Sabtu, 31 Agustus 2013

Mari Aku Temani

hari sudah menuju pagi
kamu masih hibuk sendiri
mari aku temani!


(22 Agustus 2013)

Jumat, 30 Agustus 2013

Kamis, 29 Agustus 2013

Susah


Dua kucing, coklat dan abu-abu
Berjalan di genting kodok
“Di mana kita tidur?” tanya yang satu
“Jangan pikirkan tidur. Bayangkan
Secuil teri saja.”
Hujan turun lagi.

(22 Februari 2004)

Rabu, 28 Agustus 2013

Berganti Suami

barangkali dokter Wisnu ini cocok untuk kujadikan suami
tahu betul ia seluk-beluk tubuh
pandai benar ia berkata bahwa aku bidadari tiada dua
dengan sabar ia telusuri tubuhku
dan dalam penciumannya wangiku adalah surga

Arya cukup menawan
pegawai bank jajaran atas
yang sudah jelas berat sakunya
cuma mobil ia takkan sayang berikan

yang lebih sederhana ada pula
Karjo namanya
satpam perusahaan
orang yang selalu sedia jika aku perlukan
kemarin aku jalan dengannya seharian
hingga nyeri ini selangkangan
hahaha… aku terpuaskan!

mereka kutemukan dari dunia maya
aku mabuk jiwaku mengangkasa
akulah wanita cantik sejagat raya

suamiku?
ya, aku menikahinya
ia menikahi pekerjaannya

lantas aku berpikir
berganti suami saja.


(24 Agustus 2013)

Selasa, 27 Agustus 2013

Berpikirlah Semaumu

berpikirlah semaumu
selama yang kaumau
ranah yang kaumau

berpikirlah sepuasmu
selama yang kauingin
ranah yang kauingin

…dan aku mesti menunggu.


(22 Agustus 2013)

Senin, 26 Agustus 2013

Apa Usahamu?

Katanya kita harus berusaha
Katanya AKU tak usaha

Mendekat itu usaha
Aku disuruhnya memikirkan cara
Untuk mendekat
: skala usaha

Menyapa itu usaha
Aku disuruhnya menyapa lebih dulu
: niat

Kutanya saja, apa usahamu?
“Mendoakan usahamu berhasil,
Tentu saja.”


(Rawamangun, 19 Maret 2013)

Minggu, 25 Agustus 2013

Ini Gawat!

Ini gawat! Aku mulai rindu.
Ini gawat! Aku kenal cemburu.
Ini gawat! Semuaku tentang kamu.
Ini gawat! Bagaimana jika kamu tak mau jadi “kamu”-ku?
Ah, ya, ini gawat!

(2 Agustus 2013)


Sabtu, 24 Agustus 2013

Sudah Lama Imajinasimu Mati Suri

- untuk: Anandita Sapoetri -
sayang,
itu ada sebungkus imajinasi
tergeletak menyepi
tersudut sendiri

sayang,
kurasa kamu perlu bangunkan ia
tentang caranya,
barangkali bisa kaumulai dengan mengeja cinta?

(16 Agustus 2013)

n.b.:
jawaban dari Dita bisa dilihat di sini.

Jumat, 23 Agustus 2013

Tentang Ingatan

          Nggak enak itu adalah ketika lu pengen mengingat hal yang seharusnya diingat, tetapi lupa. Bubar jalan itu ingatan. Ergh.
          Tadi udah mengingatkan diri “harus ingat” (bukan “jangan lupa” karena orang cenderung lupa), tapi yaa.. kemudian lupa.
          Barangkali belum waktunya diingat?
          Sementara menulis ini, aku sedang mengingatnya: yang harus diingat (kembali) itu. Aku makin merasa yakin, aku perlu memori eksternal. Hahaha… . Em, atau, menitipkan ingatan kepada orang lain dengan mengatakan yang perlu kita ingat itu?


