Kamis, 31 Januari 2013

"Laporan" kepada Gus Mus

Gus Mus yang baik,
          Melalui surat yang sepucuk ini saya mau melapor, Gus. Saya telah menulis skripsi yang berjudul Representasi Kiai dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karangan A Mustofa Bisri: Suatu Tinjauan Semiotika dan sudah diwisuda tahun 2011. Alhamdulillah.
          Sebelumnya saya pernah mengirim surel ke gusmus.net—kalau tidak salah; sudah lama sekali—yang isinya kira-kira masih bicara tentang skripsi saya. Namun, tidak ada respon. Barangkali tidak terbaca, alamatnya salah, tidak sampai, atau memang isinya yang tidak perlu direspon—saya lupa isinya. Dengan alasan apa pun, mungkin surat itu memang tidak perlu sampai atau bagaimana. Ah, semiotis. 

Gus Mus yang baik,
          Saya mohon maaf jika kata-kata saya tidak sesantun murid-murid Gus. Menurut saya, Gus adalah sastrawan yang bagus dengan tokoh-tokoh dekonstruktif. Memang semula saya ingin mengkaji karya Gus menggunakan teori dekonstruksi, tetapi karena ini-itu saya “hanya” menggunakan semiotika.

Gus Mus yang baik,
          Saya mengagumi pola pikir Gus melalui karya-karya Gus. Saya sempat berpikir apa nantinya kata Gus melihat pembacaan yang saya lakukan terhadap karya Gus, tetapi lalu saya tepikan. Jika penepian itu tidak saya lakukan, barangkali tidak akan jadi tulisan saya.

Gus Mus yang baik,
          Sekian surat dari saya. Semoga Gus tetap bisa memberitahukan kepada dunia bahwa Islam bukan sekadar halal-haram melalui tulisan. Semoga Allah selalu menuntun Gus dalam berkarya dan kehidupan sehari-hari.

Salam. 

Rabu, 30 Januari 2013

Sayang, Berikan Senyummu


Teruntuk suami

Sayang,
          melalui surat ini aku ingin meminta satu hal kepadamu. Tidak berlebihan, tidak sulit, menurutku. Namun, mungkin barangkali agak sulit—bagimu?

Sayang,
          aku ingin kamu tersenyum tiap pulang ke rumah. Bisakah?

Sayang,
          barangkali aku tidak mengerti benar mengenai pekerjaanmu di kantor, tidak merasai benar-benar macet di jalan, tetapi bisakah kau tersenyum kepadaku saat pulang?

Sayang,
          aku tahu tenagamu tenaga sisa, aku cukup tahu kamu lelah, tetapi sadarkah kau bahwa aku bukan robot yang tidak bisa merasa lelah?

Sayang,
          anak kita bertengkar lagi dengan temannya di sekolah. Lagi-lagi aku dipanggil gurunya. Belum lagi nilainya yang kelewat berwarna itu. Cucianku belum kering karena tidak ada matahari yang muncul belakangan ini. Ayam-ayam entah milik siapa mengotori teras yang padahal sudah kusapu dan kupel. Ingin rasanya kugoreng ayam-ayam tidak berpendidikan itu! Belum lagi tetangga yang menggosipkan aku ini-itu. Gara-gara aku tidak berkumpul bersama mereka, maka akulah yang jadi objek gosip. Ya, memang begitu. Menggosipkan orang yang tidak ada di situ rumusnya.

Sayang,
          aku juga lelah. Aku juga kesal. Masing-masing kita memiliki kelelahan dan kekesalan sendiri. Jadi, bisakah kita sama-sama saling menguatkan dengan memberikan senyum satu sama lain?

Sayang,
          barangkali aku “cuma” di rumah. Namun, di rumah itu tidak “cuma”, tidak ada kerja yang “cuma”. Aku siap bertukar kerja jika perlu. Jangan kamu pandang yang di rumah itu “cuma”. Semua memiliki peranan masing-masing, bukan?

