Senin, 31 Agustus 2015

Sekolah Utama

Al-ummu madrasatul ula; idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq 
(Ibu adalah sekolah utama; bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik).

          Nanti anakku mau disekolahkan di mana, ya?
          Ya emang sih, Zus, menurut ungkapan di atas, kita ini sekolah bagi anak-anak kita, tapi kan plis, nggak seliteral ituuu. Ya nggak, sih?
          Pernah ada yang mengusulkan homeschooling aja. “Kan mamanya (alias aku!) pengajar.”
          Maksudnya aku jadi sekolah (secara literal) untuk anakku? Lah, kesian amat anakku. Iyalah. Masa dia tahunya pengetahuan tunggal: dari aku? Miskin ilmu (dan pengetahuan) nanti.
          Di luar sana masih banyak hal yang bisa ia pelajari, yang tidak ia dapatkan dari aku. Ya, kan?

Awalnya gini, Zus,
          Aku menemukan ini dari siswaku:
kover belakang

kover depan

          Itu bacaan siswa kelas 4 SD. Berat, menurutku. Meski dikemas dalam bentuk komik, buku itu berat secara isi. Buku itu membahas misalnya alasan Napoleon gagal menjajah Rusia. Kan berat ya, Zus? Buat anak SD, lho! Berikutnya, lihat ini:

          Bercandanya mukul gitu, Zus! Gimana aku nggak khawatir membayangkan zaman anakku nanti?
          Aku cemas membayangkan pergaulan anakku nanti dengan sesamanya—atau ya lingkungan apa pun yang ditemuinya. Itu sebab usulan homeschooling muncul. Jika aku khawatir melepas anak ke luar, ya belajar di dalam rumah saja. Kurang lebih logikanya begitu.
          Ya tapi aku nggak mau, Zus. Alasannya sudah kuungkap di atas. Aku perlu anakku bersosialisasi dengan banyak teman sebayanya. Setahuku, homeschooling itu lebih terbatas dalam hal sosialisasi.
          Belum lagi kontrol disiplin. Kalau homeschooling kayaknya lebih kuat, mesti lebih kuat, kontrol disiplinnya. Disiplin pribadi. Itu PR buatku, Zus. Hahaha.
          Ada beberapa hal yang aku catat tentang homeschooling:
1.     Anak-anak yang memilih homeschooling umumnya anak yang waktunya terbatas, sehingga tidak bisa ikut sekolah formal. Masuk dalam jajaran ini atlet atau artis.
2.    Beberapa anak yang homeschooling merupakan anak yang bermasalah (entahlah dengan ungkapan “bermasalah” ini). Ada yang malas bangun pagi, ada yang klepto, dan seterusnya.
3.    Anak berkebutuhan khusus. Kupikir bagian ini cukup jelas.
4.    Ada anak yang ikut homeschooling, tetapi ia juga ikut sekolah formal. Ini sebab orang tuanya ingin membandingkan antara homeschooling dengan sekolah formal.
5.    Beberapa anak yang ikut homeschooling ini berasal dari keluarga berada, tetapi rumah tangga orang tuanya bermasalah.
          Pernah juga aku bertemu pengajar homeschooling yang lain. Ia mengajar anak usia SD yang memiliki lima buah mobil. Temanku ditanya, “Miss punya mobil berapa?”
          Karena temanku tidak memiliki mobil, ia lantas menjawab, “Miss tidak punya mobil.”
          “Oh, berarti Miss orang miskin, dong?”
         
          (Entahlah, aku nggak bisa menyalahkan anak itu seratus persen karena itu kebenaran yang dia punya: nggak punya mobil = orang miskin).
         
          Gitu, sih. Aku kepengin anakku nanti punya dasar agama yang bagus dengan tetap luwes dalam pergaulan. Wawasannya juga tidak dangkal. Hm, semoga anakku sepaham denganku. Ya kan nggak enak juga kalau aku mesti menentukan masa depannya. Ya kan?

