Rabu, 27 Agustus 2014

Cerita dari Negeri Botolbotol

          Di Negeri Botolbotol hiduplah Tuan Saosan, seorang manusia botol yang biasa mengisi botolnya dengan beragam saus: saus tomat, saus sambal, saus kacang, dan sebagainya. Ia diminta istana membuat senjata untuk melawan monster Seramseram. Monster Seramseram konon bisa dikalahkan dengan saus sambal.
          Tuan Saosan sangat bersemangat mengisi para manusia botol dengan saus sambal buatannya. “Crot, crot… .” Berbotol-botol saus sambal ditembakkan ke tubuh monster Seramseram. Para manusia botol pun akhirnya memenangkan pertempuran.
          Adalah Nona Saosin, seorang gadis di Negeri Botolbotol yang menyukai Tuan Saosan. Ia juga pembuat saus meski tak sebanyak Tuan Saosan. Mengenai perasaan Nona Saosin, Tuan Saosan menyadarinya, tetapi ia mengabaikannya. Tuan Saosan lebih memilih Putri Bulan untuk dijadikan pujaan hatinya. Nona Saosin menduga itu karena Putri Bulan memiliki bulan sedangkan ia hanya pembuat saus yang tak sebanyak Tuan Saosan. Nona Saosin merasa sedih karena hal ini. Ia membotoli air matanya.
          Ketika akhirnya monster Seramseram berhasil ditaklukkan, muncul masalah baru, yakni saus sambal yang masuk ke mata para manusia botol. Tuan Saosan kebingungan. Ia tidak memiliki penyembuh. Ia hanya pembuat saus.
          Tuan Kecap mengambil alih. Ia menyemprotkan kecap ke mata para manusia botol. Sayangnya, gagal. Cairan dari botol Tuan Kecap malah membuat tubuh para manusia botol kehitam-hitaman sehingga tampak kotor.
          “Bagaimana ini? Bagaimana ini?” Mereka panik. Salah seorang di antara mereka entah siapa melihat air di dalam botol. Ia meneteskan air tersebut ke matanya.
          Berhasil!
          Matanya bisa melihat kembali. Tubuhnya yang semula penuh bercak juga bersih.
          “Apa ini?” tanyanya setelah air tersebut digunakannya.
          Nona Saosin malu-malu menjawab, “Itu air mataku.”
          “Aaaah…,” seru orang-orang sambil berpandang-pandangan. “Apa kau punya lagi, Nona Saosin?”
          “Aku punya sekitar 1.977 botol air mata,” sahut Nona Saosin masih malu-malu.
          Tanpa dikomando lagi, para manusia di Negeri Botolbotol langsung mengambil botol-botol air mata itu lalu membersihkan diri mereka. Negeri Botolbotol pun terbebas dari kesakitan karena saus sambal. Saat itulah Tuan Saosan baru benar-benar menyadari keberadaan Nona Saosin.

(10 November 2013)


Rabu, 20 Agustus 2014

Lelaki Pencuri Bulan

          Bulan sedang gendut-gendutnya saat seorang lelaki berseru, “Aku mau mencuri bulan itu!”
          Kita akan mengira omongannya kosong belaka. Nyatanya, ia ambil sebuah busur, meletakkan anak panah di sana, dan zlap… panahnya menancap di tubuh bulan. Tak beberapa lama bulan ambruk, terkapar tanpa daya. Cepat-cepat lelaki mengambil bulan itu lalu ia datangi seorang perempuan.
          Di hadapan Sang Perempuan, Lelaki Pencuri Bulan memotek bulan menjadi dua. Ujarnya kepada perempuan, “Hai, Perempuan, mari kupasangkan keping bulan ini masing-masing di matamu.”
          Perempuan itu lantas tersenyum; membuat mata bulan yang kini terpasang di matanya tampak berkilau.


(7 November 2013)

Rabu, 13 Agustus 2014

Di Sana Patah Hati; Di Sini Jatuh Hati

Bekasi, 12 Agustus 2014

Teruntuk Riesna Kurnia

Riesna yang baik,
          Tulisanmu ini tiba di mataku dengan selamat. Aku tidak akan berusaha menghiburmu atau berkata, “Sudahlah.” Aku lebih memilih berkata, “Selamat menikmati.”
          Ya, nikmati saja patah hati sebagaimana kau menikmati jatuh hati. Ini karena akan ada saatnya kau lupa rasanya patah hati ketika kau kembali jatuh hati. Saat itu relakan dirimu, relakan dirimu bahagia lalu hanyutlah dalam jatuh hati.

Riesna yang baik,
          Aku tidak akan berusaha menyuruhmu untuk menulis, tidak akan memberimu tips-tips untuk menulis. Aku percaya, kamu (dan orang-orang patah hati di mana pun yang kehilangan selera menulis) akan menemukan jalan bagi penamu. Kembali menulis. Ketika waktu itu datang, kau bahkan tidak akan bisa menghentikan dirimu. Bebaskan saja dirimu, tidak perlu dipaksa.

