Senin, 29 Desember 2014

Malaikat Menjelma Berbagai Nama

Bekasi, 19 Desember 2014

Teruntuk Fitrawan Umar

Umar,
          Percayakah kau malaikat bisa menjelma pelbagai nama?
          Aku percaya.
          Tempo hari aku nyaris pingsan. Berkat pengalamanku (dahulu) sering pingsan, aku menyadari bahwa aku akan ambruk. Masalahnya, kala itu sedang bekerja di luar kantor dengan memakai atribut kantor. Aku tak mau membiarkan diriku roboh di situ.
          Aku melakukan bermacam tindakan pencegahan seperti duduk atau mencari penjual teh manis hangat. Sayangnya, tidak ada penjual teh manis hangat, Umar—atau aku tak menemukannya. Badanku makin sempoyongan, kesadaranku mulai menurun. Seorang teman dengan baik hati mencarikan teh manis hangat dan gorengan sebagai bonus.
          Kami akhirnya memutuskan kembali ke kantor karena aku tidak bisa bertahan lama. Dunia dalam mataku serasa berputar, badanku ringan seperti hendak terbang, perutku mual bagai ada naga yang mau keluar dari dalam tubuh. Ini makin merepotkan.
         
Umar,
          Aku bersyukur, sangat bersyukur ada yang berkenan membantuku. Saat itu aku tahu ada malaikat bernama Anna.
          Lain waktu, kekasihku dikirimi nasi uduk oleh teman kerja sekaligus tetangganya. Aku pun menjadi tahu malaikat juga punya nama Nada dan Neneknya Nada.
          Ingatanku bergulir lagi ke masa lampau. Ada banyak tangan terulur ketika aku perlu. Berikutnya kau akan tahu, dalam duniaku malaikat-malaikat itu punya nama, seperti Wati, Ibe, Imas, Sie, Nana, Wahyu Nur Indah, Nuniek, Anand, Agus, Epi, Firda, Endah, Rya, atau Estri.
          Malah, kadang malaikat itu menjelma anonim. Ketika kau tidak tahu letak kamar mandi di sebuah tempat asing, misalnya, ada yang dengan baik hati menunjukkannya.

Umar,
          Semoga Allah mengembalikan kebaikan yang mereka lakukan—melalui aku atau orang lain lagi. Semoga Allah berkenan mengabulkan doa yang terbang dari mulutku. Alfatihah.
          Begitulah, Umar. Selamat hari lahir. Semoga hidupmu berkah. Selalu semangat berkarya karena kau tidak selalu tahu siapa yang perlu dengan tulisanmu.


Salam,


Ika Fitriana



(menanggapi ajakan Umar di sini)

Rabu, 24 Desember 2014

Ruang Persegi (agak) Panjang

Ruang persegi (agak) panjang alias kamarku, 17 Desember 2014

Teruntuk Tiara Iraqhia
(balasan untuk surat ini)

Hai, Tiara!
          Mau aku ceritakan sesuatu?
          Ada seorang perempuan berambut pendek, bertato, hobi baca (dan menulis) puisi berbahasa Inggris, dan duduk di pojok di Malam Puisi Jakarta. Namanya Tiara. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya akan membalas surat untuk perempuan yang puisinya diam-diam kukagumi itu.
          Ya, Tiara. Aku kagum dengan pembacaanmu yang santai, yang lepas saja, tapi tidak kehilangan titik estetik: puisi itu sendiri. Menarik, menurutku.
          Oh ya, Tir, selamat berbahahagia, ya!
          Membaca suratmu, terasa emosimu menjalar. Mungkin ini yang disebut “yang dari hati akan sampai juga di hati”. Aku tidak tahu hal-hal yang sudah kaualami. Yang kupahami dari nukilan kisahmu, kau merupakan perempuan yang tangguh. Bukankah tanggung jawab besar hanya diberikan kepada mereka yang kuat?
          Tir,
          “Masa depan adalah ruang-ruang kosong. Terserah kita mau mengisinya dengan apa,” begitu kurang lebih kata Cak Tarno, penjual buku di sekitar Universitas Indonesia. Aku nggak kenal secara pribadi sih dengan Cak Tarno, wajahnya saja sudah lupa. Dulu pernah beli buku zaman kuliah. Nah, sudah lama kan? Jadi lupa.
          Cak Tarno bilang begitu di Kompas. Iya, dia pernah diwawancarai koran tersebut. Di tempatnya sering ada diskusi sastra. Anak-anak sastra memang banyak yang kumpul di situ. Nggak tahu deh, sekarang Cak Tarno masih jualan di situ atau nggak.
          Eh, kenapa jadi cerita Cak Tarno ya, Tir?
          Ya maksudku kan sebenarnya tadi bicara tentang masa depan. Kita tidak pernah tahu dengan jelas arah langkah kita. Kalaupun tahu tujuan, bisa saja di tengah jalan arah kita dibelokkan oleh Sang Maha. Hidup menjadi ajaib. Suka tidak suka, aku kagum memang dengan konsep hidup yang ajaib.
          Tir,
          Tiap orang bisa dan pernah terluka. Satu yang kuyakini, tiap orang dianugerahi penyembuh luka. Entah waktu dan caranya.
          Aku sering berharap kepribadianku seperti bola bekel, Tir. Kalau jatuh tidak melonyoh seperti kaleng, misalnya. Begitulah.