Sekarang aku ngobrol dulu deh dengan (calon) bapaknya.

       

Minggu, 30 Agustus 2015

Simpan Capek dalam Saku

Kata “istirahat” kadang mengerikan.

Jika kita masih bisa bekerja,
masih bisa melakukan sesuatu,
mari lakukan, Sayang,
simpan itu capek-mu dalam saku.

Akan tiba saatnya,
Tuhan benar-benar memberi kita istirahat
mengeluh capek pun tak sempat.


(6 November 2013)

Sabtu, 29 Agustus 2015

A t a

Jumat, 14 Agustus 2015

Ata, Ata yang baik,
          Salam kenal, ya! Ini surat pertamaku untukmu. Entahlah, mungkin juga yang terakhir.

Ata yang manis, buah hatiku,
          Maafkan Mama, Sayang, maafkan kami. Kau masih harus tetap di surga dan belum bisa bertemu dengan kami.

Ah, Ata, Ata-ku,
          Tentu Allah sayang sekali kepadamu, Nak. Kau tidak diizinkan jauh-jauh darinya.

Ata,
          Mama ingin bertemu.


Salam rindu,

Mama


Jumat, 28 Agustus 2015

Di Atas Segalanya Aku Ingin Bahagia

Dengan segala hormat,
di atas segalanya aku ingin bahagia
itu sebab aku mencintai
kekasihmu, Mbak.

Bila kau tidak suka, bahkan membenci aku,
wajar.
Bila dunia mengenakan sanksi sosial
Bila dunia mengenakan sanksi moral
kepadaku
ya memang mesti begitu.

Bersamanya aku bahagia.
Bukankah kebahagiaan menjadi hal yang terpenting?

(22 Mei 2014)


Kamis, 27 Agustus 2015

Seorang Anak Kecil Dipasung Kakinya

seorang anak kecil
dipasung kakinya
ia tak bisa ke mana-mana
ia meronta, ia meronta
minta tolong kepada Yang Mahakuasa!

(27 Oktober 2013)


Rabu, 26 Agustus 2015

Mesti Menulis

kamu mesti menulis
biar itu isi otak bisa ‘ngalir

tuliskan segala kecemasan

bila kau lupa cara menulis
mulai saja dari memegang pena


(18 Januari 2014)

Selasa, 25 Agustus 2015

Eva

Bekasi, 15 Maret 2015

Halo, Christina Evaliana Irawan,
          namaku Ika Fitriana. Seorang gadis biasa yang kadang-kadang aja jadi bidadari. Salam kenal.
          Eh, kita sudah kenal, ya?
          Entahlah.
          Sudah tahu, mungkin.
          Aku punya segudang kata-kata untukmu, tapi aku nggak yakin itu perlu. Aku merasa tiap kali ada yang ingin kuucap lekas menguap begitu saja.

Eva,
          melalui surat ini aku nggak akan bilang “Semoga kau dikuatkan”, dsb. Sudah banyak itu kauterima. Pun aku, lagi-lagi, nggak yakin kamu perlu. Dariku, maksudku.

Eva,
          yang sayang padamu banyak, banyak sekali. Aku pun tak bisa membayangkan doa-doa yang terbang diam-diam dari mulut orang-orang terkasihmu—atau bahkan dari orang yang tidak kaukenal.

Eva,
          Ah, sudahlah.
          Salam kenal saja.


Senin, 24 Agustus 2015

Hadirlah dalam Hidupmu

          Candramawa merupakan orang yang hidup di hari kemarin. Hari terus berganti, tetapi ia tetap hidup di hari kemarin.
          Ketika sekolah, ia tidak menikmati benar masa sekolahnya. Ketika kuliah, ia merindukan masa sekolahnya. Ketika bekerja, ia menginginkan masa kuliahnya kembali.
          Tuhan geleng-geleng kepala. Untung saja Ia baik sekali kepada Candramawa dengan memberi kesempatan lagi dan lagi melalui pagi. Pagi selalu dihadirkan kepada Candramawa. Sayangnya, Candramawa belum menyadari itu dengan baik.
          Mari, mari, kita teriakkan kepada Candramawa, “Hai, Candramawa, hadirlah dalam hidupmu! Hadirlah hari ini! Bersyukurlah!”

