Rabu, 26 November 2014

[Cerpen] Konde Gelinding

         “Nyah, konde lu ke mana?” tanyaku ke Mbak Wahyu, rekan sekerjaku sesama customer service.
          “Hah?” Ia meraba-raba bagian belakang jilbabnya. Tidak menonjol seperti biasa. “AKH! KONDE AKU HILANG!”
          “Nah, kan!”
          “Duh, ke mana ya, Mbak Ika?”
          “Yey, mana gue tahu. Konde, konde lu. Masak tanya sama gue,” sahutku sekenanya sambil mengambil gelas lalu mengisinya dengan air. Aku menyeruput air itu. “Eh, Babeh ke mana, sih? Tadi dicariin Mbak Wati suruh fotokopi atau apa gitu.” Babeh itu office boy di kantor kami.   
          “Tauk. Tadi, sih, sebelum Mbak Ika masuk, Babeh duduk di pojok situ, tuh, dekat galon. Lagi nonton sponge bob yang terjemahannya bahasa Jawa,” sahut Mbak Wahyu. “Eh, Mbak Ika, terus kondeku gimanaaaa?”
          Aku berpikir sebentar. “Em, gue curiga itu konde gelinding, Nyah. Cuma, kalau gelinding, gelindingnya di mana ya?”
          Baik. Aku jelaskan dulu. Konde yang dimaksud oleh Mbak Wahyu, alias si Nyonyah, merupakan konde yang bisa disumpal di bagian dalaman jilbab. Konde lepas pakai, bukan konde yang memang sejak awal ada di dalaman jilbab. Karena lepas pakai, konde ini potensial sekali hilang, terlebih jika kita memakainya asal-asalan. Konde lepas pakai tersebut berwarna hitam, berbentuk bulat, beratnya seperti bola kasti, tetapi tidak sekeras bola itu. Konde ini berfungsi menambah volume dan memberi tonjolan di bagian belakang kepala. Adanya konde yang berbentuk bulat sempurna konon membuat beberapa perempuan seperti si Nyonyah menjadi lebih percaya diri.
          Hilangnya konde secara misterius dari kepala rekan kerjaku yang gayanya seperti majikan galak itu tentu menurunkan kadar percaya dirinya sebanyak sekian persen—selain memang dia hobi teriak-teriak dengan suara melengking. Kuberi judul “Misteri Konde” pada percakapan kami sore itu selepas jam kerja.
          “HUWAAA… KONDE AKU HILANG DI MANAAA?” begitu teriaknya.
          “Jangan-jangan,” aku memulai hipotesis, “kondenya gelinding di… .”
          “…ruangan meeting kayak tempo hari?” wajahnya ngeri. Kami memang sempat meeting pagi tadi—dan memang pernah kondenya gelinding di ruangan meeting.
          “Bukan. Gue bukan mau bilang di ruangan meeting.”
          “TERUS DI MANA, MBAK IKAAAA? KONDEKU DI MANAAA?” Ia mengguncang-guncangkan tubuhku. “AKU BARU PAKE SEKALIIII… .”
          “Heh, malah tanya gue. Kita analisis dari awal dulu. Emang lu nggak berasa kalau nggak ada konde di kepala lu dari tadi?”
          “Ummm,” ia tampak berpikir, “nggak.”
          Sudah kuduga.
          “Pantas aja ya, Mbak, kepalaku agak enteng hari ini.”
          “Sejak kapan kepala lu enteng?”
          “Nggak tahuuuu… .”
          Sudah kuduga.
          “Hm, Nyah, jangan-jangan konde lu gelinding di angkot pas lu berangkat kerja!”
          “HAH? HUWAAAA… TERUS GIMANA, MBAK IKAAA?”
          “Wah, bisa gawat, Nyah.”
          “Gawat?”
          “Hu-um.” Aku menyeruput minumku lagi. Badannya condong ke arahku. Dia penasaran betul tampaknya.
          “Gawat gimana, Mbak Ika?”
          Tuh. Betul kan? Dia memang mudah penasaran.
          “Iya. gawat. Begini. Pertama, setelah lu turun dari angkot, orang-orang nggak langsung ngeh keberadaan konde lu. Ketika udah lamaaaa terus ada yang lihat seonggok konde lu itu. Em, tapi mereka nggak tahu kalau itu konde. Mereka cuma tahu ada benda hitam dan bulat sempurna di dalam angkot yang mereka naiki.
          “Orang-orang mulai bertanya-tanya. Salah satunya bilang, ‘Itu apa, ya?’ Kemudian yang ditanya melihat dengan saksama terus jawab, ‘Wah, nggak tahu. Bukan punya saya.’ Yang lain ikut-ikutan, ‘Bukan punya saya juga.’
          “Berikutnya, ada orang yang kebanyakan nonton dan baca berita teroris bilang, ‘Jangan-jangan… itu bom.’
