Selasa, 31 Desember 2013

Waktu yang Tepat

          Pernah aku terganggu dengan frasa “waktu yang tepat”. Apa, sih, “waktu yang tepat” itu?
          Apa “waktu yang tepat” itu benar ada?
          Lantas, apa yang membuat waktu itu menjadi tepat? Waktu yang bagaimana yang dibilang salah (ah, oposisi biner!)? Apa bisa kita menyalahkan waktu? Atau, “waktu yang tidak tepat” hanya muncul ketika kita perlu kambing hitam?
          Ini lagi. Kambing.
          Oke. Fokus.
          Bagaimana kita tahu kala itu menjadi “waktu yang tepat”?
          Apa “waktu yang tepat” antara seseorang dengan orang lain bisa sama? Lalu, bila tidak sama, apa berarti tidak ada yang bisa dilakukan?
          Entahlah.
          Aku tidak percaya “waktu yang tepat”. Bukankah semua sudah ada skenarionya? Ini semacam yang terbaik. Waktu yang “tidak tepat” sangat mungkin menjadi “waktu yang tepat”.

(27 Desember 2013)


Jumat, 27 Desember 2013

Hadir Sepenuhnya

          Pernah kamu merasa seperti melayang? Jasadmu di kantor, tetapi dirimu sendiri entah di mana.
          Aku pernah.
          Bagiku, itu tidak menyenangkan. Aku lantas teringat dengan film Click. Dia tidak menikmati hidupnya dengan optimal. Aku nggak mau.
          Satu kali muncul retweet entah dari siapa di twitter. Tulisannya: hadir sepenuhnya. Itu menggangguku.
          Ah, ya, aku memang gampang terganggu.
          Menurutku penting sekali melakukan itu: hadir sepenuhnya (dalam setiap momen). Bukankah waktu tak akan kembali?
          Ini masih jadi PR buatku. Aku masih belajar hadir sepenuhnya ketika macet di jalan. Aku masih belajar hadir sepenuhnya saat ibuku ngomel-ngomel. Aku masih belajar hadir sepenuhnya tiap momen. Ya, aku mesti hadir sepenuhnya dalam hidupku sendiri.

(27 Desember 2013)


Sabtu, 21 Desember 2013

Bukan Perempuan Cantik dan Cerdas

Yang bertanda tangan di bawah ini:
          nama           : Ika Fitriana
          usia              : 12++
          pekerjaan      : penjaga hatimu purnawaktu

          Dengan ini menyatakan bahwa saya bukan perempuan cantik dan cerdas. Melalui tulisan ini pula saya menggugat monopoli dicintai yang sejauh ini dilekatkan kepada perempuan cantik dan cerdas, bahwa tiap perempuan—ehm, oke, saya—berhak dicintai bukan dengan alasan cantik dan cerdas.
          Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Terima kasih dan terima cintamu.

Jakarta, 18 September 2013



Ika Fitriana 

Minggu, 15 Desember 2013

Dikejar Orang Gila

          Tahu-tahu seorang gadis berlari-lari dengan wajah pias. Di belakangnya, ada orang gila setangah telanjang mengejarnya dengan buas. Tak ada waktu berhenti untuk atur napas.
          Si Gadis berpikir seperti Timun Mas. Ia bayangkan dirinya dikejar Buto Ijo yang ganas. Tak peduli hari dingin atau panas.
          HAP!
          Si Gadis naik ke atap. Ia tengok ke belakang mencuri tatap. Ternyata Si Orang Gila masih mengejar dengan mantap. Si Gadis mulai kehilangan harap.

(5 Desember 2013)


Kamis, 12 Desember 2013

Ardi dan Kucing

          Seekor kucing hitam mondar-mandir mengikuti langkah Ardi. Ardi ke kanan, Si Kucing ikut ke kanan. Ardi ke kiri, Si Kucing ikut ke kiri.
          Mula-mula Ardi tidak peduli. Lama-lama ia gusar juga. Ia usir kucing itu. “Ssh… sshh… hush,” katanya.
          Si Kucing tak kunjung pergi. Malah makin semangat mengikuti langkah Ardi. Barangkali bagi Si Kucing, Ardi ini sedang mengajak bercanda.
          “Hush! Pergi sana! Sana!” usir Ardi.
          Si Kucing tetap keras kepala mengikuti langkah Ardi. Ardi ke kanan, Si Kucing ikut ke kanan. Ardi ke kiri, Si Kucing ikut ke kiri.