          Tiara Iraqhia,
          Selalu semangat!


Salam,

Ika Fitriana


Selasa, 23 Desember 2014

Kenapa Kambing Berkaki Lima?

Bekasi yang konon dekat dengan matahari tapi nggak ada hubungannya sama nama blog ini, 15 Desember 2014

Teruntuk Siti Annisa
(balasan untuk surat ini)

Dear Siti,
          Kamu tahu nggak kenapa ada kambing yang kakinya lima, padahal umumnya berkaki empat?
          Nggak tahu?
          He-em. Aku juga.
          Laaah, terus kenapa aku tanya?
          Ya karena kan gini, Siti, nggak semua tanya ada jawab atau nggak semua tanya bisa dijawab sekarang  atau nggak semua tanya bisa dijawab manusia atau kalau nggak ada tanya ya enak banget kita nggak usah ngerjain soal ya?
          Iya.
          Kamu ngerti kan maksudku?
          Iya, artinya aku sayang dia. Muah. Hahaha. Dah, Siti! Mari kita nikmati segala proses diiringi doa!


Peluk jauh,

Ika Fitriana

Minggu, 21 Desember 2014

IGEND!

Bekasi, 17 Desember 2014

(balasan untuk surat ini)

HEH, IGEND!
          BONGKAR-BONGKAR AIB DIH! HAHAHA.
***
         
          Namanya Dwi Ratna Fitriani. Fitriani, bukan Fitriana. Biasa dipanggil Dwi, Wiwi, Uwi, Uwil, Kriwil, Adek, Igend, Lebar, atau Peski. Tergantung keperluan. Dia akan menjelma menjadi “adekku yang cantik” atau “adikku yang baik” ketika kakaknya minta dianterin atau minta dibeliin pulsa. Kakak minta pulsa. Mamanya nggak.
          Dia anak yang anteng dan nggak pernah cari masalah. Taaapiiii… jangan salah! Kalau dia merasa terusik atau salah satu dari orang yang dikasihinya terlukai, dia akan meradang paling duluan. Dia ikut aku masuk karate biar bisa balas orang-orang yang memukulku sampai berdarah di pertandingan. Hahaha. Aku ingat sekali tatapan marahnya waktu aku menangis karena bibirku pecah kena pukul (dan heiiii… di surat dia bilang aku—AKU—galaak? Apa kabar dia? Ish).
          Ketika kedua orang tuaku jatuh dari motor, dia yang lari paling cepat menghampiri keduanya. Dengan lekas dia berinisiatif memberhentikan motor yang lewat dan meminta bantuan ini-itu, sehingga orang tuaku ditangani.
          Waktu kecil hobinya main layangan, main gundu, main bola, dan permainan anak lelaki lain. Sehari-harinya adikku itu memang tomboy, cuek, tukang tidur, malas-malasan, dan santai. Namun, bila harga dirinya terluka, dia akan kejar orang yang melukainya meski orang itu dilindungi keluarganya. Nggak ngerti deh, semasa kecil dia tahu kata “takut” atau nggak. Di sekolah juga hobi berantem dengan anak lelaki yang mengganggu teman-teman perempuannya—apalagi sampai bikin nangis.
          Yang mengerikan adalah saat kakinya masuk ke jari-jari roda sepeda (waktu itu antar-jemput dengan sepeda). Ketika sampai rumah, dia nggak turun dari sepeda. Kami heran. “Turun dong, Dek!” Dia cuma bilang, “Nggak bisa turun, kaki aku masuk ke sini.” Berikutnya, kami tahu kakinya kepuntir (kepuntir ki boso indonesiane opo toh?).  Nangis juga nggak anak itu. Bikin yang lainnya panik. Kami langsung bawa ke tukang urut.
          Fiuh. Syukurlah kakinya bisa normal lagi.
          Anak itu macam-macam saja tingkahnya. Yang minum obat batuk kayak minum Aqua-lah. Glek-glek-glek. Hampir habis sebotol lalu dia nggak bisa ngomong karena kelebihan obat. Emak? Jangan ditanya paniknya. Igend memang suka minum obat. Siapa pun yang sakit, dia yang minumin obatnya (aku terbantu banget dengan kesukaan adikku yang ini karena huek aku nggak suka obat atau jamu). Em, sayangnya sekarang dia sudah nggak suka obat lagi semenjak minum obat tipesku: cacing dalam bentuk kapsul.
          Tentang kerupuk yang diceritakan dalam suratnya, waktu dia masih bayi memang aku menyuapinya dengan kerupuk. Kayaknya karena aku kasihan melihat mulutnya gerak-gerak. Mungkin dia lapar dan mau minta kerupukku, tapi nggak bisa ngomongnya.
          Kala aku belum memiliki kekasih, dengan baik hati ia bersedia mengantar atau menjemputku ke mana pun selama ia bisa. Kini, ketika aku sudah memiliki kekasih, itu masih sama saja. Hahaha. Lha ngapain aku ceritaaa?
          Kekasihku jauh, sih. Di bumi. Aku di planet otonom dekat matahari: Bekasi.
***