          “Suaranya sebenarnya hampir berbisik, Nyah, tetapi semua orang bisa dengar. Mereka punya semacam radar yang bisa menangkap kata ‘bom’. Orang-orang mulai panik.
          “’Ah, terus bagaimana ini? Gimana? Gimana?’ Entah gimana ceritanya, sebentar kemudian pasukan penjinak bom (“Gegana, Mbak?” Sela Mbak Wahyu dan kujawab, “He-em”) sudah ada di tempat kejadian perkara. Angkot sudah menepi. Daerah sekitar situ dikasih garis polisi. Suara ‘uwiuwi’ sirine polisi dan ambulans juga terdengar di sana-sini. Penumpang angkot diselamatkan lewat kaca jendela angkot karena benda itu tergeletak di dekat pintu. Mereka diselamatkan pelan-pelan. Jangan sampai menimbulkan guncangan. Takutnya tiba-tiba meledak.
          “Eh, ada ibu-ibu gemuk yang susah dikeluarkan lewat jendela, Nyah! Ibu itu panik bukan main! (“Hah? Terus gimana, Mbak Ika?”) Mana Ibu gendut itu dari pasar lagi, Nyah! (“Pasar Rawamangun?”) Ya mana gue tahu dia dari pasar mana? Terserah dia dari Pasar Rawamangun apa Enjo. Gue lanjutin nggak, nih?”
          Kupastikan ia mengangguk sebelum melanjutkan cerita. Aku menarik napas lalu melanjutkan, “Kita nggak tahu Ibu itu dari pasar apa. Dia gendut dan bawaannya banyak. Karena dia nggak muat diselamatkan lewat jendela, para petugas pun meminta si Ibu keluar lewat pintu sopir. Beberapa orang bilang, ‘Jangan! Bahaya! Dia nanti jadi lebih dekat dengan bom itu!’ si Ibu juga ketakutan. ‘Pppak… tterus… ssaya… ggimana?’ katanya. Petugas yang lain menenangkan, ‘Ibu tenang saja. Yang penting jangan panik. Itu barangkali bom, tapi dia tidak akan meledak kalau tidak ada pemicunya. Memang, jika benar itu bom, dia bisa menghancurkan daerah ini dan Ibu jadi korbannya yang paling dekat. Em, tapi Ibu tenang saja. Ibu jangan panik. Jangan bertindak gegabah. Jangan banyak bergerak karena nanti bisa mengaktifkan bom itu.’
          “Gue nggak ngerti itu orang menenangkan atau mau menakuti, yang jelas si Ibu menurut. Petugas kemudian sepakat mengeluarkan Ibu itu dari pintu sopir. Ia kesulitan di bagian pembatas bangku sopir dan penumpang. Kan ada batas gitu, ya? Nah, si Ibu melintas situ agak sulit. Dengan disemangati petugas dan penumpang lain, Ibu itu akhirnya berhasil sampai di bangku sopir. Angkot sempat berguncang ketika tubuhnya terhempas di bangku sopir, tapi untungnya tidak terjadi apa-apa. Salah satu petugas membuka pintu sopir dan selamatlah si Ibu!”
          “Syukur ya, Mbak…,” kata Mbak Wahyu.
          “Belum, dong! Kan intinya tadi, konde lu disangka bom, tapi orang-orang nggak tahu itu bukan bom. Ya, kan?”
          “He-em, ya.”
          “Nah, akhirnya orang-orang sadar itu bukan bom. Orang-orang terus bertanya-tanya, ‘Kalau bukan bom, itu apa?’ Orang yang tadi bilang kalau itu bom membela diri, takut disalahin padahal nggak ada yang peduli juga sama dia. ‘Saya kan cuma bilang “jangan-jangan”,’ gitu katanya. Tapi ya, nggak ada yang peduli.
          “Kalau bukan bom, lantas benda hitam bulat itu apa? Orang-orang mulai berspekulasi. Ada yang bilang itu eek, tapi lalu dibantah yang lain, ‘Eek kok padat banget? Lagian, siapa juga yang iseng eek di angkot?’ Ada Ibu-ibu yang kayaknya suka dandan bilang, ‘Itu spons bedak, kali! Kan kinyuk-kinyuk gitu kayaknya.’ Ada juga yang berpendapat itu busa beha… .”
          Mbak Wahyu menyela lagi, “Emangnya ada ya busa beha kayak gitu, Mbak Ika?”
          “Meneketehe,” jawabku asal lalu melanjutkan cerita, “orang-orang nggak kepikiran itu konde. Tanpa lu sadari, karena konde lu ini, lu bikin kegemparan internasional. Iya, internasional. Ini gara-gara ada wartawan yang meliput di berita nasional. Dunia internasional tertarik karena ada judul ‘bom’-nya. Itu semua gara-gara konde lu, Nyah! Belum lagi, ya, gimana kalau para decepticons datang ke bumi karena konde itu?”
