Senin, 29 April 2013

Punggung Persegi


          “Pagi menjelang siaaang…!” sapanya riang dari balik helm yang kacanya terbuka. Mesin motornya telah dimatikan beberapa saat lalu. Aku tersenyum kepadanya lalu tanpa basa-basi langsung mengisi tempat kosong di belakang punggung perseginya. “Aku culik kau hari ini, Tuan Putri.”
          “Siaaap!” sahutku bersemangat. “Kau kuizinkan menculikku, Tuan. Hehehehe… .”
          Tak lama melajulah kami di jalan raya. Kami bertukar cerita tentang banyak hal: pekerjaan, keluarga, hingga kentut. “Pernah aku baca di Lupus, ada yang kirim karmina gini ‘jangan takut, jangan khawatir. Ini kentut bukannya petir. Hahaha… .”
          “Haha… . Bisa aja, ya… . Segala kentutlah disamain sama petir,” sahutku. Seperti mesin yang otomatis, aku menggumam lebih kepada diri sendiri,  “Kentut yang ditahan itu kayak cinta yang terpendam. Bikin sakit seluruh badan.” Mulutku memang terkadang lebih cepat dari otakku.
          “Hah? Bilang apa tadi?” Kurasa ia cukup jelas mendengarku, hanya perlu penegasan. Hal yang tidak kulakukan. Aku lebih memilih tersenyum di balik helm.
          Berikutnya, aku memilih memejamkan mata, merasakan waktu itu: aroma sabun mandinya yang bercampur dengan bau jaket kulit, merekam suaranya, segala tentang dia hari itu. Menyadari kediamanku, ia bertanya, “Kau tidur, ya?”
          “Emmhh…,” jawabku mengesankan kalau aku memang sedang tidur. Mataku membuka setengah. “Kok tahu aku tidur? Berasa, ya?”
          “Tidur jam berapa semalam?”
          “Normal.”
          “Jam berapa yang kausebut normal itu? Jam 1?”
          “Hahahahaha… .”
          Dia kelewat hafal jam tidurku.
          “Cuma jiwa-jiwa penggelisah yang insomnia, yang jam segitu masih melek padahal bukan tukang ronda,” ujarnya.
          “Ah, pseudo-intelectual.”
          “Apaan, tuh?”
          “Sotoy.”
          “Jiaaaah… . Hahaha…,” tawanya berderai. Cepat-cepat kurekam dalam memoriku. “Sotoy punya istilah keren juga? Hahaha… . Eh, tapi bener, kan?”
          “Bener apa?”
          “Tentang jiwa penggelisah itu?”
          “Lu pikir gue gelisah jadi nggak bisa tidur cepet?”
          Ia mengedikkan bahu. “Kira-kira begitu.”
          Kubiarkan diam yang meraja.
          “Ah, bener,” ia menyimpulkan sendiri.
          Sepuluh menit kemudian aku tiba di tempat kerjaku. Aku turun dan menghadapnya. Sambil melepas helm, kubilang kepadanya, “Makasih, yaaa… .”
          Ia tersenyum. “Iya.” Ia menerima helm yang tadi kupakai yang kuangsurkan kepadanya. “Nggak berasa, ya? Perasaan Jatiwaringin – Rawamangun jauh, deh… . Tapi sekarang rasanya cepet banget,” lanjutnya.
          “Empat puluh lima menit.” Ternyata kau menikmati perjalanan, Tuan. Karena hanya orang yang menikmati perjalanan yang akan menyatakan bahwa perjalanan begitu cepat. Aku menunggunya pergi.
          Namun, ia tak juga beranjak. Malah berkata dengan santai, “Sana masuk.”
          “Sana pergi,” sahutku.
          “Masuk aja dulu.”
          “Pergi aja dulu.”
          “Masuk.”
          “Pergi.”
          “Masuk… .”
          “Pergi… .”
          Sebuah dering telepon berbunyi. Ponselnya. Permainan “masuk-pergi” kami seketika terhenti. Ia melihat nama penelepon yang tertera di sana kemudian menatapku penuh arti. Kuterjemahkan sebagai tatapan minta maaf. Aku hanya bisa tersenyum memaklumi.
          “Aku masuk duluan,” pungkasku. “Sekali lagi, terima kasih atas penculikan ini, Tuan.” Setelah berkata begitu, aku memunggunginya. Selekas mungkin aku ingin berlalu dari situ. Hal yang sebenarnya tidak kusukai, tetapi lebih baik begitu.
          Sayup-sayup terdengar suaranya, “Iya, sayang. Ini aku lagi di… .”
          Aku tak mau mendengar lebih dari itu. Cukup.


