Kamis, 17 Agustus 2017

Belitung Trip (2): Wisata Nonpantai di Belitung

          Postingan kedua dari seri Belitung Trip adalah destinasi nonpantai di Belitung. Apa aja sih wisata selain pantai yang ada di Belitung?

1.   Batu Satam
Batu Satam menjadi ikon di Belitung. Batu Satam sebenarnya adalah hasil proses tabrakan meteor dengan lapisan bumi yang mengandung timah tinggi jutaan tahun lalu. Batu Satam pertama kali ditemukan di Pulau Belitung pada tahun 1973 di Desa Buding, Kecamatan Kelapa Kampit. Batu ini ditemukan secara tidak sengaja oleh penambang timah beretnis tionghoa dalam penambangan timah dengan kedalaman 50 meter. Menurut Sejarah, penamaan Batu Satam ini didasarkan pada nama penemunya yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Sa dan Tam. Jika diartikan secara harfiah, Sa berarti “pasir dan Tam berarti “empedu. Sehingga Satam memiliki arti “empedu pasir”. Batu Satam memiliki beberapa nama yakni Taktite dan Billitonit.
Kini batu itu kerap dijadikan buah tangan. Harganya berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ketika aku tanya ke Bang Ifan—driver, fotografer, narasumber kami—kemungkinan batu satam dipalsukan, menurutnya itu tidak mungkin. Ini karena tekstur batu yang khas.

Batu Satam, ikon Belitung.

Berpotret di Bundaran Satam


2.  Rumah adat
Rumah adat di Belitung mengambil bentuk rumah adat melayu. Jenisnya terbagi dua: rumah bangsawan dan rakyat biasa. Yang dipamerkan sekarang ini merupakan jenis rumah bangsawan. Bentuknya panggung.
 
Rumah adat Belitung yang terletak di Kota Tanjung Pandan

Jendela rumah adat

Baju adat dan pernik-pernik pernikahan orang Melayu Belitung.
Nggak seperti di Istana Maimun, baju adat di sini tidak disewakan.

Ruang utama yang memang dibiarkan kosong begitu saja.

"Liu-liu". Alat transportasi zaman dulu.


Semakin ke sini, rumah semacam itu tidak lagi dipakai oleh masyarakat Belitung. Orang lebih memilih bentuk rumah secara umum. Sepanjang aku berkeliling Belitung, ada kutemukan bentuk sederhana rumah adat di sekitar Belitung Timur.

3.  SD Muhammadiyah Gantong
Tidak bisa dimungkiri, Belitung melejit setelah novel dan film Laskar Pelangi laris di pasaran. Salah satu destinasi yang sering dikunjungi wisatawan terkait dengan Laskar Pelangi adalah SD Muhammadiyah Gantong. Sekolah ini terletak di Belitung Timur. Yang dipamerkan sekarang ini adalah replikanya. Biaya masuknya Rp3.000,00.
DN Aidit merupakan tokoh yang berasal dari Belitung Timur. Dulu, PKI sangat berkembang di sini. Konon, itu sebab masyarakat Belitung Timur pernah tidak diperbolehkan sekolah. Barangkali tekanan inilah yang—langsung ataupun tidak—justru membuat 3 tokoh di generasi berikutnya lahir: Yusril Ihza Mahendra, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Andrea Hirata. Gils! Daerah sekiprit mana lagi yang melahirkan 3 tokoh nasional selain Belitung?
Pintu masuk SD Muhammadiyah Gantong

Tampilan dalam kelas SD Muhammadiyah Gantong
 
Konon sekolahnya bisa dibongkar pasang.

Pening kepala Bu Mus barangkali kalau ketemu siswa cem ini 


Yang juga menarik, rumah orang tua Andrea (yang kini dijadikan Rumah Kata) relatif dekat dengan rumah orang tua Ahok. Bila Andrea sekolah di SD Muhammadiyah Gantong, Ahok merupakan representasi anak yang sekolah di SD negeri. Yap, orang tua Ahok memang orang berada. Kami hanya melintas di Kampung Ahok, tidak mampir. Jadi, ya nggak ada fotonya.