Adikku yang baik,
          (tenang, aku nggak minta pulsa kok. Bwek!)
          Terima kasih banyak atas suratmu. Kejadian buruk yang sudah kita alami semoga tidak terjadi lagi di lain hari. Semoga Allah selalu melindungimu di mana pun kau berada, memberimu petunjuk ke jalan yang diridhoi-Nya, dan semoga bahagia selalu meliputimu. Ingat salat dan jaga diri baik-baik. Tetaplah rendah hati dan selalu bersyukur.
          Oh ya, berhubung sekarang rambutmu nggak cepak lagi kayak waktu kecil, sini aku kucir air mancur! Ya ya ya? Hahaha.


Kakakmu yang jenius nggak selesai-selesai,


Ika Fitriana

Sabtu, 20 Desember 2014

Bidadari Sayap Portable

Bekasoy (Bekasi asoy), 15 Desember 2014

(balasan untuk surat ini)

Hoy, bidadari tanpa selendang!
          Ahahaha.
          Yang iye-iye aje dah ah. Gue bukan bidadari tanpa sayap, tapi bidadari dengan sayap portable. Jadi, kalau pas naik angkot sayapnya gue copot dulu, terus pas turun gue pake lagi, deeh!

Mb Endah, Mb endah, Mb Endah!
          Lu tahu iklan Axe  kan ye?
          Gara-gara iklan itu tuh temen gue pada merana. Lah, pijimane kaga merana, temen-temen gue cium bau parfum si cowok terus pada mabok terus nyusrug ke bumi. Mending kalo abis itu die-die pada bisa balik lagi kemarih, lha ini kan kaga bisa. Sian ye?
          Emang dah ah kaga danta bet itu iklan. Bete gue. Bete-bete, ah~ Bete-bete, ah~
         
          Eh, eh, Mb Endah, gue sebel dah sama orang yang nge-bully Bekasi. Kaga resep gitu didengernya. Apalagi giroh. Boro-boro dah.
          Masa katanya orang-orang mesti naik roket dulu kemarih? Terus harus jadi astronot dululah. Apalah. Yaelah. Merendahkan banget!
          Lu kaga cukup kali cuma pake baju astronot buat kemarih. Bikin sayap dulu sonoh atau pake bouraq buat kemarih. Dikata segampang itu ke Bekasi? Teradahan bet dah jadi manusia. Hih.
          Ude sih, gitu aje. Gue doain cita-cita lu bikin toko kue terkabul, ye! Bulan kan ude punya kue bulan ye, nah lu mau bikin kue ape?