(12 Agustus 2015)


Sabtu, 22 Agustus 2015

Upaya Mencari Matahari di Bukit Moko

          Bandung menjadi salah satu kota yang dingin bagiku. Namun, 17 Mei 2015 lain. Aku mendapati bahwa Bandung cukup dekat dengan matahari—dan hei, kau masih bilang Bekasi yang sejengkal dari matahari? Bandung panas sekali ketika aku datang.
 
Taman yang mengingatkanku kepada Vanda Kemala. Aku mengernyit kepanasan.

          Dalam rangka menghirup aroma hijau, aku terbang (ya kan aku bidadari!) ke Bandung. Sekitar pukul setengah 9 aku sudah di taman balai kota. Tempat ini menjadi tempat yang betul kuperlukan: pohon rindang, udara segar, burung bernyanyi, dan bus tingkat!
          Beragam kegiatan orang di taman balai kota: latihan parkour, latihan tari, main bola dengan kelompok kecil, main bulu tangkis, belajar jalan (bagi balita), konser tim persib, dan uhm, pacaran! Yah, sebagaimana lazimnya taman yang lain, kupikir.
          Ada kolam besar dengan patung badak di bagian tengah. Jangan tanyakan kepadaku alasan badak itu ada di situ, nggak tahu. Mungkin ketinggalan rombongannya waktu mandi dan teman-temannya sudah balik ke kayangan.
          Kalau kaupejamkan matamu sebentar, suara yang akan kaudengar: cicit burung, tawa orang-orang, desing pesawat (cukup rendah pesawat terbang di sini, mirip emaknya burung), dan lagu-lagu konser dari pengeras suara.
          Ketika kau fokus ke penciumanmu, kau akan menangkap berbagai aroma: makanan (sate entah apa hingga kerak telor!), pohon, tanah, dan aroma segar sabun mandi bercampur parfum orang di sampingku. Seru, ya! Sayang, di tempat ini aku tak sempat berfoto karena sibuk menikmati (nggak sempat naik bus tingkat juga, uh!).
          Dari balai kota kami—aku dan kekasih—berjalan kaki ke alun-alun. Untuk mencapai alun-alun, kami melewati area car free day (CFD) di Jalan Asia Afrika. Langkahku terhenti. Bumi manusia!
          Ya, begitulah. Di area CFD aku menyadari betul bahwa ternyata manusia di Bumi ini banyak, ya! Ummm… dan aku harus melewati orang yang banyak itu untuk ke alun-alun?
          Kepalaku langsung pusing.
          Mudah sekali mabuk. Nggak perlu ngebir, lihat orang banyak saja sudah mabuk.
 
Manusia di Bumi ini ternyata banyak sekali!

Salah satu gedung bersejarah di Bandung


          Sampai alun-alun, kami sarapan kupat tahu—eh, aku yang makan kupat tahu, dia batagor. Bagi yang belum tahu, kupat tahu itu beda dengan ketupat sayur lho, ya! Kupat tahu lebih mirip dengan ketoprak: lontong, tahu, tauge, kerupuk, dilengkapi dengan bumbu kacang. Sepuluh ribu satu porsinya.
          Alun-alun itu tampak seperti pelataran masjid biasa saja bagiku. Yang membedakan memang karpet rumput hijau yang terhampar (kayaknya di banyak tempat di Bandung menggunakan ini) dan ada labirin (yang mirip permainan COC!). Di bagian lain ada jungkat-jungkit untuk anak-anak. Sayangnya, jumlah jungkat-jungkit dan ayunan di sana hanya sepasang. Tidak sebanding dengan jumlah anak-anak yang antre. Semoga di masa yang akan datang jungkat-jungkit dan ayunan di sana bisa ditambah agar tak banyak anak-anak yang menangis karena terlalu lama antre.
          Di alun-alun kami tidak lama. Terlalu banyak orang. Lagipula, aku sedang mencari pohon rindang dan rumput betulan.
          Akhirnya, kami menuju destinasi utama kami: Bukit Moko. Bila di Balai Kota dan alun-alun pengunjung tidak dikenakan biaya (selain untuk parkir dan keperluan pribadi), untuk masuk ke Bukit Moko kita harus membayar Rp8.000,00. Murahlah.
          Kami—em, sebetulnya dia sih—memasang hammock (tempat tidur gantung) di antara pohon pinus. Selebihnya acara kami adalah tidur. Dia yang tidur. Aku tidak bisa. Gimana bisa, tiduran belum lama, aku sudah menggigil kedinginan. Tangannya tak bisa kugapai jadi tidak bisa menghangatkan.