4.  Rumah Kata
Rumah Kata merupakan museum pribadi Andrea Hirata. Aslinya, Rumah Kata ini merupakan rumah orang tua Andrea Hirata. Biaya masuk museum ini lumayan mahal, yakni Rp50.000,00. Biaya ini konon untuk membangun sekolah. Oh ya, kalau ke sini jangan lupa menikmati kopi kuli ya. Cuma Rp7.000,00, sudah menikmati sajian kopi yang khas dimasak di tungku menggunakan arang.
 
Namanya aja pelangi, ya berwarna-warniiii~

Tiangnya pun seni!

Numpang baca ya, Bang!

Kupi Kuli. Masaknya khas!

Pintu ke mana saja!

Langit-langitnya aja epik!


5.  Bukit Berahu
Bukit Berahu terletak di Kampung Bugis. Untuk masuk destinasi ini, kita perlu membayar Rp10.000,00. Nanti kita akan disuguhi teh/kopi gratis. Yang unik dari tempat ini, meskipun namanya “bukit”, ada juga pantainya. Untuk mencapai pantai dengan pemandangan perahu nelayan Bugis, kita harus menuruni tangga yang lumayan aduhai. Aduhai kalau naiknya pegeeellll. Hahaha.
 
Pemandangan dari Bukit Berahu. Sayang mendung ya.

teh/kopi gratis

Sehabis hujan

Tuh, di belakang mereka ada tangga yang panjangnya udah kayak mau ke air terjun.

Mereka ada penginapan sih, tapi PR banget kalau mau ke restoran. Harus naik tangga yang masya Allah itu.


6.  Danau Kaolin
Cantik dan miris. Pemandangan di tempat ini bisa cantik betul ketika cerah maksimal. Warna airnya bisa jadi tosca, turqoise, atau biru banget. Namun, di sisi lain, miris. Karena sebetulnya tempat ini merupakan lokasi penambangan kaolin yang ditinggalkan tanpa ada perbaikan. Cantik tapi kalau rusak kan sayang.
 




7.  Batu Mentas
Salah satu favoritku! Salah satu spot yang belum tentu (atau malah nggak) ditawarkan trip organizer. Yes, kami memang pakai itinerary sendiri. Di postingan kapanlah aku tulis itinerary-nya.
Daya tarik destinasi ini adalah udara sejuk (di tempat lain di Belitung pasti panaaasss), air jernih, dan dapat melihat tarsius. Kalau ke sini, bawa basahan ya. Nggak bisa nggak mandi deh kalau lihat airnya! Btw, bayarnya Rp10.000,00.
 
Gerbang yang sangat sederhana

Jerniiiihhh dan banyak ikan kecil-kecil

Jalanan di Batu Mentas

Ke kali pakai kacamata hitam. Bidadari mah bebaasss..

Adem.


Sebenarnya masih ada spot lain yang ingin kami datangi, seperti Bendungan Pice, Gunung Kubing, dst. Sayangnya, itu tidak bisa terwujud. Selain waktu yang terbatas, ketika kami ke sana, Belitung habis diterpa banjir (banyak spekulasi tentang penyebab banjir ini). Ke SD Muhammadiyah aja sempat khawatir nggak bisa karena memang daerah sekitar Belitung Timur yang kena. Dekat Kampung Ahok. Sewaktu melintas ke Pantai Serdang, kami melewati daerah terpaan banjir. Orang-orang menjemur barang-barangnya. Jalanan rusak (padahal rata-rata jalanan di Belitung cantik semua) dan jembatan sedang diperbaiki.


