Sabtu, 22 September 2012

Kalo lu masih bisa bareng

Kalo lu masih bisa bareng-bareng sama temen-temen lu sekarang ini, bersyukurlah.
Kalo lu bisa ketemuan tiap hari, bersyukurlah.
Percaya sama gw, akan ada saatnya lu nggak bareng temen-temen lu lagi.
Dan yang gw tau, sih, lu akan rindu banget pastinya ma temen-temen lu.

          Adek gw yang masih kuliah pernah bilang kalo dia dan teman-temannya agak susah bikin jadwal jalan bareng. Katanya, “Susah, lho, Mbak, nyesuain dengan jadwal mereka.”
          Denger itu, gw bilang, “Itu aja masih sama-sama kuliah—yang notabene ketemu tiap hari. Coba nanti kalo udah lulus, kalo temen kamu udah ada yang jadi kepala sekolah, terus ada yang jadi supervisor restoran, ditambah udah ada yang punya anak, belom lagi yang sibuk bertapa karena terlalu asyik dengan masalah pribadinya, pasti lebih susah lagi.”
          Yap, untuk ketemuan aja seringkali harus ada yang dikorbanin. Bulan puasa lalu, misalnya, seorang kawan harus merelakan dirinya batal ke dokter—yang padahal bikin janji sama dokter itu sebulan sebelumnya—dan lebih memilih bertemu dengan kami. Subhanallah. Coba ituuuu… . Keren banget, kan, temen gw? Hehehehe… .

Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih.

-Jaticempaka, 22 Agustus 2012-

Mari bangun lagi sarangmu!



-Unt. Sutardji Calzoum Bachri dan Teater Zat-

Hai, jiwa mudaku,
ada yang berteriak kepada kita
mempertanyakan tentang telur-telur kita
anak-anak yang lahir dari rahim kita.

Mari kita lihat pada diri kita
apa yang kita punya.

Nah, ya, mari masuk ke diri masing-masing.
Di situ kita temukan
segala keperluan bertelur:
jiwa yang muda,
otak yang muda,
hati yang muda.

Jika kaubilang
tak punya sarang untuk bertelur,
marilah kita bangun lagi sarang
karena di sarang itu, tempat kita bertelur:
bertelur berisik
atau bertelur diam-diam.

-Jaticempaka, 17 Agustus 2012-

Selasa, 18 September 2012

untouchable



       Tiap pulang kerja, saya sering melihat tulisan untouchable dicoret entah siapa di tembok. Untouchable, tak tersentuh. Nggak ngerti gimana cara kerjanya, otak saya langsung membayangkan seorang perempuan matang, mapan, lajang.
          Saya memang pernah berpikir tentang ini. Tentang perempuan matang yang sudah mapan, tetapi masih lajang. Siapa orangnya, lelaki mana kiranya, yang dengan gagah berani mendekatinya?
          Laki-laki mana pun saya pikir akan jiper kalo ketemu perempuan seperti ini. Lantas saya kepikiran dua hal—ah, saya minta maaf, bukankah perempuan suka sekali berasumsi?—yaitu: (1) si laki-laki harus “melebihi” apa yang dipunyai perempuan, atau (2) si perempuan mencari cara agar si lelaki tampak melebihinya. Kenapa saya bilang begitu? Em, ini atas pengamatan suka-suka saya aja, sih, laki-laki nggak suka perempuan melebihi dia. Kalaupun ada lelaki begini, lelaki berhati lapang dan berjidat lapang (maksudnya pikirannya luas gitu karena bisa menerima hal  itu) pasti jaaaraaaaanggg banget. Kalo ada, sini saya ajak salaman.
          Tiap orang punya kelebihannya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu harus digunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan orang terkasih kita. Kalau semua orang berpikir begini, pasti nggak ada minder, nggak ada rendah diri—terutama yang kaitannya dengan gender.
          Kalo emang si perempuan “lebih” dari laki-laki ya akuin aja, terima. Kalo nggak suka, misalnya karena si perempuan kuliah sedangkan laki-lakinya tidak, ya tinggal kuliah lagi. Semua ada jalan keluarnya, kan? Yaaaa… kecuali emang dasarnya pengecut. Susah. Harusnya kan jangan biarin rasa minder meraja di dirinya.
          Ehm, oke (benerin jilbab), nggak maksud marah-marah sih sayanya, cuma jadi kebawa emosi aja. Maklumlah, darah muda. Btw, buat perempuan-perempuan yang secara kasat mata dianggap “untouchable” tetap semangat, ya! Jiwa yang besar untuk jiwa yang besar pula. Jangan harapkan laki-laki berjiwa sempit. Hih. *eh? Lah?*