Riesna yang baik,
          Aku pernah patah hati dan aku pernah kehilangan selera menulis. Sangat tidak menyenangkan. Setahuku, ketika ada satu hal yang sangat dalam dan berlimpah rasa, kau justru akan kesulitan menuliskannya karena biasanya mereka akan berebut ingin ditulis. Kau malah akan terbengong-bengong lalu bertanya, “Apa yang mesti kutuliskan? Mulai dari mana?”
          Iya, pernah aku meminta—memaksa lebih tepatnya—diriku menuliskan tentang seseorang karena aku memang sangat ingin mengabadikannya melalui tulisan. Apa aku berhasil? Tidak.
          Tidak perlu memaksa dirimu, Riesna. Lakukan saja hal-hal yang menyenangkan. Dengarkan musik riang atau sedih sesukamu. Bersedihlah sepuasmu. Setelah itu, senyum untuk dirimu; bahagiakan dirimu. Bertemulah dengan orang baru dan buka hatimu.

Riesna yang baik,
          Tentu tulisan ini tidaklah seberapa berarti, barangkali. Aku tidak dapat menghayati benar patah hatimu (dan sangat tidak ingin mengingat patah hatiku). Aku malah tersenyum-senyum membaca tulisanmu bagian kilas balik: kala kau jatuh cinta. Aku paham benar itu karena aku sedang menjalaninya. Menelepon hingga (dia) tertidur? Ya. Berdebat masalah sepele? Ya.
          Aku tidak tahu harus minta maaf atau tidak karena kau kuminta menikmati patah hatimu sedangkan aku menikmati jatuh hati. Aku tidak tahu ini akan adil atau tidak—bahkan aku tidak tahu adil itu apa. Aku cuma merasa ini siklus: kala kau patah hati kau akan  ingat jatuh cinta; kala kau jatuh cinta tak ingin ingat patah hati.

Riesna yang baik,
          Aku bahagia. Aku memiliki kekasih yang baik hati sekali, yang bersedia mengalah dalam banyak hal kecuali yang prinsip dan berusaha melakukan hal-hal baik untuk kami. Kautahu, ia melakukan semua itu seperti ia tidak pernah patah hati. Aku mesti belajar banyak darinya.

Riesna,
     Mari berjalan maju. Semangatlah. Mengutip kata TikaKarlina, “Mari berbahahahagia!”



Penuh cinta,


Ika Fitriana


Sabtu, 09 Agustus 2014

Mari Duduk di Beranda

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
bebaskan mata kita melihat keramaian
langsung dari depan rumah

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
melihat orang lalu lalang
dengan masing-masing tujuan

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
memandang motor-motor parkir serampangan
tak beraturan

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
itu jalan punya kita
itu motor-motor punya kita

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
dengarkan lagu sumbang dari bencong jalanan
(dan kau bergidik lalu asyik bertelepon mengalihkan perhatian)

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
dengan segelas kopi dan mulut ditahan-tahankan
tanpa rokok barang sebatang

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
kau layangkan kata
aku memilih sedikit bersuara

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
diam, diamlah kau dahulu
nikmati dan seruput waktu

Mari kita duduk di beranda, kekasihku
(Bisakah kita anggap beranda seven eleven ini sebagai beranda rumah kita?
Lalu aku tertawa dan berharap benar-benar bahwa
kita akan punya rumah berberanda besok)

(sevel Rawamangun, 22 Juli 2014)


Kamis, 07 Agustus 2014

Turis Lebaran

         Nah, kalau tulisan sebelumnya aku cerita tentang perayaan hari raya di kampungku, ini aku kasih senarai foto mulai dari berangkat sampai pulang ya. Iya.

Mudik, yay!

Rambu di Cikampek

Ekspresi langitnya bagus, ya? Iya.
Berbuka puasa di Kantor Kecamatan Patrol. Ada camat yang ganteng itu nggak, ya? *celingak-celinguk*

Setelah 24 jam, kami tiba di kampung. Langsung eksplor! Mulai dari ikut bulek ke warung. Ihiw.
Rumah Limasan, khas kampungku. Sayang rumah kami sudah ditembok, tidak pure seperti ini. Iya, ini rumah salah satu tetangga yang kulewati saat ke warung. Hehehe... .

SD Nungkulan II.

Langitnya memang agak mendung, tapi tetap cantik, ya? Iya.

Ini suasana pagi. Sehabis sahur, kami keliling kampung.

Jalan kampungku tidak diaspal. Hanya jalan besar yang diaspal.