Sayang,
          kumohon, berikan aku senyuman—bahkan gelak tawa—yang seharian tadi kaulemparkan kepada teman-temanmu itu. Dengan itu aku kuat. Siap menghadapi esok. Siap menghadapi tetangga yang nyinyir, ayam entah siapa, cuaca, si kecil, pekerjaan rumah tangga yang tak bergaji.

Sayang,
          Bukankah kau sayang kepadaku? Ah, tidak, bukankah kita saling menyayangi?

Salam cinta,

istri

Selasa, 29 Januari 2013

Taman Simpang Empat Pangkalan Jati

Kepada taman di simpang empat Pangkalan Jati
Kalimalang

Hai,
          Terima kasih sudah hadir dan membuat hijau daerahku. Terima kasih sudah menaungi mereka. Terima kasih sudah mengizinkan mereka menyebutmu rumah.
          Semoga aku bisa duduk-duduk di situ. Dengan aman. Dengan nyaman. Tanpa tatapan aneh orang-orang. Ah, betapa aku kelewat peduli apa kata orang!
          Semoga ada lebih banyak tempat sepertimu. Terima kasih.

Salam,

Orang lewat

Senin, 28 Januari 2013

untuk Tukang Kue Putu



Hai abang tukang kue putu,
            Apa abang tahu betapa takutnya aku dulu tiap abang melintas di depan rumahku?
           Tuuu… tuuu… suara bambu yang menyayat-nyayat seperti suara anak yang menangis itu membuat anak seatraktif aku—bukan bandel, lho, ya?—lari ke rumah dan bersembunyi di tirai jendela.
      Mama selalu bilang, kamu itu perwujudan tukang cekok: orang yang memasukkan ramu-ramuan tradisional ke sebuah kain lalu menjejalkan kain itu ke atas mulut agar obatnya masuk. Mana mau aku yang tidak suka obat dan jamu ini berurusan dengan tukang cekok? Hih. Kain kumal tukang cekok selalu melintas di benak saat kau lewat—apalagi berhenti—di depan rumahku. Jantungku rasanya mau kabur. Takut aku.
            Abang tukang kue putu,
            Tahukah kau, hingga aku besar, aku baru mengenal putu dan kelepon. Itu pun setelah mengalami proses penyelidikan—ala aku sendiri tentu. Aku lihat orang-orang yang mendekatimu, pulang dalam keadaan menangis atau tidak. Aku cari asal suara “tuuu, tuuu” itu, ada anak nakal yang menangis yang kausembunyikan di gerobak atau tidak. Aku yang semula tidak mau melihatmu sama sekali mulai memberanikan diri mengintipmu dari balik tirai. Sebisa mungkin tidak terlihat.
            Uh, syukurlah, kamu tidak benar-benar menakutkan, Bang. Itu semata ulah Mama yang menurutnya aku tidak bisa dinasihati dan hanya kapok jika merasakan sendiri; dan aku takutnya hanya cekok. Semoga tidak ada anak yang takut lagi kepadamu sehingga mereka bisa merasakan kue buatanmu yang sangat Indonesia itu.
            Sekian suratku. Selamat berjualan, Bang. Semoga orang-orang tetap menyukaimu sehingga daganganmu laris.

Salam cekok,

aku

Sabtu, 26 Januari 2013

Surat Cinta yang Sekarung

     Surat cinta yang sekarung itu kujejalkan di bawah bantalmu saat kau tertidur. Kau bisa baca satu surat tiap hari tiap pagi. Surat-suratku berisi segala rasaku.
      Surat cinta yang sekarung itu kujejalkan di bawah bantalmu saat kau tertidur. Setelah itu aku menyusup ke dalam mimpimu dan memasang wajah seolah tak melakukan apa-apa. Kau akan keheranan, tetapi lalu tak ambil pusing, selama aku bahagia, begitu pikirmu.
      Surat cinta yang sekarung itu kujejalkan di bawah bantalmu saat kau tertidur. Dengkurmu yang keras itu merobek sepi, memberi irama pada malam. Sunyi telah mati, berganti melodi.
      Surat cinta yang sekarung itu kujejalkan di bawah bantalmu saat kau tertidur. Wajahmu yang damai dalam tidur rasanya menenangkanku. Jika sudah begitu, apakah masih ada hal yang bisa kukhawatirkan?
      Surat cinta yang sekarung itu kujejalkan di bawah bantalmu saat kau tertidur.Aku bersijingkat keluar kamarmu. mencopot bintang-bintang dan dengan berbisik--kuyakin kamu bisa dengar dari dalam mimpi--kuucap, "Selamat tidur, Pangeran. Selamat tidur."