Sambil menunggu hammock dipasang, aku foto kakiku aja. Calon surga.
 
Melihat gayanya memasang hammock, aku jadi teringat Superman. Barangkali begini gaya Superman nyangkutin jubahnya setelah terbang. 
  
Hammock yang sudah terpasang dan siap untuk ditiduri!

 
Tidur aja foto-able, ya!


          Karena kedinginan, aku berjalan sendiri melihat pemandangan. Aku berniat mencari hangatnya matahari di hutan pinus yang dingin ini. Cahaya matahari ada, tapi tidak menghangatkan.
          Matahari baru terasa cukup hangat di Puncak Bintang. Masih bagian Bukit Moko. Disebut Puncak Bintang karena memang ada bintang yang besar sekali terpancang di sana.

Ini yang kulihat sambil tiduran.

Pemandangan berkabut Kota Bandung

Puncak Bintang

Jalan setapak menuju Puncak Bintang yang sudah oke. Kalau tempat kami bersantai, jalanannya masih tanah.

Ada perkebunan di sekitar Bukit Moko ini.

Hem, jadi tinggiku bukan 158 cm?

          Oh ya, untuk bisa ke Bukit Moko, kita harus membawa kendaraan pribadi. Tidak ada transportasi umum di sana. Jalannya cukup ekstrem, kau perlu teknik mengendarai yang mumpuni dan kendaraan yang sehat untuk bisa parkir di tempat terdekat dengan Bukit Moko. Kalau nggak, ya parkir di bawah lalu jalan kaki untuk ke Bukit Moko.
 
Mestinya aku foto tanjakan yang kubilang ekstrem itu, bukan typo tulisan ini, ya!
          Ini kucatat beberapa hal yang perlu dipersiapkan kalau mau ke Bukit Moko:
1.     Makanan di sana (warung terdekat dengan Bukit Moko) mahal sekali. Kalau mau makan, kusarankan yang letaknya di bawah saja. Cuma memang siap-siap nanti naik lagi. Bilang ke petugas tiket Bukit Moko kalau kita akan balik lagi. Kami makan di Sindang Rahayu. Harganya lumayan murah. Aku beli nasi goreng dengan isian sosis, telur, dan irisan ayam seharga Rp15.000,00 (dan dapat air mineral gelas gratis!). Nasi gorengnya enak banget buatku! Nasi tutug oncom seharga Rp18.500,00. Nasi tutug oncom dilengkapi dengan ayam goreng. Kalau menurutmu masih terlalu mahal, bawa bekal sendiri saja, ya!
 
Menggoda perempuan lain di depanku!
Ehem, sebenarnya aku mau kasih tahu warung Sindang Rahayu.

2.    Tidak banyak yang bisa dilakukan di Bukit Moko. Kau bisa membawa hammock untuk bersantai, membawa gitar untuk asyik bersama teman-teman, atau bikin kegiatan sendiri.
3.    Jarak antara parkir bawah dengan Bukit Moko itu cuma 500 meter, taaapiiiiii… tanjakannya ekstrem! Sebaiknya gunakan pakaian yang nyaman dengan alas kaki yang bisa dipakai untuk naik gunung. Jangan pakai wedges atau hak runcing, Mbak!