Seorang penjual kembang di pasar pagi dekat rumah. Pasar ini buka tiap pagi. Pasar besar jauh dari tempat kami (di kecamatan) dan biasanya hanya ada setiap hari pasaran (ada yang hanya buka ketika kliwon, atau buka ketika wage).

Suasana pasar pagi. Tidak seramai dulu (ditambah efek puasa; banyak yang tidak berjualan).

Ayo beli tempe!

Tempe-tempe yang dibungkus dengan daun jati ini harganya Rp3.000,00.

Pohon di pinggir jalan. Aku suka!

Sisa abu Gunung Kelud. Ya, abunya mencapai desa kami.

Masa tanam di sawah.

Menuju ke makam Mbah Buyut dan Mbah Putri. 

Mbah-mbah di kampungku memang masih sigap. Mereka ke mana-mana sendiri dengan bawaan yang tidak ringan dan tanpa alas kaki kadang-kadang.
  
Sisa-sisa kampanye pilpres lalu.

Jalanan di kampungku.

Bapak mengambil kelapa dari kebun Mbah Kakung dengan menggunakan bambu. Kami tim hore-hore ajalah. :D

Hasil panen kelapa untuk berbuka. Segar lho buka dengan es degan!

Anak sapi peliharaan bulekku lepas dari kandang. Dia memang hobi kabur dari kandang lalu lari-larian di pekarangan.

Seperti pertemuan dua arus ya!

Jalanan menuju ke kali. Jalan yang sebelah sini masih bisa ditaklukkan (setidaknya oleh sepupuku di foto ini).

Ini model lain jalanan di kampungku. Tanjakannya dahsyat!

Suasana ketika menuju Malioboro, Yogya.

Jangan tanya itu gunung apa. Aku nggak tahu. Yang jelas bagus! :D

Awan-awan lagi bergosip!

Masuk Yogyakarta!

Jalan Malioboro yang marai boros. :D

Salah satu sudut Malioboro.

Pasar Beringharjo tampak depan.

Pintu peturasan toko Mirota Batik (pria).

Pintu peturasan toko Mirota Batik (Wanita).

Di dalam toilet.

Tempat sampah di dalam kamar mandi.

Foto bapak waktu muda. :')
(Habis foto-foto toilet kok ya terus foto Bapak.. Hauft. )

Langit hari kedua Lebaran

Di dalam Thomas gujes-gujes.

Adik dan sepupuku naik ATV. Sewanya ceban!
(Ceban itu sepuluh ribu)

Pemandangan dalam perjalanan pulang

Gimana kalau kita beri judul: "sendirian dan terikat"?

Pawon (dapur) di rumah.
Mestinya foto ini di atas ya? Biar ah. Kelupaan. Ini diambil oleh sepupuku yang hobi menggunakan camera 360.

Menikmati macet di Comal. Mobil dengan ketupat ini hanya salah satu di antara keseruan di jalan. Kami juga sempat bertemu bajaj, mikrolet, dan metro mini kala mudik.

Oke, itu aja dulu yang bisa aku kasih, ya!
Foto-foto di sini diambil dari ponselku dan adikku (kecuali yang camera 360 tadi)

Wonogiri Sukses!
(Lupa kepanjangan "sukses" itu apa)

