuh. Seseorang datang, berdiri di depan gerbang. Si pemilik mengira orang itu adalah yang mestinya datang. Ia bukakan pagar, ia persilakan masuk ke dalam rumah. Pemilik rumah juga menyuguhkan minuman. Kala ia menyiapkan minum itu, oknum tamu beraksi. Ia pun pencuri, ternyata. Perhiasannya hilang, kendaraannya lenyap. Kembali pemilik rumah histeris. Histeris.
          Rumahnya berpagar. Kini ia pula tutup pintu dan mengunci rapat-rapat. Namun, yang kita tahu inti rumahnya hilang.


Ia masih menanti tamu yang seharusnya sambil menekan perih di dadanya.

Senin, 03 Juni 2013

Duduk di Sebelah Kanan


seseorang duduk di bangku taman
mawar layu kulihat di tangan
matanya nanar menembusi rerumputan

ia enggan melepas sedu sedan
diam mengudara ia biarkan

aku memilih untuk duduk di sebelah kanan
tak kupunya kata penghiburan
pun lelucon untuk ditertawakan
pula gosip untuk diperbincangkan

yang kumiliki sama dengannya
: diam

ia tetap bungkam
aku tetap duduk di sebelah kanan
hingga malam jatuh ke pelukan