Waktu dan aku



dan kautatap waktu
mengharap jawab tentang aku

kauasah sendiri rindu
ibarat peluru
siap kauhunjam ke hatiku

rindumu mendesakku
menggeret waktu
semua jadi buru-buru
aku terbunuh dalam cemburu

oh, waktu, cintaku,
oh, waktu, rinduku,
oh, waktu, cemburuku

asal kau tahu, waktuku,
aku masih di sini
menunggumu bersama hati
yang masih sama dengan sebelumnya.

asal kau tahu, rinduku,
jangan buat waktu ini
mengikatku mati cemburu

asal kau tahu, Tuanku,
bebaskan aku dari rasa rindu
yang memenjaraku

bebaskan aku, bebaskan aku
dari rindu, dari cemburu
hampiri aku, bunuhlah waktu.



-Jaticempaka, 18 Agustus 2012 (00:17)-

Senin, 17 September 2012

"Guru"

      Pagi-pagi saya sudah galau tentang "guru" di twitter. Sebenarnya tidak tiba-tiba galau, saya sudah galau sejak semula, sebelum saya mengajar. Jadi yang terjadi kemudian berupa penarikan ingatan dan rasa mengenai "guru" yang ada di dalam diri saya, yang sekian lama terepresi.
     Ingatan pertama saya tentang pengajar yang membawa masalahnya ke kelas, termasuk saya. Seringkali saya masih kecolongan dengan membawa-bawa masalah di luar kelas ke dalam kelas. Ini yang selalu saya ingatkan kepada diri saya:
      Bagi seorang pengajar, penting sekali, sebelum masuk kelas ia harus
      menanggalkan masalahnya di depan pintu.. Sulit, tapi bisa.

    Mengapa saya gunakan ungkapan "pengajar"? Begini:
      Bagi saya, guru menjadi predikat yang sakral. Itu sebabnya di awal
      mengajar saya menekankan bahwa saya "pengajar", bukan guru.. 

     Apa alasan saya? Ini dia:
      Guru itu mulia, berbudi pekerti luhur, penyayang, dan dapat memahami 
     anak didiknya.. Dan saya belum sampai di titik itu.

     Ya. Saya merasa saya belum pantas disebut guru. Untuk nyemplung ke sekolah apalagi. Masih perlu banyak pertimbangan. Saya tidak mau menjadi guru "cuma" untuk uang--sebagaimana yang saya jalani sekarang. Saya harus punya alasan yang lebih kuat dari itu.
      Saya masih merasa sebagai "orang yang bekerja". Mengajar adalah job
     desk saya. Dangkal? Ya. Tapi ini proses.. 

     Barangkali nantinya saya akan berakhir di sekolah (toh, salah satu cita-cita saya adalah memunyai sekolah seperti sekolah Totto-chan). Namun, sebelum itu, saya perlu belajar di luar. Belajar tentang banyak hal. Mengejar mimpi-mimpi saya yang lain.
     Banyak perilaku oknum guru yang membuat saya parno, yang membuat saya berulang kali mengingatkan untuk menghindari perilaku semacam itu. Kalau saya sendiri saja tidak suka, bagaimana bisa saya bisa berharap orang lain menyukai perilaku itu?
    Ada oknum guru yang terang-terangan minta uang dari siswanya untuk nilai yang bagus. Ada juga yang tanpa malu-malu (mungkin putus urat kemaluannya) menyebutkan sejumlah barang yang diinginkannya kepada orang tua siswa. 
     Saya seringkali tidak habis pikir, bagaimana bisa orang yang menyebut
    dirinya guru memberi senarai permintaan pada siswa/ortu?
    Dia pikir orang tua siswa itu penjelmaan om jin apa?  

Saya harap, semoga guru-guru yang mumpuni semakin banyak di negeri ini... .
http://aribicara.blogdetik.com/files/2010/11/kartun-ngajar.jpg