Mari berbahahahagia!
(21 Mei 2015)





Jumat, 21 Agustus 2015

Siapa yang Menghiburmu?

Kita memang tidak akan pernah tahu siapa yang dikirim Tuhan untuk menghibur kita.

          Hari itu seorang lelaki dikirim untukku. Bukan tipe lelaki centil tukang gombal yang suka tebar pesona kepada perempuan meski sudah memiliki pasangan, bukan. Seorang lelaki kelas 9 yang hadir di depanku. Gabriel namanya. Ia bersekolah di salah satu SLB di Jakarta.
          Gabriel bercita-cita menjadi transformer. Ketika ada yang bilang itu tidak mungkin, wajahnya menyiratkan kebingungan. Aku mengarahkannya untuk jadi pembuat robot saja. Ia tetap mau jadi transformer. Giliran aku yang bingung. Gabriel malah bilang ia akan bikin kaus transformer saja kalau tak bisa jadi transformer. Aku tepok jidat.
          Gimana ya cara guru Einstein menghadapi Einstein?
          Ya malah mikir begitu aku. Hauft.
          Lanjut.
          Ia, Gabriel itu, hobi menyanyi lagu Smash. Ketika ia menyanyikan sebuah lagu dengan keras, aku langsung menebak dengan sok tahu, “Nyanyi apa sih kamu? Lagu Smash, ya?”
          “Bukan, Kak Ika. Ini pujian untuk Yesus. Masa Kak Ika nggak tahu, sih?”
          Erm, oke. Aku nggak tahu. Memang.
          Tidak selesai sampai di situ, ketika kelas berakhir, Gabriel mengejarku sambil membawa buku dan alat tulisnya. “Kak Ika… Kak Ika…, aku ada PR… .”
          Aku pengajar bahasa Indonesia, jadi kalau ada yang minta bahas PR denganku pasti soal bahasa Indonesia. Ya kan?
          Aku tanya saja materinya. “Oke, PR-nya tentang apa?”
          “PR agama, Kak.”
          Waduh.
          Gini, kawan, aku berjilbab. Bisa kau tebak agamaku? Dia, Gabriel, dari namanya, kau bisa tahu dia beragama apa kan?
          Aku terhenyak sesaat. Bingung mau respon gimana.
          Akhirnya, “Errrrr… Gabrieeeeelllll… Kakak mana bisa ngerjain PR agama kamuuuuu?”
          Dia bingung. “Ng… nggak bisa ya, Kak? Kenapa, Kak?”
          Oh, ya Allah, nyuwun ngapuro. Gimana ini jelasinnyaaa?
          “Emmm, sekarang kakak tanya, kamu agamanya apa?”
          “Kristen, Kak.”  
          “Nah, Kakak Islam.”
          Dia tidak tahu kalau jilbab adalah simbol yang digunakan seseorang untuk menunjukkan dia Islam (eh, atau justru dia membebaskan “jilbab” dari “Islam”, ya? Oalah, aku malah mikir ada kemungkinan dia tahu tentang dekonstruksi).
          Oke, lanjut lagi saja, ya.
          “Jadi, Kakak nggak bisa ya?” tanyanya lagi memastikan. Dia pikir pengajar itu serbatahu dan serbabisa kali, ya?
          “Nggak,” kataku tegas. “Coba kamu tanya sama Kak Robert, ya… .”
          “Loh, Kak Robert bukannya Islam, Kak?”
          Allah. Bahuku melorot tiba-tiba.

