Senin, 28 Mei 2012

kacamata: Perahu Kertas


Yippiiii..
Ini dia salah satu novel sepanjang masa gw. Perahu Kertas karangan Dewi Lestari (Dee). Gw rasa, ya, ini novel paling ringannya Dee, tapi ya.. sekaligus asoy banget!
Perahu Kertas isinya cerita cinta. Taaapiiii.. cerita cintanya itu manusiawi dan dewasa banget. Gimana suka banget sama orang tapi biarin dia ma orang lain tapi tetep nggak bisa biarin orang lain masuk  ke diri kita, dst.


Oke, ini catatan gw:
1.      Si Kugy à gila!
Nggak cuma Kugy, sih... . Tokoh-tokoh dalam novel ini kuat banget karakternya. Benang merah dari mereka semua adalah: ngikutin keinginan hati. Betapa pun harusnya Kugy dateng ke ultah Noni, dia lebih memilih nggak dateng daripada hatinya morat-marit. Padahal, dia tahu banget konsekuensinya: persahabatan putus.

2.     Seorang pemimpi, pendongeng, yang jatuh cinta sama pelukis. Bener-bener melengkapi. Yang satu bisanya cerita tapi nggak bisa gambar, yang lainnya kebalikan, nggak bisa gambar tapi nggak bisa buat cerita. Gw suka banget dongeng-dongengnya Kugy: wortelina, Nyi Kunyit, dsb.

3.     Ini manusiawi dan sehari-hari. Contohnya, kalo gw tanya nih ke lu pada, siapa aja yang harus berjalan memutar mengabaikan impiannya sesaat dan menjalankan hal lain dengan pada akhirnya pengen tetep wujudin keinginannya, gw rasa lu bakal nunjuk jari. Ya, kan?
Ketika lu bercita-cita pengen jadi penulis—yang notabene nggak mikir profit banget, tapi lu harus dihadapkan dengan keadaan finansial yang mepet; ketika lu pengen sekolah A tapi orang tua lu pengennya lu ke sekolah B; ketika lu pengen kerja megang duit sendiri tapi harus di rumah setiap hari, dst.

4.    Novel ini ngingetin tiap orang untuk nggak membuang mimpinya. Kalaupun harus memutar, ya tetap harus mewujudkan cita-cita kita. Betapa pengennya Keenan jadi pelukis, tapi ditentang orang tuanya; betapa pengennya Kugy jadi juru dongeng, tapi harus kerja di advertising bagian co-writer (yang secara de facto berarti: office girl), dst.

5.     Kalo baca novel  ini gw kayak apa, ya? Em, pinjem kata-katanya Ojos: “lupa kalo masih di bumi.”

6.     Tentang Keenan, em.. gw rasa tiap perempuan berpikir tentang dia. Oh, oh, bukan “Keenan”-ya, tapi maksud gw, sosoknya. Sang pangeran di atas kastil. Tiap perempuan barangkali mengharapkan pangerannya akan datang. Ah, najong, dah! Keren.  


Sabtu, 26 Mei 2012

kacamata: Botchan


Novel Botchan karangan Natsume Soseki juga salah satu novel yang gw tunda-tunda baca. Udah baca sebagian terus nggak dibaca terus dibaca ulang terus mandeg terus ulang, dan seterusnya. Semula gw pikir dia bakal kayak Totto-chan juga karena di sinopsis diberitahukan bahwa novel Botchan bercerita tentang seorang guru yang melawan sistem desa. Namun, ternyata beda banget!

 Botchan

            Pengertian “Botchan” kalo gw artiin sendiri dalam bahasa Indonesia mungkin sepadan dengan “Den Bagus”. Tokoh botchan dalam novel juga seorang tuan muda. Dia keturunan bangsawan Jepang yang badung. Dia dicap nakal oleh keluarga dan orang lain. Cuma satu yang bilang dia anak baik, yaitu Kiyo, pengasuhnya. Kiyo selalu berpendapat bahwa Botchan sebenarnya anak yang tidak egois, suka berterus terang, dan jujur.

            Oke, ini catatan gw tentang Botchan:
1.         Baca novel ini seolah-olah ada tulisan besar terpampang di muka gw: sastra klasik. Banget. Ya,  novel ini emang jadul banget. Udah dialihbahasakan ke berbagai bahasa dan di Jepang sendiri katanya cerita ini terkenal. Klasik, antik, menarik. Begitulah.
2.       Botchan sangat manusiawi. Guru yang manusiawi, bukan guru yang selalu sadar “Gw ini guru” atau apa. Kita—oke, gw deh—dibawa seolah-olah gw ini adalah Botchan yang impulsif. Lebih sering emosional. Ya, guru yang emosional tapi berhati lurus. Keliatan kasar tapi benar, tidak berpura-pura atau mengada-ada. Sementara itu, orang-orang di sekitarnya digambarkan sebagai orang-orang yang halus tetapi  menikam.
3.        Murid-murid Botchan baduuuuung. Nyebelih. Ih. (Loh, ini kenapa gw yang emosi gini? ß ngerasa jadi Botchan)