          “HUWAAAAAA… MBAK IKA JANGAN BIKIN AKU JADI PANIIIIK… . TERUS, DECEPTICONS ITU APAAAA?”
          “Itu, lho, robot jahat di Transformers.”
          “OOOOH… HUWAAAAA… .”
          “Atau,” kataku misterius. Teriakannya mereda. “Analisis lainnya: jangan-jangan, konde lu gelindingnya di lobi depan. Jadi, itu konde jatuh tanpa lu sadari. Dia gelinding sampai ke dekat kaki customer yang lu layani. Si customer juga nggak sadar. Pas dia berdiri, tanpa sengaja dia menendang itu konde.
          “Karena ditendang itu, sampailah si konde di tangan anak kecil pecicilan. Ingat, kan, tadi siang ada anak yang nggak bisa diam? Nah, anak itu bisa jadi menyangka itu makanan. Dia gigit-gigit konde lu. Eh, emaknya lihat. Emaknya terus buang konde itu ke tempat sampah yang ada di luar. Ia buang dengan agak melempar dan itu bikin konde lu nggak masuk ke tempat sampah, tetapi mendarat di samping tempat sampah persis. Si Emak bocah itu bodo amat. Dia masuk lagi ke dalam lobi. Duduk nunggu antrean.
          “Kembali ke konde lu. Konde yang jatuh di dekat tempat sampah ditemuin anjing. Dikira mainan, anjing itu gigit konde dan bermaksud membawanya pulang. Sayangnya, sampai mana gitu si Anjing yang ternyata jantan tertarik melihat anjing betina. Gigitannya ke konde mengendur dan konde pun jatuh. Si Anjing lupa dengan keberadaan konde lu yang sangat berharga itu. Terus, ada esmud tampan… .”
          “… Eksekutif muda?” Mbak Wahyu lagi-lagi menyela.
          “He-em. Ada esmud yang nemuin konde lu itu. Dia ambil konde lu. Dibersihkan dan dibawa pulang.”
          “Emang ada ya, esmud tampan yang mau bawa pulang konde?”
          “Ya, udah, sih, jangan menyela cerita gue terus. Mau gue terusin nggak?”
          “Iya. mau.”
          “Diam dulu. Dengerin gue!” Mbak Wahyu mengangguk-angguk lalu kembali menyimak. Aku melanjutkan, “Jadi, konde lu itu sama dia dibersihkan dan dibawa pulang. Dia kemudian tahu bahwa benda hitam bulat yang ia temukan itu konde setelah googling. Dia lantas berpikir, ‘Ini konde siapa, ya? Seperti apa ya pemilik konde ini? Apa dia jodohku?’ Si Mas Esmud tampan ini terus simpan konde lu sampai kalian ketemu. Dia mencocokkan konde itu dengan kepada lu dan yakinlah dia kalau kondenya pas di kepala lu. Ternyata, Mas Esmud itu jodoh lu. Terus kalian menikah, hidup sampai tua dikelilingi anak cucu, deh!”
          “HUWAAAA… AKU MAUUUUUUUU… .”
          “He-em. Gue juga,” sahutku santai.
          “JANGAN, DOOONG… KAN DIA JODOH AKU KARENA MENEMUKAN KONDEKUUU… .”
          “Errrr.. iya.” Aku mencomot tahu goreng yang tersisa di sebuah piring. Entah punya siapa. Makan saja dulu. Nanti kalau ada yang cari tinggal bilang aku sudah habiskan. Mau apa dia? Hihihi.
          Berikutnya, melintas analisis yang lain, “Ummm… nyam, nyam… atau… .”
          “Atau apa, Mbak Ika?”
          “Atau… eh, minum gue mana, sih?”Aku celingukan mencari gelasku.
          “Nih,” ia mendekatkan gelasku. Tanpa diminta, ia kemudian malah mengemukakan analisisnya dan membuatku lupa dengan analisisku. Katanya, “Jangan-jangan ya, Mbak, gelindingnya di ruangan Pak Japri!”
          Hakh. Aku hampir tersedak mendengar Mbak Wahyu mengaitkannya dengan kepala cabang kami. “Ngapain lu ke ruangannya Pak Japri?”
          Sebenarnya, nama asli kepala cabang kami adalah Rodi Hartanto. Mengapa disebut Japri? Ehm, ini karena dia sering membuka “jaringan pribadi” dengan pegawai perempuan di kantor sini.
          “Ngapain lu ke ruangannya Pak Japri?” Aku mengulang pertanyaanku. “Lu kena japrian juga?”
          “Yey, nggak. Ngasih laporan.”
          “Oh, kirain.” Aku lega. “Oke, jadi gimana hipotesis lu, Nyah?”