Relationship, couple, forever, heart

(Tulisan ini diikutsertakan dalam #ProyekCinta @bintangberkisah.
Gambar diambil dari sini)

Kamis, 25 April 2013

Sang Pendoa Muncul di Twitter


Sang pendoa muncul di twitter.
Sekali, dua kali, kau diam saja.
Ketika hampir tiap waktu dia begitu,
kau geram.
Kaubilang,
“Ini twitter, Bung. Mengapa
kau berdoa di sini? Tak adakah
tempat yang lebih privasi untukmu bicara
kepada Tuhan?”

Nyinyir.
Aku sahuti, “Bukankah terserah dia?
Lagipula, semakin banyak yang tahu doanya, semakin banyak yang mengamini.
Kalau kau mau berdoa di twitter juga,
silakan saja.
Tak perlu berkomentar nyinyir macam itu.”

kau, yang kita kenal sebagai orang keras kepala dan mudah tersinggung,
menjawab kata-kataku,
“Nah, terserah aku juga untuk berkomentar atau tidak.
Terserah aku mau bereaksi seperti apa.
Kalau kau juga mau bicara seperti perkataanku kepadanya,
Silakan saja.
Jangan karena ini-itu lantas kau bilang
aku yang nyinyir.”

Aku kesal.
Aku lalu menulis ini di blog.

Senin, 22 April 2013

dia tampak membaca

dia tampak membaca,
memang,
tetapi jika kaukaji
wajahnya lebih lanjut
kau akan tahu,
berapa kali pun ia berusaha
membaca,
membolak-balik kertas bukunya,
tak juga ia paham
kalimat-kalimat yang tertera di sana.
Oh, apa gerangan isi pikiran?

(6 April 2013)

Sabtu, 20 April 2013

Nomor Cantik

          Banyak orang, barangkali termasuk kamu, menyukai nomor (ponsel) cantik, nomor yang mudah diingat. Mereka memilih-milih nomor yang bisa diingat orang begitu cepat. Ini sangat membantu orang-orang pelupa akut—hm, anggap saya tidak termasuk pelupa akut—untuk bisa menyimpan nomor tersebut dalam memori di otak.
          Saya memang menyukai nomor cantik. Namun, bukan jenis nomor yang akan saya pilih sebagai nomor saya. Saya cenderung memilih nomor kontak yang susah diingat.
          Mengapa?
          Karena, bagi saya, orang yang bisa ingat nomor yang tidak cantik itu pasti orang luar biasa (dan di luar kebiasaan). Ia pasti niat betul. Hehehe… .

Jumat, 19 April 2013

Bangku Kayu


sebuah bangku kayu
mencatat kenangan
dua orang atas nama kawan
dengan segumpal rindu yang tertahan
tak teraku

(8 April 2013)

Kamis, 18 April 2013

Gadis Pukul Empat


          Ia akan berdiri di situ tiap pukul empat. Waktu bel sekolah berdentang. Hal yang paling menyenangkan.
          Berdirinya ia di situ tentu bukan tanpa tujuan. Akan banyak orang yang lalu lalang. Namun, ia tak perlu khawatir tidak bisa melihat orang itu karena yang dinantinya tinggi menjulang. Pasti menonjol di antara kepala-kepala yang lain.
          Sebelum pukul empat, ia sudah membenahi buku-buku dan alat tulisnya. Ini membuat ia lebih cepat melesat untuk melakukan rutinitasnya. Sebenarnya, ia, gadis itu, tidak melakukan apa-apa. Ia hanya akan berdiri diam di situ, di pintu kelasnya, melihat orang-orang yang melintasi ruang belajarnya dan mencari-cari Si Menjulang di antara mereka. Saat menemukan Si Menjulang, ia hanya akan tersenyum-senyum sendiri lalu pulang berjalan dalam bayangan langkah Si Menjulang. Begitulah. Setiap hari. Setiap pukul empat.

(15 April 2013)  

Rabu, 17 April 2013

Mawar untuk Liana

Ular perlu bisa
Macan perlu taring
Pun mawar perlu duri.

Kurasa kita sepakat di sini,
Bisa
Taring
Duri
Bukan untuk menyakiti
Melainkan untuk melindungi
Sesuatu yang bernama hati
Jangan sampai ia koyak lagi
Jangan sampai ia teriris-iris lagi.

(15 April 2013)

Selasa, 16 April 2013

Membuang Kenangan

          “Ia melukaiku…,” lirihnya. “Aku tak mau mengingatnya lagi.”
          “Lalu, apa yang akan kaulakukan?” tanya sahabatnya.
          “Aku akan melupakannya.”
          “Setuju. Kamu memang harus berjalan maju. Masa iya kamu stag di masa ini padahal dia nggak mikirin kamu?”
          “Aku akan membuang segala kenangan tentangnya.”
          “Bagus.”
***

          Suatu hari telepon si sahabat berdering. “Ya?” sahutnya di telepon.
          Suara di seberang sana berkata riang, “Aku sudah membuang kenangan bersamanya.”
          “Wah, kemajuan!”
          “Ya, kucongkel mataku,” katanya ringan. “Karena di sana banyak sekali potret tentangnya.”
          “… .”
          “Tapi, aku masih sering keingetan dia. Apa harus otakku juga?”
          “… .”
          “Lalu, rasa di hatiku ini… . Apa harus hatiku juga?”
          “… .”
          Sebuah isakan pelan mulai terdengar.



