Sabtu, 19 Juli 2014

Menu Reguler

          Aku belakangan bertanya-tanya sendiri: mengapa kita bangga sekali ketika kita mendapatkan menu yang tidak biasanya, yang tidak kita temui sehari-hari? Kita jepret itu menu lalu pamerkan ke instagram, kita beri tahukan di Twitter bahwa kita makan, misalnya, steak. Sudah itu kita umumkan lokasi kita melalui 4square. Ah ya, ingat juga bagikan info di Path dan facebook (kalau Friendster masih ada, share di sana juga).
          Nah, apa kita melakukan itu juga ketika kita berbuka di rumah dengan nasi lauk tempe?
          Apa kita akan sebahagia seperti kita makan steak?
          Mengapa bisa kita tidak berbahagia dengan menu reguler kita? Mengapa kita merasa lebih “wah” terhadap menu di luar sehari-hari?
          Bisakah kita bayangkan, kita hidup tanpa menu reguler yang keberadaannya tidak kelewat membahagiakan itu?
          Bisakah kita berbahagia menghadapi menu reguler sebagaimana kita bertemu menu luar biasa?


          Ya, aku menu regulermu. Salam.

(14 Juli 2014)


Rabu, 16 Juli 2014

Jarak Terjauh

Coba dengar kata sumpahku dari hati
Aku cinta kamu
Jangan dengar kata mereka
Yang tak ingin kita satu
Yakinkan aku milikmu
(“Aku Milikmu”/Dewa 19)
         
          Perempuan menghentak-hentakkan kaki senada dengan lagu “Aku Milikmu”. Ia bukan benar-benar menyukai lagu itu, melainkan menurutnya irama lagu tersebut sesuai situasinya.
          Bersenandung sambil menghentakkan kaki menjadi upaya payahnya untuk mengalihkan perhatiannya sendiri. Ia mencoba memutar perhatiannya dari lelaki di depannya. Barangkali kita akan berpikir usahanya gagal karena ia kerap tertangkap mendongak dan menghafal letak mata atau hidung Lelaki.
          Si Lelaki?
          Ia sibuk menuliskan data administrasi ini-itu khas kantornya. Perempuan tak ingin mengganggu Lelaki yang berkelindan dengan pekerjaannya—atau sebenarnya yang tak mau Perempuan usik adalah dirinya sendiri yang sedang asyik merasai waktu itu?
          Perempuan lantas mengambil buku coretannya dan menulis: “jarak terjauh adalah ketika kau berhadapan dengannya, punya kemungkinan saling tatap dan bertukar kata, tetapi memilih diam.”


(23 November 2013)        

Senin, 14 Juli 2014

Nggak Enak

          “Ma, aku makan di luar malam ini. Temanku ulang tahun. Nggak enak kalau nggak datang.”
          Lalu si Ibu makan sendirian padahal berharap makan bersama si Anak.
          “Aku harus pergi. Aku tutup teleponnya. Nggak enak sama teman-temanku.”
***

          Pernah merasa nggak enak kepada seseorang? Atau pernah mengeluarkan pernyataan “nggak enak sama si A”? 
         Ada pihak tertentu yang mesti kamu tinggal karena rasa nggak enak kepada yang lain?
     Jadi, kamu merasa tidak apa-apa dan enak-enak saja meninggalkan ibumu makan sendirian, enak-enak saja meminta bapakmu jemput tengah malam karena kamu baru pulang dan nggak ada angkot, enak-enak saja membiarkan adikmu menunggu sementara kau asyik ngobrol dengan teman-temanmu, enak-enak saja istrimu kauberi keluhan-keluhan seputar lelah dan malas sedangkan kau puas tertawa bersama teman-temanmu?
          Pertanyaan berikutnya, kau enak-enak saja memberi daftar permintaan kepada Tuhan padahal salatmu di akhir waktu?
          Bagaimana kau akan diprioritaskan kalau begitu?
          Orang-orang yang mengasihimu tentu memiliki hati yang sangat lapang, sehingga kau merasa pantas-pantas saja mengucap “nggak enak sama temanku” tanpa kau merasa nggak enak kepada orang-orang terkasihmu itu. Toh, karena mereka sayang kepadamu, mereka akan memaafkanmu. Ya kan?

(20 Juni 2014)

Selasa, 08 Juli 2014

Kantung Mata Alika

          Ada sepasang yang duduk di pojok restoran.
          “Kamu harus tidur cepat, Alika. Jangan terlalu sering tidur larut,” Koko berkata.
          Alika mendongak. Ia tersenyum saja lalu melanjutkan makannya.
          “Alika—”
          “—Iya, aku ngerti. Apa aku harus tidur dari sekarang?” sahutnya setengah geli sambil melirik matahari di luar sana.
          “Jangan meledek. Aku serius. Lihat kantung matamu!”
          “Mana? Nggak kelihatan, tuh!” Alika memain-mainkan matanya, berusaha melihat kantung matanya sendiri.
          “Alika!”
          “Hahahaha… iya, iya.”
          Selepas itu denting piring dan kunyahan yang mengudara.
          “Kamu tahu, Ko,” ujar Alika akhirnya. Mimiknya serius.
          “Tahu apa?” Koko waspada.
          “Kenapa mataku berkantung?”
          Koko mengernyit, “Ya itu karena kamu kurang tidur.”
          “Ah, Kokooo…,” Alika menghempas tubuhnya ke sofa merah restoran sebelum melanjutkan katanya, “imajinasimu tipis amat! Kantung di mata ini isinya rindu, tauk! Tiap aku rindu kamu, aku taruh di sini. Besoknya aku rindu, aku masukkan di sini. Lusanya aku rindu, aku cemplungkan ke sini. Tulat aku rindu, aku tumpuk—”
          “— Alika, selesaikan makanmu. Aku mesti kembali kepada istri dan anak-anakku.”

(25 November 2013)
          

Jumat, 04 Juli 2014

Tuan Bungkuk dan Nona Bungkuk

          Tuan Bungkuk dan Nona Bungkuk merupakan pasangan yang tidak serasi. Tuan Bungkuk tidak mencintai Nona Bungkuk karena Si Nona itu bungkuk sedangkan Nona Bungkuk mencintai Tuan Bungkuk meskipun Si Tuan itu bungkuk.
          Para juru cerita terheran-heran, mengapa mereka tak bersama saja karena sama-sama bungkuk?

(18 November 2013)