Minggu, 13 Agustus 2017

Belitung Trip (1): Wisata Pantai Belitung

Belitung (“Belitong” dalam pelafalan masyarakat lokal) memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Belitung mulai terekspos sejak Laskar Pelangi difilmkan. Orang-orang jadi punya visual tentang Belitung. Yeah, dan memang di sana itu bagus banget!
Apa Belitung cuma kuat di pantainya?
Nggak juga. Kami cari wisata nonpantai dan kuliner khas sana. Semuanya kuat. Nah, postingan akan kubuat tiga seri: pantai, nonpantai, dan kuliner. Yang pertama ini jelas pantai.
***

1.   Pantai Tanjung Pendam
Pantai di Belitung paling banyak terletak di Belitung Timur. Satu-satunya pantai yang terletak di Kota Tanjung Pandan—yang kami kunjungi—adalah Pantai Tanjung Pendam. Namanya aja Tanjung Pendam: ada kala tertentu, pantainya terpendam air laut. Konon, pantai ini kecenya ketika matahari terbenam alias sunset. Namun, kami ke sana siang. Jadi ya ndak ketemu sunset.
 
Pantai Tanjung Pendam yang cihuy sunset-nya

Pohon yang tumbuh di air laut


2.  Pantai Tanjung Kelayang
Pantai ini hanya titik tolak untuk hopping island. Di sini banyak perahu-perahu yang siap mengantar para wisatawan berkunjung ke pulau-pulau kecil yang ada di sekitar situ. Pantai ini nggak ada fotonya karena memang kami nggak menikmati pantai ini. Di sini kami mandi bilas aja.

3.  Pulau Pasir
Pulau Pasir ini isinya ya cuma pasir. Macam Pulau Pasir Putih asuhannya Leebong yang aku ceritakan di sini. Di tempat ini kami nggak lama. Iyalah. Mau ngapain lama-lama, tempatnya aja kecil gini.
 
pulaunya segini-gininya gaes~

4.  Pulau Lengkuas
Pulau ini termasuk pulau yang jauh dari Tanjung Kelayang. Ditempuh sekitar 20 menit. Ciri khasnya adalah mercusuar yang gagah menjulang. Meski terletak di Belitung, mercusuar yang dibangun tahun 1882 ini berada di bawah naungan Departemen Perhubungan DKI Jakarta. Mulanya mercusuar ini boleh dinaiki hingga lantai teratas. Namun, sejak ada dugaan pungli, pengunjung dibatasi hanya boleh masuk hingga lantai 3. Sayangnya, ketika ke sana, sampai lantai 3 pun aku nggak bisa karena mercusuarnya habis dicat. Ya udahlah, aku ngobrol aja dengan orang entah siapa.
 
Biar mendung banget, bahagia jalan terus~

Keterangan tentang Mercusuar.

Mercusuar dari jarak dekat


Oh ya, selain mercusuar, kekhasan pulau ini adalah adanya spot snorkling dan—konon—diving. Jadi siapkan alat snorkling  kalau ke sini ya!
  
5.  Pulau Batu Berlayar
Keluar dari Pulau Lengkuas, langit makin gelap. Wah, nggak kebayang takutnya aku. Nggak terbiasa menghadapi cuaca begitu sih. Namun, perjalanan masih terus berlanjut. Dari Pulau Lengkuas perahu menuju Pulau Batu Berlayar. Isinya ya batu aja. Laut dan pantai Belitung ini memang khas banget dengan batu granit di mana-mana.
Di Pulau Batu Berlayar ini sempat agak ketar-ketir. Gimana nggak, pulau ini cuma bisa disinggahi satu perahu (dan itu perahu kami doang), hujan makin besar, langit gelap banget, gelombang tinggi, dan mesin perahu kami mati. Wuih, doa betebaran cuy!  
 
Cuma foto gini doang terus naik perahu lagi. Aku bahkan nggak turun dari perahu. Saat itu gerimis.

Sebenarnya setelah Pulau Batu Berlayar, masih ada Pulau Burung, Pulau Kepayang, dsb untuk hopping island. Kami nggak singgah karena hujan makin deras dan gelombang makin tinggi. Jadi lebih cepat sampai di Tanjung Kelayang, lebih baik. Ganti destinasi.