Datanglah ke Tuhanmu.
Jika tanganku tak kunjung cukup memelukmu,
Ia pasti bisa.
Merangkul hingga jiwamu.
Datanglah ke Tuhanmu, Sayang… .
Datanglah.

(13 April 2013)

Senin, 15 April 2013

Keringat di Ujung Hidung


          Dia melakukan gerakan bergegas naik ke motor. Kami sudah terlambat pagi itu. Namun, aku sempat menghentikan gerakannya dengan berkata, “Tunggu!” Satu jariku teracung. “Tunggu. Diam dulu.”
          Alisnya terangkat. Kurasa itu kenapa? Yang tak terucap.
          Kini kedua tanganku membentuk bingkai. Mataku terpancang ke dalam matanya. Aku sedang mengambil ancang-ancang memotret. “Satu, dua… cekrek!”
          Dia heran. “Ngapain?”
          “Moto.”
          “Mana kameranya?”
          “Ini.” Dua telunjukku mengarah ke kedua mata. “Ada keringat di pucuk hidungmu. Aku suka. Sayang kalau nggak diabadikan. Hehe… .”
          Ia terbengong sebentar sebelum men-starter motornya.


(Jaticempaka, 13 April 2013)

Kamis, 11 April 2013

Tentang Perempuan Pencipta Narasi untuk Aprie


Teruntuk Aprie

Halo, Prie,
          Tentang diskusi “Perempuan Pencipta Narasi”  tanggal 9 April 2013 di Salihara kemarin, kalau kamu mau baca makalahnya, nanti, deh, tak pinjemin pas ketemu (padahal itu juga punya Riesna. Hahaha…)
         
Prie,
          Diskusi kemarin sebenarnya aku nggak gitu ngerti-ngerti amat, sih, cuma kayaknya emang keren omongannya. Hehehe… .
          Selama di sana, mataku jelalatan ngeliatin Galeri Salihara itu (tempat berlangsungnya diskusi), Prie. Yang ada, ya, aku malah coret-coret ini di makalah:

Ruangan miring
Aku jatuh cinta pada ruangan miring ini
Rak-rak kayu
Lukisan kotak
Lampu tanam
Cahaya merias kaca

Semuanya.

Ya, aku jatuh cinta pada ruangan miring ini.

Ada bunga mekar di Salihara
Sebuah bunga mekar di Salihara
Berlari-lari gembira
Binaran matanya
Mana bisa bahagia bersembunyi selamanya?

Ia, bunga yang kita kenal kemarin
Yang melayu di antara pekak telinga
Yang menyusut
Mengeriut
Tanpa nyali

Sebuah bunga mekar di Salihara
Dan kita tahu dari binaran matanya
Mana bisa bahagia tersembunyi selamanya?


Sepatu Berpita
Sepatu berpita coklat
Membelakangi jendela
Menghadap ke muka
Ia lupa menguap-kuap
Yang ketika di luar tadi
tak henti-hentinya

sepatu berpita bergoyang-goyang ria
ia berkata-kata
seolah mereka bicara
tentang dirinya

sepatu berpita lantas diberi pelantang
dan inilah saat
ia perdengarkan suaranya!

Siapa yang kaubilang perempuan?
Siapa yang kaubilang perempuan?
Ibu.

Siapa yang kaubilang perempuan?
Istri.

Siapa yang kaubilang perempuan?
Gadis.

Siapa yang kaubilang perempuan?
Perempuan.

Siapa yang kaubilang perempuan?
Aku.

Siapa yang kaubilang perempuan?
Jiwa.

          Begitulah, Prie. Laporan selesai. Semoga cederamu cepat sembuh dan kita bisa ketemuan. Hehehe… .

Selasa, 09 April 2013

Selembar Bulu Mata dan Kerinduan Sepasang Mata

Selalu ada relasi
antara
Selembar bulu mata
dengan kerinduan
sepasang mata

Selembar
bulu mata
dan
kerinduan
sepasang mata

Selembar
bulu
mata
dan
kerinduan
sepasang
mata
-ku.

Senin, 08 April 2013

Selalu Tak Ada Waktu (?)


