Minggu, 13 September 2015

Bus Tingkat

Jakarta Coret, 24 Januari 2014

Halo Mas dan Mbak Copet,
          Maaf mengganggu kegiatan mencopetnya sebentar. Saya cuma mau minta tolong. Begini.
          Pemerintah Jakarta kan rencananya akan mengadakan kembali bus tingkat. Hanya saja, bus tingkat ini tidak dipergunakan untuk transportasi umum seperti dulu, tetapi khusus untuk wisata.
          Nah, maksud surat ini datang kepada Anda adalah saya ingin minta tolong, nanti kalau bus tingkat sudah mulai dioperasikan, Mas dan Mbak Cop jangan ikut naik ke bus itu.
          Kenapa?
          Nanti ibu saya nggak mau naik bus tingkat. Dulu, kata Ibu, bus tingkat itu banyak copetnya. Itu sebab ia tidak mau naik bus tingkat. Padahal saya suka banget dengan bus tingkat, apalagi di atas!
           Jadi, plis, Mbak dan Mas Cop yang baik, nanti jangan naik bus tingkat, ya!


Sabtu, 12 September 2015

P e r g i

P – e – r – g – i.
Pergi.
Bagi beberapa orang pergi barangkali bergerak menjauh. Beberapa orang lainnya membuat kepergian semu. Ia tetap berada di tempat yang sama, tetapi bilang ke semua orang bahwa ia pergi—dan semua orang, sayangnya, percaya.

(14 Mei 2014)


Jumat, 11 September 2015

Anak-anak Senja (Episode Lain)

anak-anak senja menanti mamanya pulang
hati girang bukan buatan
saat mama jingga
datang memeluk malam


(16 September 2014)

Kamis, 10 September 2015

Di antara Jam Kantor yang Mumet

Dear Aprie,
          di antara jam kantor yang mumet, di antara jalan-jalan yang macet, di antara Kalimalang yang seperti Cipali, di antara langit yang ceria dengan tanah yang kesepian (halah), aku sering menulis. Aku suka menulis di buku tulis.

Aprie yang baik,
          aku suka bengong dan menceritakan hasil bengongku kepada orang lain. Menulis adalah salah satu caraku bercerita. Aku cerita ideku tentang asap bajaj yang dibikin bentuk lope-lope dan aromanya vanila, misalnya.

Aprie yang suka bobo cantik,
          melalui tulisan kita menautkan emosi dengan orang lain. Melalui tulisan kita menggerakkan. Melalui tulisan kita menjadi lebih jujur dan terhindar dari dada yang sekotak: sempit.

Aprie yang suka semangka,
          aku sangat suka menulis. Aku ingin tetap menulis. Aku ingin tetap ada yang kutulis. Ingin tetap menulis. Ingin tetap menulis. Akan kuabadikan kamu dalam tulisanku. Kuabadikan aku dalam tulisanku. Kupanjangkan usia orang tuaku, adikku, kekasihku, hingga Planet Bumi dalam tulisanku.

Aprie yang akan traktir aku pizza,
          menulis adalah sebuah jejak bahwa kita pernah hidup dan menghidupkan. Inilah jejakku.



Salam,


Ika Fitriana

(tulisan yang diikutsertakan dalam GA Aprie di sini)

Rabu, 09 September 2015

Si Perempuan Kita



Ada seorang perempuan yang kita
rahasiakan saja namanya.
Ia merasa hidupnya begitu berwarna,
entah apa alasannya.

Antara negeri hujan bunga-bunga dan bulan
parasnya tiada yang kenal tentang dia.
Ribuan—entahlah, miliaran mungkin—anggota semesta tak peduli hadirnya,
ia ada dan hadirnya berkontribusi bagi lainnya. Baginya
langit cukup menaungi. Pun ia pikir yang penting
ia memiliki hati yang cukup untuk pangerannya.
Angkasa hanya tertawa melihat tingkahnya
naif memang tampaknya, tapi ya,
itulah dia, si  perempuan kita yang
ke sana ke mari suka menari dan menyanyi. Ia
akan tetap hidup selama ia dinanti.