6.  Pantai Tanjung Tinggi
Total kami mengunjungi pantai ini sebanyak 3 kali. Wahahaha. Banyak amat ya!
Pertama, lepas dari hopping island dan balik ke Tanjung Kelayang. Namun, ramai sekali. Langit juga masih mendung. Belum sempat turun dari mobil, kami memutuskan pindah tempat.
Kunjungan kedua adalah sore hari saat langit sudah agak cerah. Pengunjung masih ramai sekali. Maklumlah, pantai ini memang terkenal karena Laskar Pelangi.
 
Semacam pengumuman bahwa tempat ini merupakan lokasi syuting Laskar Pelangi.

vandalisme :(
            Karena nggak puas, esok paginya kami muncul lagi di pantai ini. Nah, pagi hari merupakan waktu terbaik untuk mengunjungi pantai ini kalau tujuanmu adalah berpotret, tetapi tak ingin banyak orang. Memang, sunset di pantai ini bagus, tapi orangnya pun banyaaaakkk. Vote pagi ajalah aku.


Batu-batunya kayak sengaja disusun ya!


Airnya jernih bangeet..

Tampak atas (nggak usah bayangin fotografer kami kayak gimana ngambilnya deh)

7.  Pantai Serdang
Kalau kamu pengin lihat perahu nelayan yang unik dan berwarna-warni, datanglah ke pantai ini. Banyak jukung katir tertambat di sini. Pantai Serdang menjadi pantai terakhir yang kami singgahi. Letaknya di Manggar.
Kekhasan lain pantai ini adalah pinus lautnya. Cuma memang, kayaknya kalau untuk berenang nggak deh. Ombaknya agresif. Banyak sampah pula—dari botol minuman hingga batang kayu. Barangkali sampah itu terbawa air laut entah dari mana.
Pinus laut menaungi kami

Ombaknya cuma anteng ketika di foto.

Jukung katir warna-warni!

Sampai jumpa di postingan selanjutnya ya!

Minggu, 06 Agustus 2017

Pulau Leebong (Leebong Island)

      Sebetulnya nama asli pulau ini adalah Klebong yang berarti kelabang. Menurut Bang Geryl, hospitality and event manager Pulau Leebong, pulau sekitar situ memang dinamai dengan nama hewan. “Pulau itu (menunjuk pulau terdekat) namanya Pulau Rengit yang artinya nyamuk kecil,” katanya suatu sore ketika aku duduk sendiri dan teman-temanku asyik bermain kayak.
Paduan warnanya itu lho, suka!

***
     Aku lupa sih sejak kapan kami merencanakan akan ke Belitung, yang jelas, kami mulai menabung dan mencicil tiket pesawat dsb mulai Maret 2017 (untuk pergi 28—31 Juli 2017). Imas Uliyah, sang pembuat itinerary, menawarkan Leebong kepada kami. Daya tarik pulau itu kepadaku jelas: rumah pohon (tree house)! Cumaaaa... mulanya aku agak ragu. Mahal banget, bo! Semalam menginap di rumah pohon itu: 4,8 juta!
     Singkatnya, kami setuju tuh menginap di situ. Mahal nggak apa-apalah. Sesekali. Tanpa tahu fasilitas yang akan kami dapat. Yes, aku mikir nginep doang di situ.

1.   Rumah pohon (tree house) bernama Zara Villa
Ternyataaaaa, di luar ekspektasi, pemirsa. Nggak menyesal kami pilih leyeh-leyeh di sana. Kami dapat rumah pohon (tadinya sempat nggak bisa tuh karena ada yang udah booking). Rumah pohonnya nggak seperti rumah Tarzan itu, nggak. Seperti kamar hotel yang ditangkringin di atas pohon. Kira-kira begitu. Hihihi.
Di Zara Villa, nama rumah pohon itu, terdapat satu tempat tidur besar, satu sofa bed, kamar mandi di dalam (dilengkapi dengan shower dan hair dryer), minum, teko, dan handuk. Terus, terus, ada balkon yang menjorok ke atas juga. Pemandangan kece deh dari situ.
     Selain rumah pohon, mereka punya juga sih pilihan vila yang lain. Cek aja di sini.