(7 Maret 2013—dengan perubahan)

Kamis, 22 Agustus 2013

Kami Lapar

dia lapar
tak bisa bilang lapar

mereka lapar
percuma bilang lapar

semua lapar
tak pernah bilang lapar

betapa lapar
betapa lapar














(2 Agustus 2013)

Rabu, 21 Agustus 2013

Aku Lagi Kesal

Aku lagi kesel!
Kutulis itu di whatsApp. Agak lama dia baru membalas.

Ya?

Itu, kucing aku… .

Kenapa?

Aku heran banget sama dia!
Dia senengnya nguber tikus got.
Dia tuh nggak bisa milih banget apa!
Jorok banget!
Aku kesel!
Mana lantai rumahku penuh tanah.
Entah dia main di mana!
Kesel banget, kan?

Semenit.
Dua menit.
Lima menit.

Bum…

Tak ada jawaban.

Bumii.. kamu tidur ya?

Aku kirim pesan suara.
Ia tidak mendengarkan. Ya, ia tidak suka mendengar pesan suara.

BUUUMMMIIIIIII.. Kutambahkan gambar pengeras suara tiga buah.

Eh, ya, ya.. Akhirnya!
Aku ketiduran. Maap.

Kamu jelek!

Iya. Kamu cantik..

Kamu jelek!

Iya. Kamu cantik..

Kamu jelek banget!

Iya, kamu cantik banget..

Jelek!

Cantik..

Uh. Makasih..


(15 Agustus 2013)

Selasa, 20 Agustus 2013

Metamorfosis

Mereka yang kemarin asyik ngomongin cewek cakep di kelas sebelah, hari ini bicara tentang ketidakbecusan pemerintah.

Mereka yang kemarin gosipin gebetan yang balikan sama mantan, hari ini asyik menyatakan ketidakmengertiannya terhadap kelakuan anak zaman sekarang.

Mereka yang kemarin bahas gaya keren ke sekolah dari majalah remaja, hari ini sibuk mengatur gaya anak ke sekolah.

Mereka yang kemarin menggembar-gemborkan makanan/minuman yang sedang tren, hari ini sibuk memberi gizi terbaik untuk keluarganya.

Segala bermetamorfosis, Kekasih.
Atas kehendak-Mu.

buka bersama kawan sekolah. hayo aku yang mana hayooo? :D

(7 Agustus 2013)

Senin, 19 Agustus 2013

Menakar Kebahagiaan

“Membahagiakan itu saling.”
“Berarti kamu perhitungan.”
“Perhitungan?”
“Ya. Kamu menakar-nakar kebahagiaan.”
“Aku tidak menakar kebahagiaan.”
“Oh, ya, dengan mengatakan bahwa ‘membahagiakan itu saling’ kamu menakar. Kamu iris-iris harapan, kamu masukkan dalam kantung plastik lalu kamu letakkan di atas neraca.”
“Tidak mungkin!”
“Menurutku, ya, kau sedang melakukan itu.”
“Lalu bagaimana—MENURUTMU—tentang kebahagiaan itu?”
“Memberikannya secara cuma-cuma. Tanpa pamrih. Seringkali malah yang menjadi alasan kita bahagia adalah dia yang sedang bahagia.”
“Cih. Naif.”
“Tidak menakar, setidaknya.”
“Kita berbeda!”
“Ya. Karena itu kita bersama.”


(7 Agustus 2013)

Minggu, 18 Agustus 2013

Mari Meloncat!

Hap, hap, hap!
Mari meloncat!
Ada kata hilang
tak tercatat

Hap, hap, hap!
Mari meloncat!
Ada buah pikir
yang terlewat!

Hap, hap, hap!
Mari meloncat!
Mari meloncat!
Mari meloncat!