(21 Agustus 2015)

Rabu, 19 Agustus 2015

Tenangkan Hati Sebelum Pergi

Aprie!
          Baca tulisanmu yang ini membuat aku ingin bercerita tentang ibuku! Hahaha.
          Aku melakukan “hal yang memalukan” itu. Iya, hal yang bikin kamu enggan: mencium tangan dan mencium pipi ibu sebelum pergi.
          Aku pernah cerita kepadamu kan, aku tidak akan pergi ke mana-mana tanpa keikhlasan ibuku. Karena aku percaya pada perasaan tajam ibuku.
          Pernah aku mengabaikan kata-katanya yang memintaku untuk pakai celana ketika bepergian, jangan pakai rok. Yah, atau, kalau mau pakai rok, duduknya tidak menyamping, tapi menghadap ke depan. Akibatnya? Ini.
          Kali lain aku pergi dari rumah dalam keadaan kesal kepada ibuku padahal waktu itu aku ada ujian kuliah dan mesti buru-buru. Akibatnya? Motor yang aku naiki hampir menabrak anak kecil. Aku shock sekali. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bapak yang mengantarku meminta aku untuk mengikhlaskan pertengkaran dengan ibuku agar perasaan kami tenang dan kami selamat.
          Pernah juga aku ngotot datang ke acara nulis buku di Senayan. Diam-diam ibuku tidak setuju dan ingin makan malam ditemani anaknya. Akibatnya? Kami terjebak hujan besar sekali, Prie. Aku dan adikku berteduh—sejak acara mulai sampai selesai.
          Dari beberapa kejadian itu, aku berusaha menetralkan perasaan sebelum pergi ke mana pun, Prie. Aku berusaha mengikhlaskan jika aku yang marah dan berusaha berbaik-baik kepada orang terkasihku bila ia yang marah. Aku mau selamat di jalan hingga pulang, Prie. Kurasa itu tips jaga diri terampuh.
          Begitulah, Prie. Kedamaian hati, ketenangan pikiran siapa pun, SIAPA PUN, penting bila kita ingin selamat dalam perjalanan. Segala jenis perjalanan.

(19 Januari 2015)


Minggu, 16 Agustus 2015

Diperjuangkan oleh Yang Diinginkan

          Pernahkah kau begitu ingin diperjuangkan oleh orang yang kauinginkan?
          Ya, aku pernah. Sayangnya, aku mesti dilepaskan.
          Realistis. Ah ya, realistis. Sebuah kata mematikan, hem?
          Dengan alasan “kau akan bisa lebih bahagia” dia melepaskan. Hei, siapa penentu kebahagiaan?

(11 April 2015)


Sabtu, 15 Agustus 2015

Penyendiri

          Penyendiri akan kembali menyendiri. Munculnya ia di bawah lampu sorot hanyalah sementara. Sebagaimana burung yang tidak bisa terbang ketika di tanah, begitulah dia, si Penyendiri kita itu.

(13 Oktober 2014)

Minggu, 09 Agustus 2015

Waktu Penyair Pulang

Petang penyair pulang
Dari perayaan
Ketidakpuasan membayang

Malam ia bilang
Kepada putra tersayang,
“Dengar, dengarkan ini, tokoh masa depan,
Jangan kaubuat karya jelek akan datang.”

(25 Maret 2015)


Sabtu, 08 Agustus 2015

Membongkar Isi Saku

Sini kubongkar isi sakumu
kukeluarkan bekas tangan entah siapa
yang berusaha mencakar tanganku
yang masuk ke sakumu

(25 Maret 2015)


Minggu, 02 Agustus 2015

Lelaki dengan Pipi yang Lapang

Lelaki dengan pipi yang lapang
membiarkan perempuan berkicau
dan melebarkan sayap

“Kuizinkan kau mendarat
di pipiku
lalu teteskan irama-irama ranum
yang mengalun
dari pikiranmu.”

(3 Juni 2014)


Sabtu, 01 Agustus 2015

Kata Berayun di Bibir

          Kata-kata yang semula berayun di bibir pelan-pelan melorot ke dengkul. Meluncur begitu saja lalu menguap bercampur dengan udara.
          “Kamu bilang apa?” tanyaku.
          Lelaki hanya tampak mangap-mangap. Tak ada kata karena kata yah… seperti yang sudah kusebut di atas: hilang.

(2 Oktober 2014)