Tampilan keseluruhan rumah pohon (tree house) Zara. Ketje, kaaan?

Tangga menuju kamar.


Ini tampilan kosongnya. Alhamdulillah cerah, jadi fotonya jelas deeeehh.
 
Balkon atas rumah pohon.

Hair dryer di kamar mandi

Kamar mandi di rumah pohon.


2.   Makan malam dan sarapan
Kalau kita datang siang, seperti kami kala itu, kita akan disambut dengan handuk dingin. Rasanya segar banget, euy! Habis itu, makanlah kita. Cumaaa, untuk makan siang, nggak termasuk fasilitas mereka. Jadi yaaa, kami bayar tambahan lagi. Sekitar Rp500.000,00 untuk berempat. Tapiiii, kamu nggak bakal menyesal karena rasa masakannya juara! Enak banget. Delapan jempol—jempolku dan teman-temanku—untuk Chef Santo. Chef Santo ini udah keliling dunia lho. Jadi ya, nggak usah diragukan lagi rasa masakannya.
 
Menu makan siang: nasi, baso ikan dan otak-otak, ikan bakar, tumis tauge, ayam bumbu, cumi goreng tepung, dan pepes ikan. Imas paling suka pepes ikannya karena selain bumbunya khas (ada nanasnya), pepes ikan ini menggunakan daun simpur, daun khas Belitung, sebelum aluminium foil. Mutia dan aku suka cuminya. Aku juga suka baso ikannya sih. Sambalnya juga mantap dua-duanya (ada dua jenis). Nuniek suka semuanya. Hahaha.

Chef Santo, yang sudah selesai aktivitas di dapur, biasanya akan keluar menemui penikmat karyanya. Nah, paling seru ketika menemui kami. Dia promo sekaligus menantang kami, “Kalau kamu nginap di sini, kamu mau request makanan apa, saya masakin deh. Tinggal bikin list-nya.” Dia bicara begitu, karena tamu yang lain hanya pulang pergi ke pulau itu.
Ditantang begitu, dengan sigap Imas menyahut, “Wah, kebetulan tuh, Chef. Malam ini kami nginap di sini.”
       Chef langsung tepuk jidat. “Waduh, mati gue! Kirain yang menginap bukan kalian.”
Hahahahahaha. Otomatis kami tertawa. “Jangan mati dulu, Chef, saya bikin list dulu,” aku menimpali. Tampang kami nggak meyakinkan untuk menginap kali ya. Kinyis-kinyis gimana gitu. Hahaha.
Well, akhirnya inilah makan malam kami: barbeque ala Chef Santo.
 
Menu makan malam: nasi, tumis sawi, sambal dua macam, ayam bakar, cumi bakar, sate udang, baso ikan dan otak-otak, dan ikan tauco (entah campuran yang lainnya itu apa). Oh ya, jus buah naga. Jusnya mantap. Pas, nggak kemanisan. 

Untuk sarapan, kami diberi pilihan: makanan ringan seperti churros dkk atau makanan berat seperti nasi goreng dkk. Kami pilih churros. Jadilah kami sarapan churros, pisang kipas, dan otak-otak. Favoritku otak-otaknya. Wuenak. Ya karena dasarnya aku lebih suka makanan gurih daripada manis sih. Hehehe.

Kiri ke kanan: churros pakai saus susu coklat, sate otak-otak, dan pisang kipas. Enyak-enyak-enyaaak.

Oh ya, teh, kopi, dan air putih minum bebas yes. Kapan aja bisa deh itu. Selalu ada di restoran.

3.   Banyak pilihan aktivitas
Selama di sana, banyak hal yang bisa kita lakukan. Mereka sedia kano, kayak, voli pantai, hammock di pantai, bangku santai, berenang, bersepeda keliling pulau, karaoke, dan lain-lain. Lepas makan siang, kami ke kamar untuk bersih-bersih diri. Habis itu? Tidur. Wakakakaka. Capek sih.
Kami baru keluar sore hari. Agenda kami adalah bersantai di lazy bed. Yap, kami bawa lazy bed dari Jakarta. Sayangnya, angin tidak terlalu kuat sore itu. Lazy bed kami tidak mau gendut. Gagal deh santai-santai di lazy bed. Teman-temanku lalu beralih main kayak menuju hammock—sore itu air pasang, jadi hammock-nya terkesan berada di tengah laut. Aku yang malas basah-basahan, memilih duduk di bangku santainya saja.
  