- 2 Oktober 2012-

Selasa, 08 September 2015

Penjembatan

Pikiran kita serupa dua tembok tinggi
yang dipisahkan sebuah parit lebar
dengan buaya mulut menganga

Ini tak bisa ditunda lagi!
Kita perlu penjembatan!
Apa boleh itu kusebut cinta?

(7 Agustus 2013)


Senin, 07 September 2015

Bros Mbak Wati

akhirnya paket bros tiba
paket bros pesanan Mbak Anna
kami ikut-ikut pesan di sana

paket bros dua (dus kue besar)
ada banyak bros di dalamnya

aku mengambil bros pesananku:
bros merah dengan bandul Eiffel
aku mengidamkannya sejak kapan tahu

tentang bros bandul Eiffel itu
aku suka mulanya karena Mbak Wati
yang pesan bros itu

aku melihat lalu jatuh cinta lalu aku ingin juga

sayangnya,
ketika kupesan
stok Eiffel habis
aku harus menelan kecewa
dan hanya bisa melihat Eiffel bergelayut riang di jilbab Mbak Wati

hari ini sudah aku punya
bros merah bandul Eiffel
aku sangat suka!

paket bros tiba dan teman-temanku mencari pesanan mereka
mbak Wati pesan juga beberapa
ada satu yang aku suka
bros berenda hitam warnanya
oh, aku ingin memilikinya!

tanpa pikir panjang
aku ambil bros hitam Mbak Wati
aku dekap erat-erat
sambil berseru,
“Beri aku alasan agar aku tidak menyukai bros ini
dan bisa melepaskannya
—selain alasan bros itu kepunyaan Mbak Wati!”

(8 April 2014)


Minggu, 06 September 2015

Nama untuk Diri Sendiri

Namamu siapa?
Suka dengan nama itu?
Berencana ganti nama?

          Mulanya saya membaca potongan biografi tentang Andrea Hirata di buku materi kelas VIII. Yang menarik, Andrea Hirata tidak menyukai nama sejak kecilnya, yakni Aqil Barraq Badruddin. Ia pernah menggantinya dengan Wadhud. Akan tetapi, ia masih “merasa terbebani” (menggunakan bahasa di dalam buku tersebut) dengan nama itu. Jadilah ia mengganti namanya dengan Andrea Hirata.
          Saya lantas berpikir, Ada berapa orang yang tidak puas dengan namanya lalu mengganti nama?
          Ingatan saya berpindah-pindah dari Kugy yang pengin ganti nama jadi Kugy Charmaleon lalu ke beberapa orang terdekat saya. Memang sih ya, waktu kecil kita tidak bisa tidak menerima nama pemberian orang tua, tapi sekarang? Kita bisa menentukan nama untuk diri kita sendiri. Sebuah brand. Halah.
          Kalau dikembalikan ke masalah gender nih, biasanya masyarakat (bahkan sering juga perempuan itu sendiri; konteksnya keperempuanan) akan melabeli perempuan bersuami dengan kata “nyonya” yang dijejerkan dengan nama suami. Kita akan kenal Nyonya Anu (ganti “anu” di sini dengan nama suami). Nggak repot atau bingung cari nama karena sudah ada nama yang dipersiapkan.
          Saya bukan menolak ide menggunakan nama suami sebagai pengganti nama diri, nggak seekstrem itu. Kadang saya juga tertarik membayangkan saya menyandang nama suami (nantinya). Cuma memang, sayang kalau nama saya mesti hilang. Saya tetap menginginkan orang kenal saya sebagai Ika Fitriana, bukan hanya Nyonya Anu.
          Bicara-bicara, kenapa lelaki itu tidak ada yang menamakan dirinya dengan nama istrinya ya? Tuan Ikaf, misalnya.
          Eh, fokus. Gimana menurutmu? Kamu pengin ganti nama?

(21 Agustus 2014)


Sabtu, 05 September 2015

Yang Mungkin dan Yang Mustahil

          Yang Mungkin berjalan pongah di depan Yang Mustahil. Dia bergaun merah merasa paling cantik sejagat raya. Yang Mustahil menepi memberi jalan.
          Yang Mungkin berjalan congkak dengan tas kecil di tangan. Kalau saja kautahu, isi tas kecilnya adalah segunung rendah diri aneka rupa.
          Sudahlah, ini rahasia kecil antara kita saja.