Bidadari dengan sayap portable,

Ika Fitriana


Jumat, 19 Desember 2014

Gerakkan Penamu

Bekasi, 15 Desember 2014

(balasan untuk surat ini)

Dita!
          Mau aku beri tahu rahasia?
          Sini telingamu.
          Aku bukan anggota sagittarius, tapi kono ophiucus. Hahaha. Pernah dengar kan tentang zodiak itu? Simbolnya ular: simbol yang dipakai juga oleh apotek.
          Em, dibandingkan ophiucus, aku lebih suka menjadi sagittarius. Entahlah. Mungkin karena selama ini aku menjadi sagittarius.
          Gitulah, Dit.
          Jadi, kapan kita bertemu?
          Sudah tahun entah keberapa ini kita belum juga bertukar suara. Hahaha.
          Semoga segala doa baik berpulang kepadamu. Terima kasih sudah menggerakkan penamu untukku. *kecup*


Salam,

Ika Fitriana


n.b.:
tetap gerakkan penamu, Dita. Ini semata kita tidak tahu siapa yang perlu dengan tulisan kita. (‘^’)9


Kamis, 18 Desember 2014

Salam Pastel Nanas

Bekasi, 15 Desember 2014

Teruntuk Prima Wirayani
(balasan untuk surat ini)

Mbak Priiiiim~
          Kok tahu sih, kok tahu sih, aku masih ingin ngobrol banyak waktu di tamsur? Ahahahaha.
          Habisnya, gimana aku nggak kepengin ngobrol banyak, kamu punya banyak pengetahuan, sih! Kalau permasalahanmu “baju atau buku”, masalahku adalah “malas atau malas”. Iya, aku pemalas. Hahaha. *bangga* *ditepokin Aprie* *diomelin Barika*
          Belakangan entah sejak kapan, aku lebih suka diceritakan.  Ini parah, Mbak Prim. Kenapa parah? Karena kesukaanku diceritakan tidak sebanding dengan kemauanku membaca. Kronis.
          Aku suka bertanya—apalagi kepada orang dengan sekarung ilmu macam kamu (kubayangkan kamu sinterklas yang ke mana-mana membawa kantung plastik hitam besaaar berisi pengetahuan). Aku suka mendengar pandangan-pandangan orang tentang berbagai hal. Suka sekali.
          Bertemu kamu, bertemu Barika, bertemu teman-teman yang lain, kadang aku merasa lapar. Lapar sekali. Aku seperti berjumpa dengan guru-guru masa SD-ku kembali. Aku bisa bertanya ini-itu sedangkan guru-guruku akan selalu punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Menyenangkan, bukan?
          Mbak Prim, beberapa waktu lalu aku sempat bingung: sekarang kan nikah antaretnis biasa, ya? Nah, gimana kalau anakku nanti naksir orang dari planet lain?
          Apa hubungannya dengan permasalahanku?
          Nggak ada. Gitu. Cuma ya kepikiran aja.

          Sudah ya, Mbak Prim! Perutku lapar. Berhubung kadang-kadang otakku di perut, aku makin nggak bisa mikir kalau belum makan. Dadah.


Salam pastel nanas,

Ika Fitriana



Rabu, 17 Desember 2014

Main Bola di Bulan

Bekasi, 15 Desember 2014

Teruntuk Ajen Angelina
(balasan untuk surat ini)

Ajeeeeen~ Hauwoooh~
          Jen, tahu nggak? Nggak kan? Nah, makanya aku kasih tahu.
          Waktu aku ultah, aku diberi sepotong black forest oleh adikku. Terus aku ingat kamu. Kenapa? Karena forest kedengaran mirip sama Flores. Maksa ya? Iya.
          Ahahahaha.
          Jen, kalau suatu saat nanti kita bisa menjejakkan kaki di Bulan, apa hal pertama yang kaulakukan?
          Mau tahu jawaban siswaku?
          “Main bola, Kak!”
          Hahaha.
          “Nanti bolanya melayang-layang, lho! Kan nggak ada gravitasi.”
          “Em, kalau gitu main bolanya di PS, deh!”
          “Emang di Bulan ada listrik?” tanya temannya.
          “Eh, iya, ya… .”

          Yah, gitulah, Jen.
          Para siswaku ingin bermain bola di Bulan. Pasti seru! Tapi, aku kepikiran: sayang ya, kalau anak-anak di masa depan nanti main bolanya cuma di PS? Atau malah mesti nunggu mereka bisa ke Bulan dulu.
          Belilah tanah yang luas di Flores, Jen. Bikin stadion biar anak-anak bisa main bola, nggak perlu  nunggu bisa ke Bulan.
          Nyuruh orang memang gampang ya, Jen?
          Ahahaha.
          Sudah, ah. Dah, Ajen! Sampai jumpa!