(2 Agustus 2013)

Sabtu, 17 Agustus 2013

Emas di Hari Raya

          Berbagai cara orang merayakan keriaan hari raya. Salah? Saya rasa nggak. Kalau kamu memilih menepi dari keramaian, ya, itu pilihan kamu. Tidak perlu mencibir mereka yang larut dalam keriaan. Kan gitu.
          Yang menarik, saking “berbagai”-nya cara orang, ada yang kebiasaan di daerahnya berlomba-lomba pamer emas—ah, maaf jika saya lebih memilih diksi “pamer”, tapi saya lebih suka demikian. Ya, emas. Bukan Mas Joko ta’u’uk atau mas siapalah itu. Perhiasan.  Ibu-ibu beramai-ramai membeli emas, dibela-belain, demi dipakai saat hari raya. Malah ada yang memakainya hanya ketika hari raya. Selepas itu? Dijual lagi. Untuk makan sehari-hari. Untuk seragam anak. Untuk keperluan lain.

Bagi saya ini menarik. Karena nggak masuk logika saya.


(7 Agustus 2013)

Jumat, 16 Agustus 2013

Baju Lebaran

          Saya bukan mau mendukung atau malah mencerca upaya pengusahaan maksimal seseorang untuk membeli baju baru ketika Lebaran. Saya cuma mau membagi sisi lain—kalau kau belum tahu. Entah ini akan berefek biasa saja atau bagaimana bagimu, tapi yang jelas, bagi saya, pandangan ini perlu dipertimbangkan—setidaknya oleh diri saya sendiri.
          Okeh, sebelum lebay berlanjut.
          Saya dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengharuskan budaya berbaju baru ketika Lebaran. Em, paling-paling waktu kecil. Lebarannya dua hari, baju barunya minimal empat: hari pertama (pagi dan sore) dan hari kedua (pagi dan sore)—awas aja kalau nanti anak gue ngerebetin kayak gini! Semakin beranjak menua (gue lumayan sadar umurlah—kadang-kadang), baju Lebaran tidak menjadi prioritas utama. Atas nama “masih ada baju yang lama”, “masih banyak yang perlu diperbaiki”, “masih banyak yang lebih penting”, dsb, kami jarang membeli baju Lebaran.
          Hingga satu ketika, tetangga berkata betapa perlu baju baru. Bukan untuk pamer atau apa, menurutnya, melainkan untuk menghormati hari raya itu sendiri. Lantas saya berpikir, “Iya juga, ya? Ini kan bukan hari yang datang tiap hari.” Em, semacam itu.
          Setelah itu, apakah saya giroh beli baju Lebaran?
          Hahaha… nggak juga. Cuma, ya, biasanya Mama yang mengingatkan betapa hari raya itu penting. Salah satu cara menghormatinya ya dengan menggunakan pakaian terbaik, dst.
          Btw, saya menghalalkan segala alasan untuk membeli/tidak membeli baju baru. Terserah kamu. Ketika kamu memilih, toh kamu tahu alasannya. Begitu.

Akhirnya,
Selamat Hari Raya Idulfitri 1434 H, kawan… dan kekasih!

p.s.:
Ya, siapa tahu jodoh gue juga baca. Hahaha… .


(7 Agustus 2013) 

Kamis, 15 Agustus 2013

Rindu yang Mengganggu

Apakah kamu sedang merindu?
Jika iya, kuharap rindumu tidak mengganggunya.
Pernahkah aku?
Ya.

Bukan, aku bukan sedang rindu kepada pujaan hati. Aku sedang tidak rindu kepadanya karena aku sudah mencicil pengiriman rindu. Jadi, ya, aku tidak rindu dia. Ah, ya, aku bukan mau cerita tentang dia (kita anggap saja “dia” di sini merujuk kepada seseorang). :D

Ini tentang temanku.
Aku rindu dia (terutama ketika ini ditulis dan hari sebelumnya).
Bulan ini dia akan menikah. Di luar kota. Klaten.
Aku sangat ingin bisa hadir. Sayangnya, peluangku untuk hadir kecil. Aku tidak akan beralasan. Yang jelas, aku ingin sekali datang karena untuk berikutnya mereka tidak tinggal di Jakarta lagi—dan kemungkinan besar aku tidak bisa memenuhi keinginanku sendiri itu.

