Untuk Eva Sri Rahayu
Setelah
membaca suratmu yang ini dan surat Evi yang ini, aku teringat sahabatku yang kukenal sejak TK. Aku mengenali
perasaanmu, Eva. Aku bahagia dan dalam waktu yang sama aku kehilangan. Maklum,
kami terbiasa ke mana pun dan melakukan apa pun bersama-sama, terutama waktu
SMA. Orang akan heran kalau salah satu dari kami tidak ada.
Aku
masih ingat waktu ia berpacaran dengan salah satu kawan yang satu sekolah. Aku
kesal, Eva. Hahaha… barangkali aku egois, aku lupa kalau dia punya hidup
sendiri. Aku jadi sering pulang sendiri sedangkan dia bersama pacarnya.
Eva,
akhir 2011 ia bilang berencana menikah dengan salah satu teman kampusnya.
Aku
bahagia sekali—dan cemas sekaligus.
Berbagai
kekhawatiran muncul. Kukira perempuan di mana saja, ah tidak, SIAPA PUN, sama:
akan protektif terhadap orang yang dikasihinya. Aku sahabatnya, tetapi bukan
orang yang selalu ada untuknya. Tidak seperti kau dan Evi barangkali. Aku hanya
mengetahui hal yang ia ceritakan kepadaku.
Dengan
mata penuh cinta, ia kerap menceritakan calon suaminya yang belum kukenal baik.
Dia akan mengomel bila si kekasih membuatnya kesal dan seterusnya lalu aku
memilih untuk menghadap makanan sambil mendengar ceritanya. Kami mempersiapkan
beberapa hal terkait pernikahannya, seperti memilih undangan dan mencari
suvenir.
Eva,
di mataku dia perempuan dewasa (tidak seperti aku yang kekanak-kanakan) dan
dalam penglihatanku bisa kulabeli perempuan yang salihah. Sampai kapan pun aku sadar betul tidak akan bisa sejajar
dengannya dalam hal ini. Aku kagum kepadanya.
Mei
tahun 2012 ia menikah. Ia berjalan tanpa aku. Ia selangkah di depanku.
Aku
ini egois, Eva. Nanti aku ke mana-mana akan dengan siapa? Padahal biasanya aku
sering lupa kalau aku ini jomblo kala pergi dengannya. Hahaha… .
Namun,
aku teringat waktu sekolah: ia memiliki hidupnya sendiri.
Eva,
ia akan bahagia.
Itu
yang selalu aku yakini. Aku datang ke pernikahannya, menginap sejak malam
sebelum pernikahannya, menggenggam tangannya tak kasat mata. Bila aku merasa
takut, kurasa ia lebih takut menghadapi besok yang mengubah hidupnya.
Dia
akan bahagia.
Itu
selalu aku yakini. Aku sangat berharap lelaki yang amat dicintainya sadar betul
bahwa sahabatku mencintainya dan menghormatinya. “Jaga temanku baik-baik, ya!
Jangan nakal,” begitu pesanku kepada si Lelaki.
Mereka
menikah.
Sampai
berita itu datang.
Setahun
kemudian pernikahan mereka harus berakhir. Kurasa yang retak bukan cuma
hatinya. Hati orang-orang yang yang mencintainya itu tentu ikut patah. Termasuk
aku.
Kalau
kau pernah berpikir kau tidak akan menikah, pikiran itu pernah juga datang
kepadaku. Hidup bersama orang yang kita cintai bukan jaminan kita tidak akan
tersakiti. Namun, lihat sahabatku! Dengan gagah berani (kubayangkan ia seumpama
Laksamana Malahayati menghadapi Belanda), ia menjalani hidupnya.
Ia
akan bahagia.
Sahabatku
itu.
Itu
yang aku yakini hingga saat ini. Innallaha
ma’ana (Allah bersama kita). Aku selalu bilang kepadanya, “Jika tanganku
tak kunjung cukup memelukmu, Allah akan selalu bisa merangkul hingga jiwamu.”
Eva,
genggam tangan Evi baik-baik—hal yang tidak selalu bisa kulakukan kepada
sahabatku. Menikah memerlukan keberanian yang besar, keberanian untuk menjalani
hidup. Bismillah, maka semua
baik-baik saja.
Peluk jauh,
Ika Fitriana
n.b.:
surat ini kukirimkan dengan seizin sahabatku yang cantik dan hatinya selalu
terpelihara. Innallaha ma’ana, Sayang. Selalu kuat.
1. Hidup bersama orang yang kita cintai bukan jaminan kita tidak akan tersakiti.
BalasHapus2. Menikah memerlukan keberanian yang besar, keberanian untuk menjalani hidup.
dua kalimat itu menggelitik sekali, Ka.. :')
Terima kasih apresiasinya, Onty.. :')
HapusHiks, terharu :")
BalasHapusPun aku baca suratmu dan surat Eva. Selalu bahagia, Sailormoon!
HapusSalam ya untuk sahabatmu :)
BalasHapusIya, Prie. Bisa jadi ia baca salam darimu.. :)
Hapusmenggenggamnya tak kasat mata. itu dalam sekali maknanya :') aku sukaa \(´▽`)/
BalasHapus- ika, tukangpos
Yaaay! Terima kasih, Kak Elikaaah.. \(´▽`)/
Hapus