Selasa, 30 September 2014

Lebih Baik Tidak Bisa Memasak

Tidak bisa memasak, Zus?
          Ah, sama. *toss*
          Aku punya cerita tentang ini.
          Bandung mendung kala itu. Apa hubungannya dengan ceritaku? Nggak ada.
          Oke, aku sedang asyik bercakap-cakap dengan seorang perempuan bertahi lalat di atas bibir dan berpipi tembam. Siti namanya. Aku sangat tertarik ketika ia bilang, “Kalau nggak bisa masak, nggak apa-apa, Mbak Ika. Yang penting bisa mijet.”
          “Hah? Kok gitu?”
          “Iya. Kalau nggak bisa masak, kita bisa beli makanan di luar. Lha, kalau nggak bisa mijet? Mendingan (suami) cari makan di luar daripada cari pijat di luar.”
           "Enggggg... ."

(9 September 2014)


Sabtu, 20 September 2014

Upacara Melarung Ombak

          Anak-anak senja mengadakan upacara melarung ombak. Mulut mereka komat-kamit baca serangkaian doa. Kata mereka, ombak yang lepas akan pulang menjemput mereka membawa kepada ibu mereka yang jingga. Tinggi betul harapan mereka; mewujud kiranya.


(16 September 2014)

Tulisan ini terinspirasi dari sini.

Sabtu, 13 September 2014

Marah-marah

          “Terus aja aku ditinggal-tinggal. Ditinggal tidur, ditinggal kerja. Hih.”
          “Nggak baik lho marah-marah terus,” kata lelakinya sambil memainkan kursor di laptopnya.
          “Oh, ya? Memang siapa yang marah-marah?” sahutnya ketus. “Buang-buang tenaga aja. Cih!”
           “Hah? Siapa-yang-marah-marah?" Lelakinya melirik sekilas dengan sebal. "Iya, aku, aku yang marah-marah, bukan kamu.”
          “Ngapain juga kamu marah-marah? Marah-marah itu jatah aku. Kamu yang dimarah-marahin.”
          “… .”

(17 April 2014)


Selasa, 09 September 2014

[Prompt #61]: Keluar dari Layar Monitor

         Pernah ada seorang gadis keluar dari layar monitor. Pada waktu yang bersamaan muncul lelaki dari monitor yang lain.
          “Aku makan teri, lho, hari ini,” ujar Si Lelaki dengan nada pamer.
          “Hahaha,” Si Gadis hanya tertawa. Ia berpikir Si Lelaki sedang melucu. Apa yang istimewa dari makan teri?
          “Kamu nggak ngerti. Teri makanan mewah di sini. Mana bisa kamu jumpai teri sesering di Indonesia?”
          “Ah, iya juga,” sahut Si Gadis. Di Negeri Kanguru itu mesti jarang teri.
          Dari teri mereka lantas bertukar cerita tentang banyak hal. Menertawakan banyak hal. Sampai tiba waktunya.
          “Aku harus pergi,” ucap Si Lelaki.
          “Oh, oke,” Si Gadis berusaha bernada biasa, tetapi kita tahu ia gagal menyembunyikan kecewanya.
          Lelaki paham ini. Katanya, “Apa kauingin mengucap sesuatu?”
           Si Gadis tampak berpikir sebentar. “Em, ya,” katanya, “em… selamat menikah, Mas. Semoga selalu berbahagia.”
          Lelaki tampak menyeka mata basah Si Gadis sebelum kemudian ia benar-benar menghilang dari layar monitor itu.

Sketsa oleh Carolina Ratri

(150 kata dan ditulis untuk Monday Flash Fiction prompt #61: Jarak yang Terkutuk)

Jumat, 05 September 2014

Hari Dimulai dari Malam

          “Hari dimulai dari malam,” kata Anya.
          Awan mengernyit, “Maksudmu?”
          Anya tidak langsung menjawab. Ia menikmati situasi sambil menyeruput tehnya. “Semua orang berpikir hari dimulai dari pagi. Bodoh itu. Hari dimulai dari malam.”
          “Iya, iya, kamu sudah bilang, Anya,” lelaki tak sabar, “maksudmu apa?”
          “Ah, Awan! Gitu aja nggak ngerti,” Anya bersungut. “Aku memulai hari dari malam. Itu saat yang paling intens mengingat kamu!”
          Mata Awan membesar. Tak begitu mengerti, tetapi ia terbahak juga.


(2 Oktober 2013)

*tulisan ini dan tulisan lain yang lebih apik masuk dalam Antologi Rindu

Selasa, 02 September 2014

Pelakon

          “Keluargaku broken, Kaf,” katanya suatu kali saat kami sedang duduk lesehan di salah satu bagian pelataran Monas. Ia duduk memanjangkan kaki. Kedua tangannya menjadi tumpuan tubuhnya yang condong ke belakang. Pandangannya mengarah ke langit, ke pucuk Monas tepatnya. “Gue nggak kayak lu yang keluarganya utuh.”
          “Terus?” aku cuek saja menggambari tingkah orang di Monas di sebuah buku.
          “Gue tinggal sama nyokap. Jadi tulang punggungnya.”
          “Hmmm,” aku masih mencoret-coret, “terus?”
          “Kaf, gue ngomong serius,” kali ini ia menghadapku. Tangan yang digunakan untuk bersandar tadi sudah ia tarik. Kakinya dilipat. “Lu nggak dengerin gue?”
          “Denger.”
          “Terus kenapa lu bilang ‘terus, terus?’”
          “Ya, terus gue suruh bilang apa? Bilang ‘apa pun latar belakang lu, lu harus berani belajar komitmen’? Bilang ‘jangan semua perempuan berjidat licin yang lewat lu deketin tanpa lu jadiin’? Bilang ‘lu hebat jadi tulang punggung’? Bilang harusnya Bapak-Ibu lu tetap mempertahankan pernikahannya’? Bilang apa?”
          “Ya… bilang—“
          “—Gue cuma pelakon. Lu juga. Kita ini kayak ngejalanin naskah yang kelihatannya full improve padahal sebenarnya nggak. Ini naskah terencana matang, bahkan improve kita sudah diperhitungkan Sang Mahasutradara. Lu mau gue bilang apa?” 
         Semua itu kukatakan sambil tetap memegang buku dan pensil dengan tatapan penuh ke buku. Aku tidak berani membalas tatapannya. Sebab, jika itu kulakukan, akan tampak jelas sekali seolah ada tulisan di dahiku: aku mencintai kamu yang keluarganya broken, yang jadi tulang punggung, yang gebet banyak perempuan tanpa status pacar (apalagi istri), yang bisanya cuma curhat dan hanya menganggapku teman.

(8 Desember 2013)