(4 Desember 2013)

Senin, 09 Desember 2013

Jongkok

          : Marion Bloem

          Marion seorang perempuan keturunan Indonesia yang tinggal di Belanda. Ia tidak bisa berjongkok sebagaimana ayah dan ibunya berjongkok. Teman-teman di negara yang ia tempati sejak kecil itu pun tak bisa berjongkok. Mereka heran dengan ayah dan ibu Marion yang bisa berjongkok. Ayah dan ibu Marion orang hebat karena mereka bisa berjongkok.
          Ketika Marion akhirnya menginjakkan kaki ke Indonesia, ia merasa bahwa ini adalah surga. Di mana-mana ia melihat orang berjongkok. Ia lantas menyandang kamera lalu memotret sana-sini.
          Di sungai orang berjongkok, sambil mengulek sambal orang berjongkok, sabung ayam orang berjongkok, dan seterusnya. Di sana orang jongkok, di sini orang jongkok. Marion tak mampu membendung air mata haru karena ia bisa melihat malaikat-malaikat ahli jongkok.
          Harapannya tak kunjung hilang hingga sekarang: ia ingin bisa jongkok seperti ayah ibunya.


(3 Desember 2013)

Jumat, 06 Desember 2013

Ika dan Bola-bola

          “Ika, kita mesti bicara,” kata Ika kepada dirinya sendiri, “tentang banyak hal.”
          Ika membuka mulut seluas-luasnya dengan maksud akan mulai bicara. Nyatanya, yang keluar dari mulutnya bukan kata-kata, melainkan bola-bola dengan macam bentuk dan warna. Bola-bola itu memenuhi kamarnya.
          Kalau kauperhatikan benar-benar, bola-bola itu berlabel: “hadir sepenuhnya”, “tingkah laku semesta”, “sorge”, “tendensius”, “ngungun”, dan sebagainya. Ika memegang satu bola. “Kita mulai dari ini saja,” katanya sambil menatap bola bertuliskan “kamu mesti menulis”.

(4 Desember 2013)


Selasa, 03 Desember 2013

Apa Pernikahan Membuatmu Bahagia?

Bekasi, 5 November 2013

Teruntuk Zus seantero semesta

          Zus,
          pernahkah Zus berada dalam titik ingin sekali menghentikan lelaki yang lewat depan rumah lalu memintanya menikahi denganmu?
          Aku pernah.
          Saat ini.
          Aku ingin sekali menyetop orang lewat lalu menyuruhnya menikahiku untuk membungkam semua mulut comel yang merasa tahu tentang aku.
          Aku tahu, bahagiaku taruhannya.
          Aku lantas berpikir, apa kebahagiaan masih menjadi sesuatu yang penting?
          Mengapa orang-orang, sering juga dari kaum kita, berpikir bahwa “kalau belum menikah kita belum bahagia”? Mengapa orang yang belum menikah dianggap orang yang paling patut dikasihani? Malah ada yang menyebut “belum laku”. Memang apa yang kaujual, hei?
          Apa orang yang sudah menikah sudah pasti bahagia?
          Apa menikah cepat membuat orang berbahagia?
          Sejak kapan pernikahan menjadi kompetisi yang berhadiah kebahagiaan?

          Zus,
          barangkali kebahagiaan (dan kebebasan?) menjadi konsep imajiner yang terus-menerus dikuliti hingga ditemukan wujud konkretnya oleh banyak manusia. Barangkali salah satu pelakunya aku.
          Entah, ya, Zus, sejauh ini aku merasa bahagia, tetapi tidak dalam penglihatan orang-orang di luar diriku. Berkali-kali pertanyaan sekitar pernikahan diajukan kepadaku (mungkin juga kepadamu?).
          Aku sekarang mungkin dilabeli jomlo (dalam pengertian yang paling leksikal—dan paling sentimen mungkin). Orang-orang lantas jatuh iba seakan-akan aku ini entah apa (tidak terbayang olehku apa yang bisa kujatuhi iba tanpa dia mesti tersinggung).
          Kautahu, Zus,
          belum lama ini ada seorang kawan yang bisa dikatakan baru kenal menanyakan (lagi-lagi) persoalan pernikahan. Mula-mula ia terkejut mengetahui usiaku kemudian ia terkejut karena aku belum menikah lantas ia dengan gesit tanpa diminta mulai memberikan nasihat. Aku lumayan hafal pola ini karena orang-orang sering melakukan ini kepadaku.
          Ia pula memvonis bahwa aku terlalu sibuk bekerja, bahwa aku tidak memikirkan masa depan, bahwa bila mencapai kepala tiga perempuan tak bagus untuk hamil, bahwa nanti anak-anak masih kecil aku sudah tidak bekerja, dan blablabla lainnya. Kalau dalam keadaan sehat, pikiran tenang, mood oke, mungkin aku akan menambahkan hal lainnya. Lah, ini?
          Aku sedang pusing memikirkan pekerjaanku hari itu, ditambah vonis, dan nasihat-nasihat—yang “Hei, itu basi! Aku sudah tahu!”—membuatku mengeluarkan senyum “sebaiknya kau diam atau kulakban mulutmu!”.