          “Iya, Mbak, jangan-jangan gelindingnya di ruangannya Pak Japri.” Ia tampak bercerita sambil mengingat-ingat. “Bisa aja gini. Si Konde, tanpa aku sadari gelinding masuk ke tasnya Pak Japri. Eh, sampai rumah, tasnya dibuka sama anak-anaknya yang cari oleh-oleh. Pas nemu kondeku, anaknya tanya, ‘Ini apa, Pah?’ Eh, istrinya tahu itu konde. Runyam deh urusannya. Istrinya langsung ambil konde itu terus ngajak Pak Japri masuk kamar. Dia mulai marah-marah, ‘Pah, Konde siapa ini, Pah?’ Eh, kok jadi kayak lagu Evie Tamala yang ‘Rambut, rambut siapa ini, Kasih? Bikin tak enak hati’ Hahahaha… .”
          “Errrr… Fokus, Nyah.”
          “Iya. Pak Japri yang emang nggak tahu itu apa malah tanya, ‘Hah? Memang itu apa, Mah?’ Istrinya makin marah karena menganggap Pak Japri pura-pura nggak tahu. Katanya, ‘Alaaah… jangan pura-pura kamu, Pah! Jadi, gosip itu benar? Bahwa kamu punya selingkuhan?’ Blablabla. Drama, deh. Cerai, deh. Diberitain di tv, deh. Nama kantor kita jelek, deh. Jualan kita nggak laku, deh. Kantor kita tutup, deh. Kita jadinya nggak punya kerjaan, deh. Gitu.”
          “Ih, lu mah jelek banget bayanginnya!” komentarku usai mendengar hipotesisnya. Aku lalu mengetuk-ngetuk meja dan mengelus perut bergantian sambil menggumamkan, “Amit-amit jabang bayi.”
          “Lah, abisnya, tadi Mbak Ika gitu juga!”
          “Eh, gue mending, yah! Bayangin lu dapet jodoh!”
          “Terus yang bom tadi?”
          “Tapi kan yang bom nggak bikin kita hilang pekerjaan.”
          “Em, ya, sih.”
          “Tuh. Kan.” Sejenak kemudian kami diam sebelum aku melanjutkan dengan lirih, “Jadi, di mana ya, Nyah, konde lu?”
          “He-em, Mbak Ika. Di mana, ya?” tatapan Mbak Wahyu lesu. “Dia apa kepanasan? Atau malah kehujanan?”
          Aku meliriknya. “Nggak sekalian lu pikirin dia udah makan atau belum?”
          “Konde kan nggak bisa makan, Mbak Ika.”
          “ERRRRR… .”
          “… .”
          “Aha! Gue tahu!” teriakku tiba-tiba.
          Ia terperanjat. “AH? MBAK IKA TAHU KONDEKU DI MANA?”
          “Bukan.”
          “Terus?”
          “Gue tahu apa yang mesti kita lakukan,” kataku mantap.
          “Hah? Apa?”
          “Kita bikin pengumuman aja: DICARI. KONDE YANG HILANG. MASIH BARU. DIPAKAI SEKALI. CIRI-CIRINYA… .”
          “…Hih. Orang gila.”
          “Eh, gue serius, Nyah!”
          “Serius gilanya!”
          “Emang lu punya jalan lain buat menemukan konde lu?”
          “Iya. aku ikutan program ‘Tali Kasih’-nya Hughes.”
          “Wahahahaha… . Iya! bisa juga! Terus, nanti akhirnya lu dan konde lu bisa ketemu lagi dan hidup bahagia selama-lamanya.”
          “Nggak dong, Mbak Ika, aku kecup dulu kondenya. Eh, tahunya itu pangeran yang disihir jadi konde.”
          “Huahahahaha… . Terus bikinin sinetronnya!”
          “He-em, bikin sinetronnya gih, Mbak Ika. Konde 1, Konde 2, sampai season 9.”
          “Hahahaha… . Eh, eh, atau nggak, sinetronnya sinetron silat. Jadi, ceritanya itu konde sakti yang diwariskan turun-temurun. Terjadi perebutan konde antarperguruan silat. Yang punya konde itu orang yang paling kuat sedunia persilatan.”
          “He-em.”
          “Huwahahahaha… .”
          Ketika kami sedang tertawa itu, masuklah Mbak Wati ke dalam ruangan. Ia heran melihat kami tertawa terbahak-bahak. “Kenapa, sih?” tanyanya ingin tahu sambil mengambil tahu goreng di tanganku seenaknya.
          “Heh, tahu goreng gue!”
          “Udah, diem-diem lu. Ceritain, kenapa coba lu ketawa-tawa? Ada gosip apa?”
          “Em, ini, lho, Mbak Wati, hahahaha, si Nyonyah kondenya gelinding lagi,” sahutku.
          “Hah? Emang lu hari ini pakai konde, Mbak Wahyu?”
          Yang ditanya malah bingung. “Lha? Emang aku seharian ini nggak pake konde, Mb Wati?”
          Mbak Wati tambah heran. “Lah, bukannya tadi pagi lu bilang sendiri, ‘Konde aku basah, Mbak Wati. Kecemplung akuarium. Konde yang satunya nggak nemu. Nggak tahu di mana. Jadi, hari ini aku nggak pake konde, deeeeh.’ Gitu. Inget nggak lu?”
          “HAH? IYA? HUWAAAAAA… AKU LUPAAAAA… .”