Salam olahraga,

Ika Fitriana




Selasa, 16 Desember 2014

Perempuan Berbaju Kotak-kotak: Barika

Ruang Raja Ampat lantai empat, 10 Desember 2014

Teruntuk Barika

Wah, Barika,
          Kaucuri start! Ahahaha.
          Ya, ya, aku tahu, kaulakukan sebisamu. Terima kasih sudah berkenan mengirim surat untukku di tengah kesibukanmu yang luar biasa itu.

Barika,
          Sejak kau membahas pertemuan awal kita di dalam suratmu, aku langsung tertarik ke masa itu. Tahu-tahu aku berada di sebuah tempat dengan cahaya temaram syahdu. Namanya Kedai Lentera, tempat berlangsungnya Malam Puisi Jakarta yang pertama. Juni 2013. Aku melihat perempuan berkacamata, berambut panjang tergerai, dan berbaju kota-kotak. Ia menyalami kami yang baru datang satu persatu. Hei, itu kamu!

Ya, Barika,
          Itu kamu. Di Malam Puisi Jakarta kau membacakan “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana”-nya Gus Mus dengan suara lantang sambil berdiri. Di sana aku membacakan beberapa tulisanku, salah satunya ini. Kautahu, kala itu merupakan pertama kalinya entah sejak kapan aku “naik panggung” lagi. Rindu sekali rasanya dengan puisi. Rindu sekali dengan ruang pribadi di publik. Aku pulang dengan tubuh meluap-meluap gembira. Hasilnya, beberapa tulisan lahir. Ini, misalnya.

Barika,
          Pada pertemuan Malam Puisi Jakarta berikutnya hujan turun. Aku sudah terlambat semestinya. Karena hujan, ternyata yang datang baru kau. Tak lama kita malah asyik bergunjing tentang Gus Mus (puisi-puisinya dan skripsiku), Gus Dur, lalu ceritamu tentang muslim di luar negeri. Kau cerita cara orang di bandara Singapura memperlakukanmu bak teroris ketika tahu kau muslim (kala itu masih hangat berita tentang serangan 11 September), cerita kau yang diajak piknik keluarga Korea, pula tentang orang yang terpaksa salat di toilet karena akan membahayakan bila orang lain tahu dia muslim. Selain itu, kau juga cerita tentang muallaf bule yang datang ke Indonesia. Mereka heran dengan perempuan ber-tank top yang mengucap, “Astaghfirullah!” ketika di angkot atau herannya mereka melihat betapa lumrahnya orang berboncengan motor dengan yang bukan muhrim (ngojek gitu). Seru! Berikutnya, kau bersedia mengirimiku “syi’ir tanpo wathon”-nya Gus Dur. Amboi, senang rasanya bisa mendengar banyak hal baru!

          Ah, betapa mesin waktu adalah keniscayaan, ya! Dengan tuturan dalam suratmu, kita bisa kembali begitu cepat ke masa perdana Malam Puisi Jakarta. Terima kasih sudah berbagi denganku. Semoga segala kebaikan juga menempel kepadamu; semoga kau dan cookie monster-mu bisa membina keluarga samara.
          Sebenarnya masih ingin sekali kuterbangkan kata-kata kepadamu, tetapi aku harus cepat-cepat karena mesti masuk ke kelas berikutnya. Yang sedang terbayang-bayang di benakku sekarang adalah pertanyaan, “Mengapa tulang ikan disebut duri?”
          Ah ya, karena aku sayang dia.
          Dah, Barika! *kecup*


Salam,

Ika Fitriana

n.b:
Oh ya, salam untuk adikmu! Semoga Allah lekas menyembuhkan luka hatinya (dan luka tiap orang yang patah hati di dunia ini). Pula semoga kelak ia menemukan kebahagiaan sejatinya!


Sabtu, 13 Desember 2014

Ra-ha-si-a dan Surat-surat

          Ahay, ada sekarung surat untukku!
          Aku bersyukur sekali—padahal yang kutawarkan cuma ra-ha-si-a. Ah ya, mengenai ra-ha-si-a itu, sebenarnya adalah ini:
 
TAAAADAAAAAA~

           Hah? Itu apa?
          Itu buku ajaib, tahu!
          Buku itu memang sekarang kosong, tetapi bukan sulap bukan sihir, kelak ia akan bermetamorfosis menjadi buku-mu, buku berisi tulisan-tulisanmu atau gambar-gambarmu. Seru kan kan kaaaan?
          Kan.
          Sebenarnya aku ingin sekali memberikan buku itu ke tiap orang yang mengirim surat. Ah, mungkin besok. Sekarang, izinkan salah seorang saja yang menerimanya untuk mewakili semua pengirim surat, ya!
          Nah, sebelum kuberi tahu kepada siapa buku ajaib itu nantinya menuju, ini kubagikan surat-surat yang masuk—dan izinkan kukomentari sedikit, ya!