Dalam sebuah status di facebook dia bilang:
“I wish you were here today, saturday (hari akad nikahnya), and next thursday (resepsinya)”.
Aku dan tiga orang lainnya di-tag di sana. 

Oh, betapa itu membuat rasa ingin hadirku makin menjadi-jadi. Aku jawab:
“huaaaaaaaaaaaaaaaaa~
Gue jugaaaaaaaaaaaaaa~

Eh, tapi untungnya lu selalu membawa gue dalam hati lu, Nyah.
Jadi, di mana pun elu berada, gue juga ngikut.
Semoga berkah dan selalu bahagia, ya, Nyah.. :3”

Jawabannya mengejutkan: membuat geli sekaligus sedih.
“pantesan hati aku berat bangeeeetttt, ya udah keluar dulu aja bentar ya Sabtu sama Kamis, ntar masuk lagi, deh.”

Aku tidak bisa langsung menjawab.
Seketika galau. Hahaha… .
Aku perlu melakukan ini-itu untuk mengurangi rasa galauku.
Aku mendapati bahwa ternyata rinduku mengganggunya!

Aku pun akhirnya membalas—dengan hati dalam keadaan sudah agak ringan.
“hahahaha…
Iya, iya, sayang..
Maaf, ya...
Aku insya Allah ikhlas nggak dateng..
Barangkali memang perlu begitu.
:3”

Ya, itu benar.
Aku (berusaha) ikhlas tidak bisa hadir.
Aku tidak mau nggondeli siapa-siapa.

Untukmu, Nyonyah Wahyu Nur Indah Kurniasari,
Meski hanya melalui tulisan ini,
Aku mau bilang:
“Selamat menempuh hidup baru.
Semoga keluargamu menjadi keluarga samara.
Semoga keturunanmu memiliki sifat dan sikap yang terpelihara.
Semoga kamu dan keluargamu diberkahi Allah.
Semoga kamu dan keluargamu dalam lindungan Allah
dan semoga selalu bahagia!”

Terus, untuk Tuan Jemy Panopo:
“Jaga Nyonyahku baik-baik, ya!
Biar suaranya seperti petasan rentet di-mix suara knalpot bajaj,
Kami menyayanginya! Hahahaha
Semoga jodoh kalian tidak berakhir!”
 

Tulisanku lebay?
Ya, nggak papah.
Yang penting aku sayang suamiku (nantinya). Hahahaha.. (anak twitter banget!)
Selamat merindu!


p.s.:
selesai mengetik ini, aku dapat sandek dari nyonyah bahwa ponselnya jatuh. Nggak ada hubungannya, sih, cuma biar berefek dramatis aja! haha.. :D


(9 Agustus 2013)

ritual: merindu

Ini malam aku melakukan ritual:
merapal satu nama seiring rindu
yang menderas
tak tertahan
tak terlawan

Aku sangat tidak berharap jendelaku diketuk
oleh angin
yang membawa sekarung rindu
karena itu berarti rinduku dipulangkan

Tok… tok..
“Ya?”
“Ini sekarung rindumu. Ia tak perlu.”

Aku tidak suka menuliskan tentang rindu.
Bisa-bisa ia makin congkak.
Mengambil alih segala tubuh.

Aku tidak suka menuliskan rindu
Karena itu berarti aku tak berhasil mengatakan.

Yang menelaga dalam mataku
sudah berpikir ia bernama rindu.

Yang menghantam-hantam dadaku
sudah berpikir ia bernama rindu.

Yang mengalir buru-buru dalam tubuh
sudah berpikir ia bernama rindu.