Kado untuk Wahyu Nur Indah Kurniasari
(Bekasi, 14 Januari 2014)

Senin, 24 November 2014

Saya Sayang Kamu

          Ini acara besar. Try Out akbar di sebuah gedung di pusat kota. Demi membiasakan para siswa dengan soal-soal UN acara ini digelar. Lebih dari 40 sekolah hadir di sini. Panitia dibentuk dari guru-guru perwakilan tiap sekolah.
          Adalah Bu Ita, guru dari SD Blablabla. Ia bertugas mengawas di bagian depan, dekat panggung. Kertas soal dan lembar jawaban komputer (LJK) sudah di tangannya.
          Selesai ia mengecek perlengkapan para siswa yang akan melaksanakan tes, ia berdiri di pinggir. Dari belakang berjalanlah Pak Saidi, kepala sekolah dari SD Mardika sekaligus lawan mainnya dulu di teater. Kala Bu Ita memutar badannya, Pak Saidi sudah tinggal satu langkah darinya. Mereka hampir saja bertabrakan. Bu Ita bisa membaui parfum Pak Saidi. Pak Saidi melewati Bu Ita dengan meninggalkan sebuah bisikan.
          Kita akan tahu hal yang dibisikkan Pak Saidi kala mendengar jawaban Bu Ita, “Saya juga menyayangi Anda, Pak Kepala.” Pak Saidi belum tahu ini. Ia sudah berada di tempat duduknya di depan, bersama kepala sekolah yang lain. Nanti saja kita beri tahu kepadanya.