          Zus,
          pada masa-masa seperti ini akan ada yang menyodorkan alternatif perjodohan kepadamu. Terus terang, demi upayaku mendapatkan ketentraman (dan tentu upaya mencapai kebahagiaan) aku tidak menolak cara ini.
          Tidak.
          Aku bukan mau bilang aku sekarang sedang dijodohkan. Aku cuma mau cerita, aku pernah dijodohkan. Aku tidak tahu efeknya kalau ini dibaca para broer di luar sana. Toh, kini aku tak begitu ambil peduli.
          Waktu usiaku sekira dua satu, aku pernah ditawarkan konsep ini. Seorang lelaki usia dua enam menyukaiku tanpa kutahu lalu ia meminta orang tuanya untuk bilang ke orang tuaku. Aku meradang, aku tidak kenal dia!
          Usiaku dua satu dan aku jatuh cinta dengan seorang lelaki yang tak mau mengakui perasaannya. Aku mesti bilang apa kepada ibu dan bapakku?
          Aku kesal. Kepada orang tuaku. Kepada si lelaki dua enam. Kepada orang yang kujatuhi hati.
          Ibuku menikah usia 22 sedangkan bapakku 27. Jadi kau tentu mengerti, usia dua satu aku sudah bisa menikah.
          Lelaki usia dua enam bukan berasal dari lingkunganku sehari-hari. Aku tidak tahu siapa dia, bagaimana dia, blablabla. Dalam kacamataku kala itu, bila dia lelaki, dia mesti mendatangiku sendiri sebagai lelaki, bukan lewat orang tuanya. Tentu aku akan jauh lebih menghormatinya.
          Pria yang kujatuhi hati. Kala ia tahu aku dijodohkan, ia malah mendorongku. “Aku nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu,” katanya.
         
          Zus,
          mendengar itu ada yang sakit di dada sini. Di rumah aku bertengkar hebat dengan orang tuaku. Aku akhirnya menyetujui untuk “diperkenalkan”, bukan “dijodohkan”. Ini semata agar ia yang kujatuhi hati punya kesempatan yang sama. Ah, barangkali egonya terluka aku melakukan ini: menjadikan ia sebagai bahan pilihan, tetapi aku ingin ia yang maju. Namun, kautahu jawabannya… . Ia mundur.
          Aku hanya bisa menangis di balik punggungnya.

          Zus,
          kebahagiaan itu apa?

          Zus,
          bisakah kita merdeka dan menentukan kebahagiaan kita sendiri?

          Zus,
          apa pernikahan membuatmu bahagia?

(ini tanggapan dari Zus Aprie: "Surat Terbuka untuk Zus Ika")

Senin, 18 November 2013

Pesan Ibu

          Aku pernah membaca Tempo edisi Wiji Thukul, tepatnya puisi-puisinya. Kubacakan puisi-puisi itu di depan orang tuaku, terutama yang berbahasa Jawa. Aku meminta bantuan mereka untuk menerjemahkan pesan Wiji. Selain membacakan karya, aku memperkenalkan Wiji Thukul, aku ceritakan kisahnya yang aku tahu.
          Ketika akhirnya aku selesai melakukan pembacaan, dengan mata terpancang ke televisi, ibuku berkata, “Kamu jangan terlalu berani, Mbak... .”
         
(28 Oktober 2013)



p.s.: Ketika menonton pementasan Ibu Teater Koma pada adegan Si Juru Rekrut membujuk Elip (Rangga Riantiarno) dan Fejos (M Bagja) untuk jadi tentara, aku teringat tulisan ini. Ibu Brani (Sari Madjid) berusaha mempertahankan anak-anaknya agar selalu di dekatnya karena ia tidak mau kehilangan mereka. (17 November 2013)

Sabtu, 16 November 2013

#5BukuDalamHidupku | Buku Tulis, Buku Mula-mula

          Buku kelima yang kumasukkan dalam daftar #5BukudalamHidupku ya buku tulis. Mengapa buku tulis?
          Kupikir sudah jelas.
          Ia adalah buku mula-mula.
          Em, setidaknya bagiku.
          Sebelum tulisan ini dipublikasikan ke matamu, ia diketikkan dulu. Sebelum tulisan ini diketik, ia ditulis dulu di buku tulis, buku coret-coret, terserah apa kau menyebutnya.
          Ya memang beragam fungsi buku tulis.
          Menuliskan pelajaran bagi anak sekolah.
          Mencatat daftar hutang bagi pedagang.
          Mengabadikan kenangan-kenangan bagi para pecinta.
          Dan seterusnya.
          