Rabu, 06 Agustus 2014

Melancong di Hari Raya

          Untuk pertama kalinya aku merayakan Idul Fitri di kampung, yeeeyyy!
          Ahahaha… . Bersyukur itu mudah, ya! Setelah 14 tahun, akhirnya aku menginjak lagi tanah orang tuaku: Wonogiri—sekaligus untuk pertama kalinya Ied di kampung. Senang? Jangan tanya, deh! Norak bahkan. :D
          Sebanyak dua postingan akan bercerita pengalaman mudikku tahun ini. Kepenginnya sih satu hari satu postingan (aku mudik semingguan), tapi kok ya banyak betul. Jadi, aku korting deh. Seperti asas KB, dua postingan aja cukup.
          Postingan ini mau aku fokuskan ke perayaan hari raya di sana aja ya. Iya.
          Sebagaimana di Bekasi, ibu-ibu sudah mulai masak-masak sehari sebelum hari raya. Bedanya, tidak ada budaya membuat ketupat di kampungku. Sebagai gantinya, ada budaya yang lebih menarik lagi. Namanya genduri (sebenarnya kupikir “kenduri”; aku menuliskan genduri sesuai pelafalan ibuku).
          Para perempuan akan masak di rumah, membuat banyak besek. Para laki-laki dari tiap rumah akan berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Lelaki yang berkunjung tersebut akan pulang membawa besek yang sudah disiapkan tuan rumah. Besek ini berisi nasi dan lauk-pauk (misalnya telur rebus, orak-arik tempe, sambal goreng ati, kerupuk; variatif sih). Seru ya? Iya.
          Oh ya, genduri ini dilangsungkan sore hari pada puasa terakhir.
          Selepas berbuka, orang-orang di kampungku akan berkumpul di masjid untuk takbiran. Tidak hanya kaum lelaki, tetapi juga kaum perempuan (kan mereka sudah selesai masak). Beberapa anak muda membuat kelompok-kelompok kecil bertakbir keliling kampung dengan membawa obor.
          Di kampungku, lampu hanya ada di rumah-rumah penduduk. Lampu jalan pun hanya dipasang di daerah pemukiman. Nah, kalau kamu melintas area persawahan, tentu saja tidak ada penerangan. Itu sebab mereka berkeliling membawa obor (ke warung saja aku bawa senter kok).
          Unsur seru dari minimnya penerangan di kampungku ya itu: bisa main senter dan lihat bintang dengan jelas sekali!
          Di malam takbiran orang-orang di kampungku bertakbir hingga larut malam. Dalam keadaan biasa (bukan Lebaran gitu) lepas isya aja kebanyakan orang sudah tidur pulas.
          Pagi di hari raya, orang-orang di kampungku sejak pagi sudah di masjid. Setengah tujuh lapangan atau masjid sudah penuh. Aku dan keluargaku sudah tidak kebagian di dalam masjid. Kami salat di pelataran rumah penduduk. Jangan kaubayangkan pelatarannya tanah rata macam di sini. Di sana itu pelataran rumah penduduk kalau nggak tanah ya batu-batuan. “Kita kayak di-massage, Mbak,” begitu lelucon adikku saat pantatnya mencapai batu-batu itu. Hahaha, sakit-sakit asyik sih.
          Selesai salat, orang-orang langsung bersalaman (masih di area masjid). Mereka bersalaman sampai benar-benar sudah semua orang disalami, kurasa. Selepas itu, kampungku sepi karena orang-orang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Aku bingung. Tidak ada saling mengunjungi antartetangga sebagaimana kami di Bekasi. Aku bertanya kepada ibuku tentang hal ini. Katanya, biasanya ada banyak orang yang mengunjungi rumah kami. Mungkin karena rumah utama penuh (mendadak empat keluarga kumpul), orang-orang sungkan mampir ke rumah kami atau memang ada kumpul keluarga juga di rumah mereka dan merasa sudah bersalaman di masjid tadi.
          Hari pertama Lebaran kami berkunjung ke rumah Mbah Kakung dan beberapa kakak ibuku. Sepanjang jalan aku asyik memperhatikan suasana. Jalanan di sana jauh dari ramai meski hari raya. Beberapa memang tampak hilir mudik, tapi tak banyak. Apa ini karena aku membandingkan dengan Bekasi yang mendadak padhet ndhedhet pas Lebaran ya? Jauh bangetlah suasana ramainya.
          Yang ramai pada hari pertama Lebaran adalah masjid. Ya, orang-orang berbondong-bondong kembali ke masjid pada siang harinya (bahkan ada yang sejak salat Ied tetap di masjid) untuk halalbihalal.
          Di sana ada juga budaya fitrah ke lurah setempat ketika hari raya. Mulanya aku bingung. Fitrah? Di hari raya? Ke lurah? Bukan ke mustahik? Aku mengasosiasikannya dengan zakat.
          Ternyata bukan. Fitrah yang dimaksud ini semacam silaturahmi ke tokoh-tokoh yang dihormati di daerah itu. Kalau di Bekasi sini kayak ke ulama, gitu.
          Hari kedua Lebaran di kampungku tak kalah seru. Ada melancong. Acara melancong hanya ada ketika hari kedua hari raya. Pusatnya di lapangan dekat balai desa. Hiburan yang disuguhkan berupa reog dan campur sari.
          Jajanan? Jangan tanya. Banyak banget! Ada pecel, es dawet, mie ayam, baso, dan kawan-kawan.
          Terus, terus, yang bikin aku norak apa? Di sana ada Thomas gujes-gujes! Ehm, itu lho, odong-odong yang bentuknya kereta. Aku udah lama banget kepengin naik itu! Sayang, kalau di Bekasi sini (Jakarta juga) Thomas gujes-gujes dimonopoli anak kecil dan ibu-ibu yang bawa anak. Padahal kan aku kepengin naik jugaaa… . Masa iya aku pinjam anak siapa dulu gitu biar bisa naik?
          Nah, kurasa Allah sangat baik kepadaku dan memberi kesempatan aku naik Thomas gujes-gujes di kampung. Tanpa aku mesti minjam anak orang! Hahaha. Bak Miss Universe aku dadah-dadah ke ibuku dari dalam Thomas gujes-gujes.
          Ehm.
          Begitulah, pembaca yang budiman. Kisahku merayakan hari raya di kampung. Sisanya aku ceritakan via foto-foto di postingan berikutnya saja ya! Dadah.