Jumat, 25 Mei 2012

Kacamata: Negeri 5 Menara


Setelah tertunda-tunda, akhirnya gw selesai juga baca Negeri 5 Menara karangan A Fuadi. Ini catatan gw tentang novel tersebut:
1.      Mengingatkan gw dengan keinginan mondok di Gontor. Yap, dulu waktu kelas 4 SD, gw punya keinginan nyantren di Gontor setelah lulus SD. Sayangnya, rencana itu bubar jalan pas gw lulus. Alasan persisnya gw lupa, tapi yang jelas, ya.. batal mondok deeeh.. (eh, Gontor ada pesantren putrinya, nggak, sih?).

2.     Menerbitkan (kembali) niat bermimpi yang begitu besar. Dasarnya gw tukang mimpi, eh, baca novel yang menawarkan kemungkinan mewujudkan impian. Dia aja—tokoh-tokoh dalam novel itu—bisa wujudin mimpinya dan mendatangi “menara” yang sesuai dengan keinginannya, masa gw, nggak? Makin jadi aja pengen ke Leiden. Etapi, setelah baca novel ini jadi pengen tau Cordoba juga. Hehehe..

3.     Sebagai sebuah novel, cerita Negeri 5 Menara beralur datar. Flat. Dia nggak berani keluar jauh-jauh (atau mungkin nggak keluar sama sekali?) dari cerita nyatanya. Keliatannya gitu menurut gw. Klimaksnya nggak diramu secara tajam. Ini kayak lu makan nasi pake tempe tapi nggak pake sambal. Mungkin ini faktor yang bikin gw nunda-nunda baca, apalagi sebelumnya gw baca novel yang kuat banget ceritanya.

4.     Si penulis, A Fuadi, keliatan bangga banget dengan pesantrennya. Gw bayangin, dia nulis dengan emosi yang meletup-letup—dalam pengertian positif. Jadi, siapa pun yang baca novel ini, gw yakin, bisa ngerasain emosinya. Ya, wajar, sih, pesantrennya keren banget!

5.     Dengan asas sotoy marotoy slow enjoy, gw pikir, novel ini nggak diedit dengan optimal (atau emang sengaja?). Barangkali bahasa sastra emang beda dengan bahasa konkret dunia sehari-hari kita, tapi tetep aja pengaruh juga. Contoh, penggunaan konjungsi setara “dan” atau “sedangkan” yang digunakan di awal kalimat (bahkan ada yang di awal paragraf). Terus, ada beberapa kata Indonesia yang tidak baku (selain bahasa daerah, lho, ya!). Gw pikir, sih, seharusnya kata-kata itu diubah jadi kata baku dulu, kali, yak!
Eh, tapi, tapi, kayaknya novel-novel dari penerbit itu emang nggak banyak ngubah bahasa asli dari pengarang, deh. Mungkin karena kalo diubah jadi mengubah maknanya atau apa.

6.     Secara keseluruhan, gw setuju ma komen orang-orang: inspiratif banget! Bikin gw inget Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karangan Tetsuko Kuroyanagi yang ngomongin pendidikan juga walaupun di sana-sini masih perlu penjembatan.

 Oke, selamat, deh, untuk A Fuadi karena telah merasakan pendidikan yang bagus, manisnya mewujudkan mimpi, hingga melahirkan buku ini! Selalu semangat! Kamu juga, kawan! Wujudkan mimpimu! Man jadda wa jada! ^^   

Jumat, 11 Mei 2012

Di tempat kerja lu malam ini

Lu tau nggak hal terjadi di tempat kerja lu malam ini, saat lu udah pulang kerja, bahkan beranjak pulas?

Gw bayangin, ya, pemirsa, malam ini tempat kerja gw mirip-mirip film Shaun the Sheep. Hewan-hewannya pada clubbing.

Tikus jadi DJ. Ia asyik muter-muterin piringan hitam sambil bersuara "cit, cit.. Cicit..".

Cicak bungee jumping dari atas tembok terus pas sampe di lantai, dia kayang.

Nyamuk-nyamuk keroyokan nyeret kecoa ke lantai dansa. Kecoa yang punya keseimbangan minus-minimalis pun terjungkal. Dia sekalian aja breakdance. Dia nggak bisa bangun sampe paginya dia disapu.

Tanaman di meja meliuk-liuk berlagak seksi dan memesan minum warna-warni seharga 2 juta sambil bilang, "Bayarnya akhir bulan, Yu.."

Terus,
semut-semut jejer rapi maen "ular naga panjangnya bukan kepalang"..
Eh, tapi kan lagi clubbing? Kok maen ular naga?
Ah, biar, deh, namanya juga clubbing ala binatang.
Ya, suka-suka, dong.
Hak asasi mereka.
Kok jadi lu yang sewot.
*Eh?