Ini buku-buku yang kufungsikan sebagai diari.
Kalau kurang jelas lihatnya, putar aja komputermu. :) 

          Sudah. Itu saja.


(15 November 2013)

Jumat, 15 November 2013

#5BukuDalamHidupku | Novel Mika, Merangkum Masa SMA

          Pernah bikin “novel” yang dibaca teman-teman dari tangan ke tangan waktu sekolah?
          Aku pernah.
          Novel itu biasa saja. Ditulis tangan di buku tulis. Mulanya cuma kuminta beberapa orang baca lalu teman sebangkunya ikut baca kemudian teman belakangnya ikut baca, dan seterusnya. Aku tahu itu dari kolom komentar di bagian belakang.
          Gitu aja aku senang: mengetahui banyak orang yang baca tulisanku.
***

Syuuuuut… .
          “Ka, tunggu! Ada yang mau Sie omongin!” Siesie berteriak memanggil Mika yang sudah meluncur kabur bak mengejar angin.
          “Kapan-kapan…,” jawaban samar Mika.
          “Iih… tuch anak. Sibuk bangetan, sich! Ekskulan dia di sekolahan ini drum band doangan. Hari Senin kira-kira jam-an 2, pulang sekolah bimbel di Prigam, Selasa lesan piano, Rabu lesan di LIA, Kamis drum band, Jumat bimbel di Prigam, Sabtu lesan joged, Minggu latihan silat. Wuidiiih… full!” Dzilan menghitung kegiatan Mika bagaikan akuntan yang sutris... tris… .
***

          SMA banget, ya? Iya.
          Ceritanya tentang Mika dan gengnya yang namanya “The Cute Girls”. Sebenarnya huek banget aku dengan nama gengnya, tapi habis waktu itu nggak nemu nama lain, sih!
          Dari dulu aku tidak bakat menulis panjang. Jadi meskipun kubilang novel, cerita tiap bab berbeda, tokohnya aja yang sama. Di bab pertama yang kukutip di atas bercerita tentang Mika yang sibuk banget sampai nggak bisa kumpul sama teman-temannya—setidaknya gitu yang ada di pikiran teman-temannya. Mereka lantas kesal. Padahal Mika tetap ingat teman-temannya meski sibuk. Ini dibuktikan dengan kedatangannya yang membawa kejutan pas hari jadi “The Cute Girls”.

Begini ini fragmen Mika
          Barangkali seharusnya postingan ini berisi tentang Lupus karangan Hilman atau Harry Potter karangan JK Rowling karena keduanya memengaruhi novel Mika—ah, ya, dan sinetron remaja Luv. Pengaruh Hilman bisa jadi tampak di bagian tidak terlalu ambil pusing masalah bahasa. Selain itu, beberapa tokoh terinspirasi dari tokoh-tokoh Lupus dan ada cerita yang Lupus banget!
***

Teett… bel masuk berbunyi.
          “Tepat pada waktunya, Mik. Hosh… hosh,” kata Ferina ngos-ngosan.
          “He-eh,” jawab Mika singkat.
          “Ayo, cepat… hosh… hosh. Mr Z lagi jalan tuch!” Ferina memberi tahu Mika. Mr Z adalah guru killest di sekolah ini.
          “Hei, kalian! Lama zekali kalian berzalan. Kalau zaya yang tiba lebih dulu, akan zaya hukum kalian!” hardik Mr Z. Spontan Mika dan Ferina ngibrit.
***

          Yang pernah baca Lupus pasti tahu ada gurunya Lupus yang pakai “z” untuk mengganti huruf “s”—atau “j”. Nah, aku ternyata mengundang tokoh itu juga dalam karyaku. Selain Mr Z, ada Pensil dan Donat yang karakternya mirip Boim dan Gusur di Lupus.
          Pengaruh dari Harry Potter dan sinetron Luv misalnya terlihat pada nama gebetannya—yang akhirnya jadi pacaranya—Mika: Ferry Hermionesyah, anak kelas 2-4 (ceritanya kelas 2 SMA). Ferry diambil dari tokoh Luv sedangkan Hermione dari tokoh Harpot. Cumaaa… dulu itu aku baca Hermione sebagai “hermiwan”, bukan “hermayoni”. Jadi, Ferry Hermionesyah dibaca Ferry Hermiwansyah gitu.
***