(17 April 2014)


Jumat, 04 September 2015

Lelaki yang Mendengkur di Pangkuan

          Ini sebuah kemewahan bagiku. Wajahnya yang tertidur pulas di pangkuanku. Tanganku tidak tahan tidak membelai rambutnya.
                    Tak lelo lelo lelo ledung
                    Cep menenga aja pijer nangis
          Di tengah pipinya yang lapang, kudaratkan sebuah kecupan. Entah bagaimana, ciuman itu mengundang senyum. Seolah aku berhasil menjadi juara satu lomba lari.
          Dadanya yang penuh membentang menghadap langit. Kubayangkan aku berumah di sana. Dengan jari kutuliskan namaku di dada itu.
                    Tak gadang bisa urip mulyo
                    Dadiyo priyo kang utomo
          Mulutku masih bersenandung sambil pelan-pelan kutempelkan lagi bibirku ke pipinya. Dengan tiba-tiba, bibirnya melumat bibirku. Sejenak aku terpana, sisanya kubalas memagut bibirnya dengan tak kalah rakus.
          “Gimana aku bisa tidur kalau gini caranya, ha?” protesnya.
          Aku nyengir.
          Berikutnya, bibirnya sudah menghabisi jejak-jejak lipstikku dan tangannya sudah bermain di taman lingkar putingku.

(27 Agustus 2015)


Kamis, 03 September 2015

Malam Bulan Gendut

Malam, Bulan Gendut.
          Begini, aku sedang resah. Ya, kau pasti tahu itu. Kalau tidak, kau tentu heran untuk apa aku menulis. Ya, ya, pasti begitu.
          Pernah aku begitu semangat menyambut malam bahkan aku tak sabar menanti malam. Malam begitu menyenangkan. Malam berarti bertemu dengannya. Malam berarti kepala kami akan saling bersandar lalu bercerita omong kosong dengan perasaan senang.
          Sementara itu, sekarang, keadaannya berbalik. Aku makin takut bertemu malam. Malam berarti sepi. Hilang api. Malam menjadi angkuh. Malam tidak mau berteman. Aku lari mencari matahari. Percuma. Karena ini malam. Matahari mana yang begitu bodoh muncul pada malam hari? Bisa habis dia.

(28 Agustus 2015)


Rabu, 02 September 2015

Hilangnya Para Pulpen

          Aku heran sekali. Pulpen di kantorku sering hilang. Seperti hari ini. Pulpen Kak Faras dan Kak Afri hilang.
          Kami cari di kolong meja, cari di meja-meja tetangga, cari di gang-gang sempit antara meja, cari di belakang lemari. Nihil.
          Kemarin pulpen Kak Nur yang raib. Pernah juga pulpen Kak Evi. Aku jadi terheran-heran, ke mana para pulpen itu pergi, ya? Apa ada yang mengadopsi mereka secara ilegal? Apa yang mereka lakukan selama menghilang itu?
          Mendadak aku curiga ada yang menganggap para pulpen itu sebagai ancaman lalu bertekad menculik para pulpen bahkan membinasakan dari muka bumi. Bila tidak ada pulpen, akan bagaimana manusia mencatat hidup? Ya kan?

(28 Agustus 2015)


Selasa, 01 September 2015

Bagaimana Bila Kita

Bagaimana bila kita hidup dengan seseorang yang tidak mencintai kita?

          Aku sedang bersamanya. Mendengarkannya bernyanyi tentang lagu patah hati. Pedih. Pedih sekali. Seolah akulah yang sedang patah hati.
          Kuberi tahu sebuah rahasia, sebetulnya aku berharap ia menyanyikan lagu jatuh cinta ketika bersamaku, bukan patah hati. Aku jadi bertanya-tanya sendiri, apa waktu seperti itu akan datang?
          Apa yang harus kulakukan? Tetap mendampinginya hingga ia jatuh hati betul kepadaku atau membiarkan dia dengan patah hatinya dan aku menjauh?

(21 Mei 2015)