Jumat, 25 Januari 2013

Pintu Rumahku

Dear pintu rumahku,
            Dari kamu aku tahu bahwa aku tumbuh. Dulu aku sekakimu, selututmu, hingga sekarang sebahumu. Terima kasih sudah menemani keluarga kami; menjadi jalur rezeki.

Salam,

aku

Rabu, 23 Januari 2013

Spion Mobil yang Tertampar Spion Motorku

Kepada pemilik mobil
Yang spionnya tertampar spion motorku

Maaf, ya, Pak/Bu/Saudara,
Level mengendarai saya
level ibu-ibu kompleks nganter anak sekolah
dan masih harus LEBIH banyak belajar.
Waktu itu saya kurang kontrol.
Semoga tidak terulang lagi.
Sekali lagi saya minta maaf.

Salam hormat,

saya

Pensiunan Bungkus Roti

Teruntuk pensiunan bungkus roti
Di atas meja

Kami menyebutmu: sampah.
Terima kasih atas jasamu selama ini
Membungkus roti.

Salam.

Selasa, 22 Januari 2013

Teruntuk rokok

Teruntuk rokok
Di mulut-mulut perokok

Maaf, ya, rokok,
Adamu bukan untuk kusukai.
Terutama asapmu.
Sekian.

Salam.

Minggu, 20 Januari 2013

Yang Sudah Pergi


Teruntuk yang sudah pergi

Sesuatu yang pernah hilang dan ingin kita raih lagi?
          Emmm… sebenarnya banyak. Saya ingin ini-itu yang pernah hilang kembali kepada saya. Namun, semakin saya menelusup ke dalam diri dan mempertanyakan bagian mana, hal apa, siapa, apa, yang ingin saya temukan lagi, semakin saya berkeras menjawab: tidak.
          Saya tidak ingin yang sudah pergi kembali kepada saya. Ini tentang waktu. Ini tentang yang terbaik. Ini tentang berjalan maju.
          Ketika hal itu, dia, sesuatu itu sudah hilang/pergi, saya mendapatkan banyak pelajaran sebagai ganti. Menurut saya itu cukup.
          Barangkali saya sedih, barangkali saya kehilangan, barangkali saya terluka, tetapi saya tidak ingin kembali. Jika saya ternyata di kemudian hari dipertemukan dengan dia/sesuatu yang pernah pergi, berarti memang sudah waktunya bertemu kembali. Cukup.  

Tetangga Depan Rumah: Setia


Untuk teman masa kecilku: Setia

Hai Setia,
          Apa kabar?
          Tempo hari lu ketemu bokap, ya? (Eh, apa udah beberapa bulan yang lalu,ya?)
        Bokap cerita, katanya lu masih inget gue, teman masa kecil dulu. “Ika apa kabar, Om?” gitu ya lu bilang. Bokap tadinya nggak ngenalin elu, tau. Kalimat lu yang berikutnya yang bikin bokap inget. Lu bilang, “Saya Setia, Om, yang dulu waktu kecil matanya dicolok Ika sampe berdarah itu… .”
         
          Dengan—gue rasa nggak enak banget pasti—penjelasan itu, bokap mengangguk dan tertawa. Gue aja ngakak abis. Jadi, waktu kecil gue pernah nyolok mata lu sampe berdarah?
          Maaf, ya, Setia, tapi beneran deh gue nggak inget. Ya, emang, sih, di mana-mana pelaku suka gitu. Lupa.