Duut… durudut… dut-dut… .
          “Suara apaan, tuh?” tanya Ferina yang berjalan bareng dengan Mika dan Lala Hulahup.
          “Tauk,” jawab Lala Hulahup cuek sambil terus ngemil chiki.
          “Idiiih… ngemil aja, sich? Entar gemuk, loh!” komentar Ferina.
          “Heh! Gue emang udah gemuk! Tapi belakangan ini berat gue turun, nich! Udah langsingan! Dari 100 kg jadi 99 kg. He… he…,” kata Lala Hulahup. Mika dan Ferina hanya cekikikan.
          “Eh, turun, dong, Nat,” kata Pensil dari dalam bemo. O… yang durudut itu bemo, toh?!
          “Ana sebenarnya mau turun. Tafi susah, Sil. Sefertinya bemo ini menyusut. Tadi saja ana bisa masuk, tafi sekarang keluar susyah,” kata Donat.
***

          Aaaaaaaaaaaakkkk… jadi rindu zaman SMA! Zaman tiap hari bukuku dipinjam dan dikembalikan oleh orang yang berbeda.
          Mika berpengaruh banyak dalam kehidupan SMA-ku. Teman sebangkuku yang bernama Siyah jadi dipanggil Siesie (baca: Sisi) sampai sekarang! Bahkan anak-anak lebih mengenal Sie daripada Siyah. Hehehe… .
          Gara-gara Mika juga aku ketahuan suka dengan siapa. Ini karena di Mika ada bagian yang menceritakan tentang guru yang menyukai Ferry. Mika menjulukinya “suster ngesot” karena jalannya yang lambat.
          Dalam kehidupan SMA-ku memang ada guru yang memberi perhatian khusus ke seorang siswa. Semua anak tahu itu. Alhasil, karena aku mengangkat itu di Mika, semua orang langsung tahu aku cerita tentang siapa dan betapa cemburunya aku dengan guru itu. Hahahaha, dasar anak SMA!
          Huaaaaahhhh… menyenangkan!

"Novel" Mika tampak depan
(14 November 2013)

Kamis, 14 November 2013

#5BukuDalamHidupku | Buku Zakat - Wakaf dan Sebuah Ingatan

          Hahahaha, tolong jangan husnudzon kepadaku. Aku nggak seagamis itu. Aku cuma mau berkisah tentang buku zakat dan wakaf sebagai bagian dari relasi romansaku dengan seorang pria di masa lalu. Uhuk.
          Ceritanya begini.
          Dulu aku pernah memerlukan info tentang zakat dan wakaf. Sayangnya, aku lupa untuk keperluan apa, mungkin mata kuliah agama di semester awal kuliah. Aku kerap bertanya dan berdiskusi banyak hal dengan dia—kita sebut saja dia Mawar (hahaha!)—tentang zakat dan wakaf. Aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala yang terkait dengan zakat dan wakaf.
          Mawar (hahaha!) dengan sabar meladeni pertanyaanku. Dia menjawab sebisanya. Kami dua orang yang tak tahu apa-apa yang sedang belajar.
          Satu hari ia datang ke rumahku. Seperti yang sudah-sudah, ia datang mengendarai sepedanya (waktu itu dia belum punya motor). Jarak dari rumahnya ke rumahku kurang lebih satu jam dengan motor. Nah, kalau sepeda? Yah, kaubayangkan sendiri sajalah.
          Handuk kecil merah beladus-nya tidak alpa dibawa. Ia menghapus keringat di wajah dan sebagian tubuhnya. Wajahnya lelah, tetapi tampak puas. Aku penasaran. Kurasa tak perlu waktu lama untuk mengetahuinya.
          “Ini,” katanya sambil memberikan dua buah buku. Ya, buku zakat dan wakaf itu. Aku melongo. Aku nggak memintanya membawakan buku atau apa. Ya, memang aku perlu, tapi aku tidak menyuruhnya mendatangkan buku itu.
          Mawar (bahahahak, Mawar!) memang suka begitu. Ia bisa tiba-tiba datang membawakan tas ransel besar saat tahu aku mau ke Baduy tapi nggak punya tas yang cukup untuk menampung baju tiga hari. Di rumahku cuma lima menit! Ngasih tas terus pulang—padahal dia sendiri harusnya menyiapkan diri untuk ke Kalimantan waktu itu. Hari lain dia pagi-pagi ke rumah cuma untuk ambil ponselnya yang ketinggalan. Habis itu pulang.
          Begitu juga waktu dia membawakan kedua buku itu. Dia datang begitu saja tanpa aba-aba dengan dua buku itu mengisi tasnya. Tentu aku begitu senang.
         