Mati aku terbungkus tersekap rindu.

namamu namamu namamu
namamu namamu namamu
namamu namamu namamu
namamu namamu namamu
(mantra pengobat rindu)

Dengan segala hormat,
menyampaikan rindu aku perlu,
tak berkenan biarlah kamu.

Dengan sepotong kata “halo”,
rinduku meluruh semalam.
Kini ia menggelegak lagi.
Betapa ia tak bisa dimengerti!

Aku belum mau berbaring.
Nanti ingatan sempurna tentangmu
muncul lagi
Mengetahui belum bisa menuntaskan itu
bisa lebam aku.

Ah, kamu terlalu banyak bicara.
Sudah, Sayang, itu Tuhanmu menunggu.
Ia cemburu.


(12 Agustus 2013)

Rabu, 14 Agustus 2013

Pejalan

          Aku nggak tahu mana yang tepat, mana yang benar, mana yang terbaik. Yang aku bisa lakuin cuma menjalani sekehendak hati dan berharap Allah selalu menuntun hatiku. Ke depan aku menuju. Membesarkan harapan dan semangat dari pagi ke pagi. Itu aja.

Mari berdoa, semoga hidup kita lebih berkah.


(7 Agustus 2013)

Hai, Penelik (Dear Stalker)!


          Sudah pernah menemukan penelik (aku lebih memilih kata “penelik” daripada stalker) yang mengakui bahwa ia sering mengikuti akun twitter kita?
          Aku pernah.
          Hari ini. Dini hari tadi, tepatnya.
          Hahahaha… .
          Ini menakjubkan!
          Kami berbicara dengan dua kode bahasa. Dia menggunakan bahasa Inggris, aku memilih bahasa Indonesia. Jika dia memakai bahasa Manado, aku mempersiapkan diri dengan bahasa Jawa (untungnya opsi kedua ini nggak dipake; aku nggak ngerti SAMA SEKALI bahasa Manado!). Ia membuka pembicaraan dengan:

          “I wonder why you’re always in my TL. You’re immortal twitter user, aren’t you? :))”

          Dia nggak tahu, kali, admin akun @ikafff ada 24 orang. Hahaha.. Em, tapi, sih, aku nggak mau sombong, aku bilang aja:

          “Ahahaha.. karena kamu follower-ku.”

          Iya, dong?
          Dengan menjadi follower-ku, berarti aku otomatis ada di linikalanya. Terus, tentang “immortal twitter user”, dia barangkali berpikir aku ada hubungan dengan Edward Cullen. Entahlah. Kami cuma seangkatan—Bung Karno juga kelahiran 1901. Nggak ada yang spesial. Cuma berteman, tapi bukan #Prenjon, lho, ya! Bener, deh! Suwer tekewer-kewer! (halah!)
          Dia membalas twitku:

          “I mean your tweets appear in my TL almost every hour. Don’t you ever sleep? *wondering* ._.”
         
          Yah, kan, akun @ikafff punya 24 admin yang bergantian tiap jam… . Eh, tapi, aku nggak mau sombong, ah. Aku bilang aja:

          “Hahahaha.. aku kalo tidur nggak ngasih tau, sih.. Em, salah satu faktor jelas waktu muncul kita sama. Haha”
         
          Iya, dong?
          Kamu nggak akan tahu aku ada di linikala kalau kamu tidak muncul juga di sana—entah apa yang kaulakukan itu, Nyisanak! Aku memilih berkicau saat ada di twitterland.
          Dia sahuti:

          “Hmm, it’s not surely like that but nowadays I become silent reader for some twitter users. Somehow. If you know what I mean. ^^”
         
          Hah? “If you know what I mean”? Dari awal aja aku harus mengira-ngira maksudnya. Bahasa Inggris, bo! Bukan alergi atau apa, tapi kalau pakai kode bahasa yang berbeda berarti aku melakukan dua hal: mengartikan lalu menafsirkan. Ya, kan?
          Nah, pada twit di atas aku cuma ngerti artinya, tapi nggak ngerti konteksnya. Aku lantas meminta penjelasan:

          “Hahahaha.. aku nggak paham konteksmu.”