Setia yang baik,
          Sampai sekarang gue emang belum pernah lagi ketemu sama elu dan gue nggak tau waktu untuk ketemu elu lagi. Melalui surat ini (gue harap ada di antara pembaca gue itu elu atau kenal sama elu), gue minta maaf. Gue nggak bisa balikin kenangan masa kecil lu yang suram gara-gara peristiwa pencolokan berdarah itu.
          Tenang aja, lu bukan korban satu-satunya. Kata orang tua gue, gue juga pernah mukul kepala teman yang lain pake kayu, sampe berdarah juga. Lagi-lagi, gue nggak inget. Belum lagi, yang gue bikin nangis karena gue cubit atau gue pelototin. (Em, sebenernya sih gue agak curiga paragraf ini nggak menenangkan elu…)

Yah, pokoknya, temen masa kecil gue, Setia yang baik,
          Maaf, maaf, maaf.

Tetangga depan rumah (dulu),

Ika Fitriana

Kamis, 17 Januari 2013

mulanya hujan jatuh pagi-pagi


Mulanya hujan jatuh pagi-pagi
lalu hati jatuh pagi-pagi
lalu macet pagi-pagi
lalu hati patah pagi-pagi
lalu air mata jatuh pagi-pagi

Hai, kamu

Hai, kamu,
            Apa kamu mencintaiku hari ini?
            Tidak?
            Nggak apa-apa.
            Barangkali besok.

Salam,

aku

Rabu, 16 Januari 2013

Untuk Ibunya Anin (Wati Yunita)

18 Januari 2013
Teruntuk Wati Yunita
Di Buaran

Hai, Ibunya Anin,
            Apa kabaaar?
            Masak apa hari ini, Jeng? Eh, tapi udah belajar masak belum? Hehehehe… .
            Udah lama banget, lho, kita nggak ketemu. Dari November 2012 sampai sekarang. UDAH SETAHUN! Wow. Kebayang, deh, jeng pasti rindu banget sama saya. Ya, kan? Ya, kan? Nggak perlu malulah, Jeng. Biasa aja.
            Coba rindu itu bisa dikiloin ya, Jeng. Dituker ama piring gitu. Pasti udah banyak piring di rumah Jeng. Nanti, deh, saya usul ke tukang kiloan untuk ngiloin rindu kalau lewat depan rumah. Pasti laris. Eh, tapi dia juga buat apa, ya?
            Eh, bisa, bisa, rindu yang dia kumpulin bisa buat energi elternatif. Jadi di masa depan ada mobil bahan bakarnya rindu atau buat ngisi ulang ponsel pake rindu itu aja. Semakin banyak orang yang merindu kan jadi semakin bagus. Indonesia jadi punya banyak energi alternatif, deh! Nanti saya bilang ke Menteri yang ngurusin energi-energi, ah.
            Walah. Saya ngelantur, ya, Jeng. Jadi mikirin negara. Ya, abis gimana, ya, Jeng. Saking cinta gitu ama negara. Jeng itu emang paling bisa membangkitkan sisi nasionalisme saya.
            Eh, eh, omongan kita yang membumi aja, deh. Apa kabarnya Si Anin, Jeng? Udah bisa apa dia? Umurnya kan sekitar dua bulanan, ya? Itu waktu dia sebulan dirayain, nggak? Yah, itu biasanya anak sekolah kan tiap bulan ngerayain anniversary yang harusnya setaun sekali. Nah, Anin di-aniv-in, nggak, Jeng? Biar sesuai zaman gituuu… . Kalau di aniv-in undang-undang ya, Jeng. Makan gratis sebulan sekali itu perlu! Hahaha… .
            Oh, ya, Jeng, ini kan sudah zamannya emansipasi, ya? Idenya RA Kartini itu, lho! Dulu kami biasa cari ide tulisan bareng. Kalau Jeng kayaknya lagi ngerujak sama orang-orang, deh. Terus, pas rujakan itu ada ibu-ibu yang sibuk cari kutu.
            Eh, apa? Kita belum lahir pas zaman Kartini?
            Ahahaha… . Iya, Jeng, iya. Saya kan cuma bercanda. Gitu aja dibikin serius deh, Jeng ini. Cuti beberapa bulan bikin Jeng jadi lebih sensitippp yak.
            Balik ke masalah emansipasi, sekarang udah nggak zaman, Jeng, ada orang melahirkan terus dijenguk. Udah ganti. Dekonstruksi. Sekarang waktunya yang melahirkan jenguk yang belum melahirkan. Nah, cepet-cepet , ya, ajak Anin ke rumah Encingnya yang caem ini—inget, jangan diajarin manggil tante, apalagi ditambahin “girang”.
            Eh, udah, ya, Jeng, saya lagi masak. Em, masak air, sih. Takut airnya gosong. Udah, ya, udah. Sampai jumpa. Mmwachk! :* (tante Pinky bet!)