          Yuhuuu~ Mas Irwan Bajang~ Ini bener harus lima ratus kata? Duh, aku takut kebanyakan ngomong tentang Mawar (hahahaha!) iniiih… . Kebanyakan mengingat nanti jadi gawat. Haloooo, Mas Irwan… . *lambai kamera*
         
          Huft.
          Mari lanjutkan saja. Buku itu—sebagaimana buku apa pun—kerenlah, ya. Memberi informasi, dan seterusnya.
         
          Udah lima ratus kata? Belum? Oke, ngoceh lagi.
         
          Belakangan aku tahu dari kawan-kawan, sebelum kedua buku itu sampai di tanganku, Mawar (ya, ampun! Hahaha!) berkeliling Jatinegara demi mencari buku itu! Ah, Mawar (hahaha!) keren! Aku belum tentu seniat itu.
          Kalau kamu jadi aku, tentu kamu merasa tersanjung—sekaligus tidak enak. Ya, kan?
          Iyalah. Dia bukan dari keluarga ada. Buku yang ia belikan itu pun bisa jadi bekas pakai. Namun, kau tentu tahu, yang sudah dia lakukan itu tidak kerdil nilainya! Aku merasa keterlaluan kalau sampai membuatnya ngebela-belain.
          Kautahu, untuk menulis ini saja aku sulit. Ingatan membuatku babak belur. Aku selalu merasa aku tidak melakukan apa-apa untuknya padahal ia melakukan banyak hal untukku. Keterlaluan.
          Akhir cerita, kedua buku itu mesti kembali kepadanya. Lupa aku sebabnya. Sepertinya kami bertengkar terus aku kembalikan bukunya, deh… .
          Ah, Mawar (hehehe) semoga segala niat baikmu diberkahi Allah. Terima kasih.

          Hoy, Mas Irwan. Halo, haloo~ Aku sudah selesai ini. Sudah, cukup, tidak ada yang perlu diceritakan lagi. Sudah 500 kata. Cukup, cukup. Sekian. Terima kasih.

Berhubung aku tidak punya bukunya, aku lupa fisik buku tersebut. Yang jelas, keduanya berwarna hijau. Yang jadi gambar di sini merupakan gambar yang kupinjam dari google.

(10 November 2013)


Rabu, 13 November 2013

#5BukuDalamHidupku | Fisika (Yohanes Surya): Penyelamat Nilai

          Nilai fisikaku waktu sekolah bagus, lho! Hehehe… .
          Jangan salah paham. Aku tak pandai fisika. Ngerti juga nggak. Nah, justru karena itu, aku mencari cara menyelamatkan nilai fisikaku. Ya, dong?
          Caranya?
          Aku cepat hafal sekaligus cepat lupa. Jadi aku merasa perlu menitip ingatan. Aku menuliskan rumus-rumus. Waktu kelas 1 SMA, aku punya dua buku rumus: matematika dan fisika. Yang lebih banyak terisi yang rumus fisika. Karena buku itu kecil, aku bisa bawa ke mana-mana dan sering-sering melihat.
          Untuk sontekan?
          O, o, emak naik kopaja, enak aja!
          Aku nggak kenal konsep menyontek dari buku—paling nanya sama teman. (--,)>
          Rumus-rumus dalam buku kubuat berwarna-warni biar aku nggak bosan baca. Sering melihat, sering ingat, begitu pikirku. Selain ditulis dalam buku, aku juga tuliskan di kertas dan ditempel di tempat-tempat yang pasti aku kunjungi. Jadi jangan heran, ketika musim ujian, ada banyak rumus tertempel di kaca, pintu kamar, lemari, sampai pintu kamar mandi! Itu lumayan membantu.

Ini bukan buku rumus fisika-ku, melainkan buku alamat teman satu kelas. Buku rumus fisikanya aku simpan, tapi masalahnya aku lupa simpan di mana! Penampakannya persis, sih, sama buku ini. Hehehe. 