Dipanggil "Emak" gara-gara ogah nyemplung sore itu dan cuma duduk-duduk gini aja.

Ini waktu mencoba mengisi lazy bed dengan angin.

Gembira banget yaaaa~

Mutia bersantai di hammock.

Bermain kayak.


Selesai makan malam, agendanya adalah api unggun. Sayang, kayu bakarnya basah karena malam sebelumnya turun hujan. Jadi kami pilih karaoke deeeehhhh. Lagu yang dipilih? Lagu tsurhatan mulu! Dasar wanita.
 
Ekspresif banget!
Selain kami, ada juga yang menikmati karaokean.

Pulang dari karaokean di restoran, kami bersepeda menuju rumah pohon.
 
Pulang karaokean

Pukul 04.00 keesokan harinya kami bangun untuk menyambut kelahiran matahari. Sebenarnya itu kepagian sih karena matahari terbit itu pukul 05.20. Ditemani Kris dan Yadi, staf Leebong, kami bersepeda menuju bagian lain pulau guna melihat sunrise. Sambil menanti matahari terbit, kami menikmati bintang yang cantik betul, seolah bisa kami gapai dengan tangan. Selain itu, di situlah pertama kalinya aku salat Subuh di pantai. Tambahan pula, habis itu kami yoga ala ala. Nikmaaaat sekali.
 
Ke mana ini orang-oraaang?

Nggak ada penantian yang sia-sia eh?

Aku dan Nuniek ceritanya kelahi.

Yoga ala-ala.

Banyak bayi kepiting!


Habis menyambut matahari lahir, kami mencoba lagi mengisi lazy bed dengan angin. Kipas angin, tepatnya. Wakakaka. Ide jeniusnya Kang Yadi. Yay, jadi bersantai! Alhamdulillah!
 
#Timrempongrempongbahagia

Untuk malas-malasan kayak gini, perlu usaha! Wakaka.


4.   Antar-jemput dari Tanjung Ru
Ini nilai plus lain untuk Pulau Leebong. Sudah disiapkan perahu motor untuk mengantar dan menjemput kami dari Pelabuhan Tanjung Ru. Coba kalau sewa sendiri, bayarnya sekitar sejuta pulang pergi. Btw, nggak ada fotonya nih. Nggak apa-apa ya. Hehehe.
  
5.   Pulau Pasir Putih
Pulau ini tidak berpenghuni. Jangankan manusia, pohon aja nggak ada di sini. Pulau ini masih asuhannya Pulau Leebong. Disiapkan bangku santai dan ayunan. Mau gelundungan juga bebas. Toh, cuma kami berempat (eh, ditambah bang sopir perahu deh).
 
Selena Gomez mah bebaaaas~

Hymn for the weekend. Yay!

Model kalender bulan Juli.

Isi pulau ini cuma kami berempat. Bebaaass~

"Nieeekkk, tungguiiinnn~ banyak rumah bayi kepitiiing. Kalau diinjak, nanti mereka merasa gempaa~"

Hajiyejiyejiyee~

Di balik sebuah foto yanng bagus, ada Imas dan Mutia yang ngurek-ngurek pasir untuk naro kamera. Danke, Imas, Mutia! *cups*