Encingnya Anin yang pol-polan caemnya,




Selasa, 15 Januari 2013

Gemericik Air di Ngricik

           Ngricik merupakan sebuah dukuh yang terletak di Desa Nungkulan, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Tanah kelahiran orang tua saya. Barangkali jika Anda cari di google maps tidak ada. Pun di peta.
            Jalan di Ngricik belum lama diaspal—baru beberapa tahun belakangan. Pasar di sana tidak buka setiap hari, tetapi hanya hari-hari tertentu saja—tanggalan Jawa. Namun, fokus saya bukan di situ. Saya mau berbagi tentang air di sana.
            Tiap saya pulang kampung, saya selalu tertarik dengan sistem pengairannya. Bukan, bukan irigasi yang saya maksud. Air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
            Penduduk di sana mengambil air tanah tidak menggunakan mesin tertentu, tidak menggunakan timba, apalagi memanfaatkan jasa perusahaan air minum. Mereka mengandalkan sumber air alami. Sumber air ini biasanya ada di sekitar sungai.
            Dahulunya warga setempat pergi ke sungai untuk kegiatan mandi dan cuci-cuci. Sebuah bilik (biasanya tanpa atap) dibangun di tempat yang memiliki sumber air. Dalam satu bilik, biasanya lebih dari tiga orang bisa mandi sekaligus. Pikiran kotor? O, o, pikiran mereka bersih sejernih airnya. Tidak ada yang berpikiran macam-macam melihat orang lain mandi—biasanya mereka menggunakan kain basahan.
            Itu tahun ‘90-an. Masa kecil saya. Tiap kali mandi dan buang air, saya selalu ke sungai. Meskipun tidak buang air, saya akan beralasan buang air demi bisa bermain-main air di sungai.
            Seiring berjalannya waktu, warga tidak lagi menggunakan sungai sebagai pusat kegiatan bersih-bersih. Sekarang di tiap rumah terdapat kamar mandi lengkap dengan peturasannya. Hanya kerbau dan sapi yang masih mandi di sungai.
            Oh, iya, saya tadi mau bicara tentang sistem pembagian air bersih di sana. Tiap rumah di Ngricik memiliki kolam di kamar mandinya. Air ini digunakan untuk banyak hal: minum, mandi, dan bersih-bersih. Mereka memanfaatkan air dari sumber.
            Alur perjalanan airnya kira-kira sebagai berikut:
            Air dari sebuah sumber—biasanya di sungai ada beberapa sumber air—dialirkan melalui pipa ke sebuah kolam kecil yang dibangun di ladang/pekarangan seorang penduduk. Untuk pembangunan kolam kecil dan pembelian pipa biasanya mereka urunan. Dari kolam kecil inilah air meluncur ke rumah-rumah warga yang dihubungkan dengan selang. Tidak ada keran. Untuk menghentikan aliran air di kolam mereka di rumah, mereka menggunakan gabus atau semacam itu untuk menyumbat.
            Satu sumber air bisa dimanfaatkan oleh beberapa warga, tergantung besar-kecilnya air yang keluar dari sumber tersebut. Semakin besar sumber air, semakin banyak warga yang dapat memanfaatkannya. Hingga hari ini.
            Bersyukurlah mereka di sana masih bisa mendapatkan air yang memadai untuk kehidupan sehari-hari. Bukankah air mengisi segala lini kehidupan?

(tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Jurnalistik Aqua)

Untuk Zarry Hendrik

Jatiwaringin, 15 Januari 2013
Dear Zarry,
            Apa kabar, Zarry? Masih gantengkah? Ah, pasti begitu. Tak perlu kautanya, aku akan memberi tahu bahwa aku masih cantik seperti sebelumnya.
            Kamu pasti lama banget, ya, nunggu surat dari aku? Habis, mau gimana? Ketika aku ingin mengirim surat ke kamu, aku terpukau ketampananmu, ternganga begitu lama. Sadar-sadar sudah tahun 2013. Ah, kurasa kau tak perlu tahu itu, Zar.
            Melalui surat ini aku ingin membalas puisimu tempo hari, Zar. Yang “Astaga, Gue Ganteng Banget!” itu. Aku begitu terkagum-kagum melihatmu. Pasti berat bagimu mengakui ketampanan tanpa membuat laki-laki lain iri begitu. Ah, ah, aku kebanyakan bicara. Ini puisiku untukmu:

Et Dah, Zarry, Elu Ganteng Banget!

Et dah, Zarry,
elu ganteng banget!
Tadinya kodok jalannya lurus,
tapi pas liat gantengnya elu,
dia melompat-lompat kegirangan dan lupa caranya jalan lurus.

Et dah, Zarry,
elu… elu ganteng banget!
Debu-debu itu tadinya satu makhluk.
Mereka melumer, meluruh, memencar
gara-gara gantengnya elu, Zar!

Et dah, et dah, Zarry,
elu ganteng banget!
Deket elu rasanya gue naek bajaj:
gemetar!

Et, dah, eh bujug, Zarry,
elu ganteng banget!
Pikiran awal gue, foto lu foto editan:
apa iya ada orang ganteng ampe sebegitunya?

Teori gue tentang foto editan bubar jalan
pas pertama kali gue liat elu di Langsat,
peluncuran Sadgenic-nya Rahne Putri.
Gue inget, lu ngobrol sama Dini Budiayu.
Dari pertama kali liat, gue tau itu elu.
Sayangnya, lu pura-pura nggak kenal gue.
Gue ngerti, kok, karena ada Rahne dan Dini, kan?
Lu nggak mau kan, mereka sadar ada orang yang lebih cantik daripada mereka?

Aih, Zarry,
elu bidadara yang sayapnya rontok saat jatuh ke tanah!

Zarry, Zarry, Zarry,
et dah, elu ganteng banget!
Bekasi yang tadinya satu
memecah jadi dua:
kota dan kabupaten.

Enggg..
kalau yang ini bukan karena gantengnya elu, Jep.

Ya, udahlah,
yang penting elu ganteng banget, Zarry!
*ngelempar kertas ke udara*


Senin, 14 Januari 2013

untuk Mbak Cantik



Kolong Langit, 14 Januari 2013
Dear mbak-mbak cantik yang di sana,
            Salam kenal.
            Begini, Mbak, apakah Mbak sadar kalau Mbak begitu cantik?
            Saya yakin, selain berwajah sangat cantik, Mbak juga sangat-sangat baik hati. Ya, kan?
       Maksud sampainya surat ini ke mata Mbak tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyatakan rasa kagum saya terhadap kecantikan dan keluhuran budi Mbak.
          Tahukah, Mbak, dengan kecantikan dan kebaikan hati Mbak itu, Mbak bisa mendapatkan siapa pun yang Mbak mau. Lelaki mana pun pasti takluk di hadapan Mbak dan rela melakukan apa pun yang Mbak minta. Ya, kan?
            Saya yakin dugaan saya tidak salah.
            Oleh sebab itu, Mbak, cari saja lelaki tampan, mapan, dan menawan seperti pangeran. Nah, biar lelaki Mbak saya yang jaga. Saya rela, kok, jadi penjaga hatinya seumur hidup. seumur hidup.
            Sekian dulu surat ini. Semoga Mbak cantik berkenan dengan kata-kata saya. Empat kali empat sama dengan enam belas, sempat tidak sempat tak perlu dibalas.Burung Irian burung cendrawasih, cukup sekian terima kasih.


Yang mengagumimu,

saya