          “Kamu selalu tak ada waktu buatku.” Perempuan itu berkacak pinggang di ruang tamu rumahnya.
          Lelaki menyahut malas, “Oh, ya?”
          “Ya.” Si Perempuan mengangguk pasti. “Senin – Sabtu kau di kantor melulu.”
          “Benarkah?”
          “Loh, ya, pasti benar dugaanku. Ya, kan?” Bukankah perempuan suka menerka?
          “… .”
          “Hei, mengapa diam?”
          Lelaki tersenyum lalu menyeruput minumannya. Membayang di wajahnya tubuh tanpa jiwa karena jiwanya ia tinggal di rumah Perempuan. Barangkali Perempuan ini jarang bersih-bersih, pikirnya, sebab Perempuan ternyata tidak tahu kalau ada Lelaki di dalam huniannya.
          “Rinduku kepadamu membengkak, tahu…,” Perempuan berkata lirih.
          Jika kau lihat Si Lelaki, ia akan terlihat diam saja tanpa kita tahu rindunya kepada Si Perempuan meraksasa. Ia cuma akan menatap Perempuan sambil membelai rambutnya. Dia memang tak pandai bicara, tetapi bukan tak pandai menyampaikan rasa.

Hujan itu cuma sebuah cara

gerimis mempercepat kelam
(Chairil Anwar)

ya, memang, senja semakin menua kala hujan menyapa.
apa ada yang salah dari hujan yang turun? betapa ia dirutuk begitu rupa..
tidak suka hujan tidak apa-apa. toh, hujan juga belum tentu suka kamu.
hujan itu cuma sebuah cara. kita bisa bersama lebih lama. berteduh berbagi cerita.
hujan itu cuma sebuah cara. cara berbagi. kau dengan atasan jas hujan, aku dengan bawahan jas hujan.
hujan itu cuma sebuah cara. cara rindu berbagi rupa.
hujan itu cuma sebuah cara. cara agar bisa kutulis bebas namamu di kaca.
hujan itu cuma sebuah cara. cara langit mengecup bumi.
hujan itu cuma sebuah cara. kita bisa menari di antara.
hujan itu cuma sebuah cara. cara penulis menyampaikan rasa.
hujan itu cuma sebuah cara. cara tangis mewujud. "ah, ini air hujan," katanya.
hujan itu cuma sebuah cara. cara jejakmu yang muram terhapus tak bersisa.
hujan itu cuma sebuah cara. seberapa kadar sabar yang kaupunya.
hujan itu cuma sebuah cara. waktunya mereka berkunjung ke rumah-rumah.
hujan itu sebuah cara. kita mandi irit biaya.
hujan itu cuma sebuah cara. pahamilah, derai rindu turun berpacu.
rindu yang purba menderas bersama hujan. adakah kau merasa?

Sabtu, 06 April 2013

Aku Tak Ingin Konsentrasi


Aku kesulitan konsentrasi
Ia pecah ke mana-mana

Aku tak ingin konsentrasi
Karena itu berarti wajahmu membayang
: sebuah ekspresi terpampang
Kupotret dalam penglihatan tadi siang

Apa yang Kauminta dalam Doamu?

Kamu tengadah
kamu mengawang
melintas ini-itu

mulutmu terbuka akan mengucap
tetapi lalu kaukatupkan lagi
kamu malu
mau minta apa
menghadap-Nya saja jarang
mau menuntut hak bagaimana
menuntaskan kewajiban saja belum

Jumat, 05 April 2013

Apa Kau Suka Iwan Fals?

          Alunan Gali Gongli merambati telingaku. Kurasa juga sampai di telinganya karena ia bertanya, “Kausuka Iwan Fals?”
          Aku mendongak lalu tersenyum, “Ya. Begitulah.”
          “Kenapa kau menyukainya? Kausuka kritik sosial yang dilontarkannya, ya?”
          “Bukan,” sahutku. “Itu kan kau yang lagi menilai dirimu sendiri.”
          “Maksudmu?”
          “Ya… kauanggap tiap orang yang menyukai Iwan Fals suka karena kritik sosial yang diontarkannya atau lagu cintanya yang nggak menye-menye, sepertimu.”
          “Ah,” ia tersenyum kecil, “Kalau begitu, kenapa kausuka Iwan Fals?”
          “Aku?” Aku mengulum senyum sebelum melanjutkan, “Aku suka Iwan Fals karena kau menyukainya.”

Kamis, 04 April 2013

Cerita Mati Mengenaskan


Sebuah cerita mati mengenaskan
di depanku.
Darahnya muncrat ke mana-mana.

Di sana, di sudut itu,
Sang Juru Cerita memegang
pisau dengan buliran merah yang menetes-netes

Cerita itu mati.
Baru saja.

Selasa, 02 April 2013

aku sedang tidak terburu-buru


aku sedang tidak terburu-buru
kamu masih sempat menelan rokokmu
—kalau mau
kalau tidak,
ya, buang saja rokok itu
ke tempat sampah
lalu mari kita bicara