          “’silent reader’ means ‘stalker’ (oke, sampai sini aku ngerti—Ikaf). I simply wanted to tell that I’m your stalker. You’re one of twitter users whom I used to stalk to.”
         
          Ha!
          Aku tergelak di sini.
          Memang, kalau yang paham denganku atau sering berinteraksi denganku, pasti sudah tahu kebiasaanku yang memberitahukan kepada orang yang bersangkutan jika aku no mention, tapiiii… aku tidak pernah menganjurkan untuk mengakui diri sendiri sebagai penelik. Menurutku, ini keren!
          Aku lantas bertanya-tanya—yang akhirnya kugunakan untuk menanggapinya:

          “Ahahaha.. kenapa? Apa yang menarik dari akunku?”
         
          Iya, dong?
          Apa menariknya akunku sehingga ia bersedia meluangkan waktunya untuk kicauanku yang random itu?
          Ia menjawab:

          “Lucu aja sih buat hiburan, and sometimes enrich my knowledge about language (especially Indonesian). Don’t you realize that? :3”
         
          Aku mikirnya apa? Apa aku cocok jadi wanita penghibur? Hahahaha… Ow, beda konteks, ya? Habis, dia bilang “buat hiburan”… . Oke, fokus.
          Aku berkicau memang untuk menyenangkan diriku sendiri. Menyenangkan orang lain itu efek samping positif menurutku. Itu bagus. Sementara untuk pengetahuan kebahasaan (Indonesia), em, itu otomatis aja, kali, ya, mengingat latar belakang pendidikan dan pekerjaannku yang merupakan pengajar bahasa Indonesia.
          Tentang ini, aku selalu mengingat docendo disco, scribendo cogito (aku belajar dengan mengajar, aku berpikir dengan menulis). Ya, aku lebih merasa aku belajar saat mengajar. Itu mungkin kebawa sampai ke twitterland. Hahahaha… .
          Awalnya malah aku menjadi grammar nazi (um, sebetulnya aku nggak suka dengan istilah ini). Aku gatal jika ada akun yang pilihan katanya nggak tepat (kalau salah ketik aku nggak terlalu masalah, kecuali ngaruh ke makna). Apabila akun itu sengaja menggunakan bahasa lisan saat menulis—seperti yang kulakukan sekarang ini—ya nggak apa-apa. Aku biarkan. Namun, yang tidak bisa kuabaikan adalah mereka yang salah diksi jadi maknanya kacau, apalagi akun besar. Menurutku kasihan jika mereka dibiarkan. Aku suka bawel. Contoh kata yang penggunaannya sering salah: “acuh” disamakan dengan “abai”, “tak bergeming”, “carut-marut”, dst. Salah diksi, salah makna. Oke, aku bukan mau bahas bahasa di sini. Lanjut.
          Aku menjawab:

          “Hahaha... syukurlah kalo bermanfaat. Aku jadi tersanjung tersayang terpesona… .”
         
          Iyalah. Betapa menyenangkan mengetahui kata-kata kita bermanfaat bagi orang lain (ya nggak ngerti, sih, dimanfaatkan untuk apa..)! Sebenarnya masih ada kelanjutan percakapannya, tapi demi terjaganya fokus tulisan, kusudahi sampai di situ. Begitu.
          Akhirnya, melalui tulisan ini, kusampaikan terima kasih untuk orang-orang yang peduli dengan kicauanku. Kalian keren!

p.s.:
“Tiap orang punya pengagumnya sendiri-sendiri” (lupa kata siapa, tapi kurasa, ya, tiap orang memiliki pengagumnya sendiri)—dan aku selalu kagum dengan orang yang bisa-bisanya mengagumiku. Huibat! Prok-prok-prok (tepuk pramuka). Haha… .

(14 Agustus 2013)