1.     Surat dari Barikatul Hikmah yang datang dengan kereta paling cepat. Ahem, dia tiba tanggal 10 Desember 2014. Lebih cepat 3 hari dari jadwal seharusnya. Dia bikin suratnya di Bali!
2.    Anandita Sapoetri menjadikan surat ini sebagai postingan pertamanya di bulan Desember. Salam sagittarius!
3.    Nur Endah Novarini, sesama bidadari dari khayangan, eh, bidadari dari khayalan, eh bidadari dari Bekasi, ikut menulis surat! Ihiw.
4.    Surat dari Ajen Angelina datang dari Flores. Yang waw adalah terakhir kali dia menulis surat ketika negara api menyerang! Ahahaha.
5.    Nyes sekali membaca bahagianya Tiara Iraqhia di dalam surat ini. *turun panggung*

          Beri waktu aku untuk tarik napas. Baik, aku lanjutkan lagi. *naik panggung*

6.    Surat dari Arfin Putri ini info banget lho, Jeng! Berguna sekali bagi masa depan bangsa. Yay! :D
7.    Nah, berikutnya surat curhat datang dari Bandung, ditulis oleh Siti Annisa. Eaaaak eaaaakkkk~
8.    Adikku yang berhidung estetik, Dwi Ratna Fitriani ikut meramaikan berbagi surat dengan membeberkan beberapa aib masa kecil. Woooo igend woooo~ *jitak* *lalu peluk*
9.    Mbak Prima Wirayani mengusulkan tentang adanya perubahan dalam suratnya. Menurutnya, yang krusial bukan “sandang, pangan, dan papan”, melainkan “bacaan, pangan, dan papan”. Merdesa!
10.     Pernah tahu telegram? Kira-kira macam surat dari Onty Vanda Kemala inilah.
11.  Aku sangat penasaran dengan versi asli surat dari Nakmin mantu, Tika Karlina. Sayangnya, hilang. *sedih*
12.  Ide untuk ke pantai sebulan sekali itu seru! Aaaakkk.. pengin ke pantai! *gara-gara baca surat dari Azure Azalea* *lalu cari Akkarena di peta*

        Nah, dari surat-surat yang masuk itu, aku bertanya kepada buku ajaib tentang bersama siapa ia ingin tinggal. Jawabannya, ia merasa sepertinya akan bahagia bila masuk ke ruang kotaknya Tiara. Jadi, sudah kuputuskan. Kukirimkan buku ajaib ke rumah Tiara. Yeyeyeeeey~
        Aku sangat ingin membalas surat-surat tersebut. Semoga niatku terlaksana. Terima kasih untuk jari-jari yang berkenan menerbangkan kata. Aku bahagia. Ulala. Ciaowbela.

Bidadari yang hobi naik angkot (tapi sering dianterin adeknya naik motor),



Ika Fitriana



(tulisan ini telah disunting)

Hari Ika Fitriana Sedunia

Bekasi, 13 Desember 2014

Teruntuk kamu, mata yang mampir ke sini

          Aku sedang banyak pikiran. Em, ya, pikiranku sih satu, tapi yang kupikirkan banyak. Hewan-hewan itu punya pikiran nggak sih? Apa cuma punya otak saja? Lha, kalau nggak buat mikir, otak mereka itu buat apa? Semut, misalnya. Dia tuh pernah mikir nggak sih kalau sayur asem itu makanan manusia? Mengapa sayurku dijadikan kolam renang oleh mereka?
          Eh, tapi sejak kapan aku mikir? Duh, kan. Perihal letak otak saja aku bingung: perut atau dengkul. Iya, gitu. Kalau perutku lapar, aku nggak bisa mikir. Kalau dengkulku sakit karena aku  tersandung lalu jatuh misalnya, aku juga susah mikir. Aku nggak habis pikir gimana cara aku mikir, ya kan aku nggak suka mikir. He-em. Kamu ngerti kan?
          Selamat Hari Ika Fitriana sedunia (bagi yang merayakan), btw.
          Dah, aku mau tidur. *kecup*


Salam,



Ika Fitriana