6.   Tim yang ciamik
Satu hal yang aku apresiasi, dan ini kuhitung sebagai harga, adalah servis dari para staf. Mulai dari Tanjung Ru, kami disambut kapten perahu motor berkaus “I love Belitung”. Sesampainya di Leebong, barangkali nakhoda sudah kontak orang Leebong, kami disambut oleh laki-laki berkaus merah (bertuliskan “I love Belitung”) yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Dana. Alat komunikasi yang digunakan Dana keren. Harga, tjuy. Oh ya, nggak usah khawatir dengan barang bawaan. Sudah ada staf yang membawakan ke penginapan.
Sampai di titik tertentu, kami disambut Yadi—yang lagi-lagi berkaus “I love Belitung”. Dia yang mengantar kami hingga ke restoran. Di restoran, kami disambut Geryl. Karena fokus ke handuk dingin, aku lupa Bang Geryl pakai baju “I love Belitung” juga atau nggak. Hahaha. Kayaknya sih warna putih.
Waktu aku duduk sendiri di bangku santai sementara teman-temanku main kayak, aku diajak ngobrol oleh Bang Geryl. Aku jadi teringat bos di tempat kerjaku yang selalu meminta kami untuk tidak membiarkan siswa duduk sendiri: mesti ditanya atau diajak ngobrol biar dia nyaman. Itulah yang dilakukan Bang Geryl, mengajak ngobrol. Ketika Bang Geryl harus pamit mengantarkan tamu yang pulang, Pak Yudi, yang ternyata owner, yang gantian menemaniku ngobrol. Ntap soul.
Job desc staf di Leebong ini kayaknya jelas banget. Ada yang melalukan pengasapan (fogging) di sore hari untuk mengusir nyamuk dan serangga lain, ada yang membawa barang-barang, ada yang menemani tamu, ada yang di dapur, ada yang di restoran, ada yang di konter suvenir, ada yang menyapu pulau, hingga ada yang membersihkan bangku-bangku! Tahu nggak, batang-batang pohon yang difungsikan sebagai bangku, itu pun dilap! Keren banget mereka!
Gimana bisa aku nggak betah coba?
 
Bangku-bangku begini juga dibersihkan lhoo!

7.   Beberapa saran
Karena tulisan ini merupakan tulisan seenak udelku, tidak diminta oleh pihak Leebong atau siapa pun, aku bicara apa adanya. Ada beberapa saran, baik untuk pihak Leebong atau tamu yang akan datang. Nih.
a.    Kontak person kami adalah Pak Rio. Nah, salahnya kami adalah tidak minta nomor kontak staf situ. Karena di kamar tidak ada telepon dan jarak antara rumah pohon dengan asrama karyawan cukup jauh, kami agak susah untuk meminta sesuatu. Jadilah kami kontak Pak Rio—yang tidak tinggal di situ—bila ada perlu. Untuk kasus ini ada dua solusi: pihak Leebong menyediakan telepon di kamar atau yaaa si tamu inisiatif minta nomor kontak staf.
b.   Stop kontak di kamar ditambah. Atau, minimal disediakan colokan tambahan. Kami yang turis ala ala ini, biasanya mengisi baterai power bank dan ponsel kami pada malam hari. Bersamaan. Wakakaka.
c.     Televisi yang untuk karaoke sering hitam sendiri. Kami yang nggak hafal lirik, harus nunggu sejenak sampai dia nyala lagi. Hehehe.
d. Kualitas sepeda lebih diperhatikan. Sepeda yang kunaiki pedalnya agak susah dikayuh, jok sepeda Imas miring. Lebih oke bila ditambah lampu biar lebih terang ketika menuju titik lihat sunrise.
e.  Apabila tidak memungkinkan menambahkan lampu di sepeda, paling benar ya menyalakan lampu jalan menuju ke bagian pulau untuk melihat matahari terbit.
f.     Teruuuuss, mbok ya kami jangan disuruh bangun pukul 04.00 untuk melihat sunrise sementara belum ada satu orang staf pun yang udah bangun. Akhirnya kami mengetuk salah satu pintu karyawan deh.

 ***
Kurang lebih itulah pengalaman kami di Leebong, Belitung. Kalau ditanya, mau ke Leebong lagi nggak suatu saat nanti, jelas aja MAUUUUUU! Hahaha. Udah ngerasain nyamannya sih. Mau ke sana juga? Bolehlah, kami diajak. *teteupppp*


(sumber foto: Imas, Mutia, Ikaf, Nuniek)