(8 Desember 2013)


Jumat, 14 November 2014

Mari Kita Bersemoga

Zus,
          berapa modal rasa percayamu?

          Percaya. Belakangan kata itu mengusikku dengan terlalu. Aku bukan tidak bisa percaya atau memercayai atau memberi kepercayaan. Namun, entahlah, kekinian aku merasa kesulitan memercayai. Ini tidak menyenangkan, Zus. Seperti alih-alih kau menghirup udara, kau malah menghirup asap knalpot bajaj. Bikin sesak.
          Mengapa kita bisa tidak memberi kepercayaan, Zus? Apa ada seentah bagian kepercayaan kita yang cedera, sehingga kita perlu memulihkannya dahulu?

Zus,
          bagaimana caramu percaya bahwa kata-kata suamimu benar adanya sesuai dengan kenyataan? Bagaimana caramu percaya anak-anakmu tidak akan terlibat narkoba? Bagaimana caramu percaya anak-anakmu akan selamat? Bagaimana caramu percaya anak-anakmu tidak berbuat asusila? Bagaimana caramu percaya bahwa hati suamimu hanya untukmu?

Ya, Zus. Aku sedang berdoa. Mari kita bersemoga. Amin.

(25 September 2014)


Rabu, 05 November 2014

Bayu Kentut

          Biasanya dia sering kentut. Makanya dijuluki “Bayu Kentut”. Irama kentutnya seperti dering bel sepeda dan aromanya seperti roti panggang. Orang-orang tiada yang keberatan menghidu aroma kentutnya.
          “Mengapa kentutmu beraroma roti panggang dan berbunyi seperti dering bel sepeda sedangkan kentut orang lain berbau telur busuk dan berirama seperti baju robek?” tanyaku suatu kali.
          “Aku tidak tahu, tetapi ibuku punya teori.”
          “Apa itu?”
          “Menurutnya, kentut adalah sebuah bentuk ekspresi. Kelegaan. Kelegaan karena sebelumnya orang tersebut memendam sesuatu. Nah, orang yang kentutnya berbau busuk, menurut ibuku, mereka sebelumnya memendam hal yang tidak baik.”
          “Oh, ya?”
          “Entahlah.”
          Pikiranku berjalan sendiri. Aku mengingat-ingat saat dia kentut. Tidak ada kesamaan waktu kejadian kentutnya. Dia sering kentut kala pelajaran berlangsung, pernah juga ketika istirahat, bahkan pernah di perpustakaan yang sunyi itu. Suara “kring” terdengar dari pantatnya. Satu sekolah tahu irama dan aroma kentutnya.
          Tidak ada kesamaan waktu kentutnya. Namun, aku memiliki teori yang menarik. Mulanya aku pikir aku hanya kegeeran. Setelah beberapa kali membuktikannya, aku yakin teoriku benar: ia pasti akan kentut tiap kali ia berhasil menyatakan rindunya kepadaku.
          Ah, tetapi itu dulu. Sekarang aku bertemu dengannya di reuni ini. Perutnya membuncit seperti perempuan yang hamil sembilan bulan. Menurut dugaan teman-temanku yang dokter, barangkali ia terkena sirosis dan mesti transplantasi liver.
          Mendengar itu, ia hanya tersenyum lemah sambil menggenggam tangan perempuannya. Kami tidak bertukar sapa. Sudah beberapa tahun ini begitu. Namun, aku tahu dan meyakini benar penyebab perutnya menggendut. Kala ia mesti dibedah nanti, mungkin para dokter akan terheran-heran mendapati bahwa isi perutnya adalah namaku—dalam jumlah banyak.

(18 Mei 2014)


Senin, 03 November 2014

Mendekap Aroma

malam panjang kusam
bikin jempalitan
lalu aku tanpa kawan
dia berdiam

mendekap aroma
jaket hijau tua
sudah itu aku rasa
ia ada tanpa suara

tidurlah lelap
rasalah dekap
rindulah gelap
sunyilah menguap


(10 September 2014)