          Nah, waktu kelas 3 SMA, aku rajin ke perpus.
          Ini lagi. Jangan salah sangka. Aku bukan anak tongkrongan perpus. Bukan anak kantin juga, sih! Aku biasanya ngeluyur  ke kelas lain ketika jam istirahat. Kalau nggak, ya di kelas saja, tetapi kunjungan ke bangku kawan yang lain. Perbarui pengetahuan alias cari gosip! Hahahaha… . Yang jelas, jangan harap kautemukan aku di bangku sendiri saat istirahat, kecuali waktu-waktu tertentu: belum selesai ngerjain PR atau sakit, misalnya.
          Oke, kembali ke perpus.
          Perpus sekolahku bersebelahan dengan 3 IPA, kelasku. Jadi ya kami memang sering—minimal—duduk-duduk di teras perpus. Kalau ditanya buku-buku apa saja yang ada di sana, aku lupa! Hahaha… .
          Ya, memang, sering keluar masuk perpus bikin aku pegang-pegang dan lihat-lihat buku. Kebahagiaan tertinggi itu ketika menjumpai bukunya Pak Yohanes Surya. Tahu, kan, dia itu gape fisikanya. Punya lembaga apa gitu juga.
          Aku senang betul menemukan buku ini. Mengapa, oh, mengapa?
          Buku ini yang kelak menyelamatkan nilai fisikaku! Soal-soal yang diberikan guruku SAMA PERSIS dengan soal-soal yang dibahas Pak Yohanes Surya dalam bukunya! Wah, beruntungnya! Hahaha… .
          Begini, begini, biar kujelaskan dengan lebih detail.
          Kita di sekolah pasti punya buku yang dijadikan acuan belajar, kan ya? Iya.
          Di buku panduan tiap mata pelajaran pasti ada soalnya, dong, ya? Iya. Banyak kan, ya? Iya.
          Namanya fisika biasanya soal-soalnya susah, kan, ya? Em, oke. Ralat. Soalnya gampang, tapi cari jawaban untuk soal-soalnya susah, kan, ya? Iya.
          Temanmu yang kelewat pintar biasanya pelit ngasih jawaban, kan, ya? Iya.
          Tapi kamu mesti menjawab soal itu, kan, ya? Iya.
          Nggak mungkin minta jawaban langsung dari guru, dong, ya? Iya.
          Nah, tahukah kamu, soal fisika yang segambreng banyaknya dan seublek-ublek susahnya itu dibahas dengan cara yang menarik di bukunya Pak Yohanes Surya. Sementara soal-soal yang di buku panduan belajar dijadikan latihan, di buku fisika Pak Yohannes soal-soal tersebut diperlakukan sebagai contoh dan dibahas lengkap!
          Kurang cihuy apa coba?
          Ya, sudah, kusalin saja semua jawaban yang ada di dalam buku fisika Pak Yohanes ke bukuku. Yipppieee! Aku pandai dalam pelajaran fisika!
          Teman-temanku?
          Heran, sih, aku mendadak jago, tetapi ya nggak ambil pusing. Yang penting mereka bisa menyalin dari bukuku—kalau mau.

Aku lupa judul persisnya buku yang aku maksud. Aku minta bantuan google. Emm, yang aku ingat, font-nya seperti buku ini. Bisa jadi buku ini, sih... . Waktu itu kan masih sistem cawu. Ini buku cawu 3.           

(10 November 2013)


Selasa, 12 November 2013

#5BukuDalamHidupku Skripsi: Si Anak Pertama

SKRIPSI!!!
          Iya, saya tahu tanda seru satu saja sudah cukup secara bahasa, tetapi saya sedang ingin berteriak sekencang-kencangnya menyebut buku itu. Ini bukan sekadar tentang skripsi sebagai syarat lulus dan bergelar sarjana, melainkan lebih mengenai skripsi sebagai anak pertama saya. Ya, saya mencintainya!
          Barangkali pembaca setia blog ini akan bosan membaca: ah, skripsi lagi, skripsi lagi. Hahaha…, berapa kali pun saya bercerita tentangnya, saya tak jemu. Kalau kamu bertemu saya dan meminta saya menceritakan tentang skripsi saya, barangkali saya akan berkisah dengan sukacita (ya tapi jangan beneran ditanya juga, ini kan cuma basa-basi..).
          Ah, ya, sabar sebentar, duhai pembaca yang budiman (dan pakdiman). Tahanlah keinginanmu untuk menekan tombol silang di pojok kanan atas monitormu itu. Em, tapi, saya tidak mau memaksa juga, sih. Tekan saja jika kaumau dan jangan lanjut membaca (meski saya akan lanjut menulis).
          Skripsi barangkali bagi sebagian orang berarti “cuma”, “sekadar”, “huft”, atau apa. Namun, bagi saya, sekali lagi, skripsi itu anak saya yang saya lahirkan dengan penuh… hahaha, lebay, sih, … penuh rasa.
          Oh, ya, kalau kamu belum tahu judul skripsi saya, ini saya beri tahu. Judulnya: “Representasi Kiai dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karangan A Mustofa Bisri: Suatu Tinjauan Semiotika” (2011). Mulanya saya ingin menggunakan pisau dekonstruksi, tapi nggak jadi. Waktunya nggak cukup!

Begini ini penampakan depan skripsiku

          Iya, waktu.
          Saya mengandung skripsi dalam tubuh saya dari akhir tahun 2006 – akhir tahun 2011. Dia tua dalam kandungan! Mengapa demikian?
          Klasik.
          Barangkali kamu juga merasakannya. Barangkali juga pengalaman saya nggak lebih dari seujung kuku pengalamanmu. Saya kerja.
          “Keasyikan kerja” atau “sudah kenal duit jadi malas selesaikan skripsi” bukan komentar yang tepat untuk saya. Saya lumayan perencana dalam hal semacam ini. Saya menargetkan diri lulus empat tahun sejak saya masuk, tahun 2003. Setelah itu saya baru berencana kerja karena saya perempuan dengan satu fokus—nggak pandai membagi fokus sebagaimana kebanyakan perempuan lain.
          Saya lakukan berbagai cara untuk mewujudkan niat lulus kuliah empat tahun. Ambil SKS lebih banyak, ambil semester pendek dengan tujuan kuliah percepatan (bukan perbaikan), dan seterusnya hingga semua mata kuliah saya tuntaskan. Tinggal skripsi.
          Aha. “Tinggal”.
          Kerja sebetulnya bukan keinginan saya. Saya ingin menyelesaikan kuliah dulu. Namun, saya mesti bekerja. Biasa, masalah keluarga. Saya, si anak manja yang nggak biasa kerja, mendadak menjadi tulang punggung keluarga. Pernah kamu bayangkan gaji pertama sebesar Rp125.000,00 untuk menghidupi empat orang selama sebulan?
          Mahakuasa Allah.
          Ketika itu saya membuat opsi untuk diri saya:
1. Cuti kuliah
2. Melanjutkan kuliah dengan entah biaya dari mana (karena honor sebagai pengajar bimbel jelas tak cukup)
3. Berhenti kuliah
          Opsi ketiga itu paling pahit. Jika opsi itu saya ambil, saya mematahkan banyak hati: keluarga saya, teman-teman saya, terlebih diri saya sendiri. Saya tidak mau.
          Ya, sekarang saya bisa keras sekali bilang “Saya tidak mau”, tapi dulu itu pilihan yang berpeluang paling besar dipilih. Namun, akhirnya saya memilih cuti untuk mengumpulkan biaya kuliah. Pilihan ini diambil atas dukungan orang-orang terdekat saya. Mereka berhasil membuat saya percaya bahwa rezeki saya belum selesai.
          Kamu tahu, kamu akan gila menjadi teman-teman saya. Mereka berusaha memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Saya pernah meyakini mereka hampir putus asa memegangi tubuh saya agar tetap berdiri karena saya sendiri ketika itu bahkan tidak mau tegak di atas kaki saya.
          Mereka hebat.
          Dari mulai masuk skripsi saya tidak konsul. Kalau ada orang bertanya “Ika Fitriana ke mana?”, teman-teman saya dengan fasih menjawab “Bertapa”. Saya baru bisa turun gunung alias ke kampus lagi—untuk mengurusi skripsi—awal tahun 2010. Ketika itu hanya tinggal beberapa yang masih di kampus. Sisanya sudah menjadi sarjana pendidikan atau sarjana sastra.

          Setelah semua itu, tentu kini kamu tahu, alasan skripsi menjadi buku paling berpengaruh nomor satu. Ada doa, keringat, dan suara banyak orang di sana. Kamu barangkali bisa membayangkan menjadi saya, orang yang akhirnya berhasil melahirkan dengan selamat padahal berulangkali berniat aborsi. Kamu barangkali bisa membayangkan menjadi saya, orang yang akhirnya menyadari ada banyak tangan terulur, ada banyak telinga terjulur, cuma untukmu!
          Melalui ini, saya mengingatkan diri saya bahwa saya mesti ingat mereka, mengingatkan diri saya untuk selalu kirim doa, mengingatkan saya bahwa saya menjadi karena mereka memberi. Saya tahu, terima kasih tidaklah cukup, tapi ya… terima kasih.

(10 November 2013)