Rabu, 28 Mei 2014

Truk Sampah dan Mobil Polisi

          Si Lelaki sedang berbicara dengan seorang anak kecil yang belum fasih bicara. Anak  kecil itu memegang truk berwarna oranye dan sedan hitam-putih. Ia mencoba mengakrabi si anak kecil dengan memulai, “Ini mobil apa, Mas?”
          Si anak kecil memandang truk oranye yang ditunjuknya. “Mobil campah, Om.”
          “Mobil sampah? Oh... .” Ia mengangguk-angguk. “Mobil sampah ini untuk apa?”
          “Untuk ngambil campah.”
          Ia mengangguk-angguk lagi. Berikutnya ia menunjuk mobil sedan berwarna hitam-putih. “Kalau yang ini?”
          “Mobil polici.”
          “Wah, mobil polisi? Kalau mobil sampah untuk ngambil sampah, terus mobil polisi ini untuk apa?”
          “Untuk jagain campah, Om.”

(17 April 2014)


Senin, 26 Mei 2014

Tidak Ada Friksi

tidak ada friksi
ini tentang manisnya reuni kecil
yang menggelantung di udara

ya,
aku akan menemuimu
melalui reuni malam hari.

(10 November 2013)


Rabu, 21 Mei 2014

Kang Ketoprak

Kepada kang ketoprak

Bang,
          Gerobaknya kenapa didorong-dorong gitu, sih? Memangnya rusak?


Salam,

aku


Sabtu, 17 Mei 2014

[FF Cinta Pertama] Nyamuk yang Jatuh Cinta

          Aku nyamuk yang jatuh cinta!
          Aku memandang wajah Nona Ika. Ia tidak tampak gembira. Pasti lelaki itu sebabnya. Kemarin aku sempat mengintip di buku sketsanya, ia menggambar wajah si pria.
          Cih.
          Apa, sih hebatnya si pria? Cuma bikin Nona Ika nestapa. Mending sama aku saja.
          Namun, aku siapa?
          Aku cuma nyamuk yang jatuh cinta. Meski begitu, si pria tentu bisa belajar dari aku, tidak menyakiti Nona Ika. Aku ingin menghibur Nona Ika agar ia kembali berkicau seperti biasa.
          Bisa apa?
          Aku mengepak sayap terbang di sekitar kepalanya. Berusaha mengintip-intip ada apa di dalam sana. Selanjutnya aku menuju tubuhnya.
          Aku ingin memeluknya.
          Aku ingin menggenggam tangannya. Aku ingin mengangkat dagunya dengan tanganku dan berkata, “Kamu akan baik-baik saja.” Hinggaplah aku di atas dagunya.
          Puk .
          Tangannya yang melayang menghampiriku menjadi ingatan terakhir. Aku mati karena aku cinta.

(23 Oktober 2013)


Gambar diambil dari sini

Tulisan ini diikutkan dalam kuis flash fiction yang diadakan oleh Carolina Ratri dan Stiletto Book

Minggu, 11 Mei 2014

Ketiak

: Joko Pinurbo

aku suka ketiakmu
yang serupa aroma kelapa muda itu

di udara yang bebas
baumu menari-nari
memanggil aku yang sendiri

tiap bau memiliki nada panggil yang berbeda
yang akan menjemput orang berlainan pula
kita di sini bersua
karena dipanggil bau ketiak masing-masing

aku dengan ketiakku yang beraroma vanila
dan kau dengan ketiakmu yang beraroma kelapa muda
kita bertukar bau
kita bertukar rasa
tahu-tahu berbaur saja dua aroma

kita jadi bingung
aromaku yang mana aromamu yang mana
kita sudah tak peduli mulanya dengan percampuran bau
tetapi sekarang langkah kita yang gegas
kemas kita yang lekas
kita menghitung bau-bau yang dipertukarkan dengan lantas

baumu sudah beda tak lagi vanila, katamu
ah ya kau juga tak lagi kelapa muda, sahutku
kau yang lebih dulu, kamu berkeras
kau, kita bertengkar tentang bau siapa yang lebih dulu berubah aroma
baiknya kita mencari ketiak baru saja, begitu kamu bilang
kita hanya mesti menanti panggilan dari ketiak lainnya, sanggahku
yang jelas kita tak bisa bersama

kita terus begitu
bertengkar tentang ketiak
bilang kita tak bisa bersama
sambil tetap bersama
sampai entah
karena ketiak lain sudah memanggil yang lain
karena ketiak lain tak mau memanggil ketiak kita yang bercampur aroma
karena ketiak lain tidak sudi berurusan dengan ketiak kita yang tak bisa terpecah

(5 Mei 2014)

Rabu, 07 Mei 2014

Merayu Keinginan

Keinginanku bocah ngambek keras kepala yang
melipat tangan depan dada lalu membuang muka

Tak mau ia dirayu dengan es krim
Tak mau ia digoda naik kereta
Tak mau ia ditawari martabak, sayur asem, bahkan keliling Monas

Keinginanku bocah ngambek keras kepala yang
minta pulang kepada ibunya

(6 Mei 2014)


Senin, 05 Mei 2014

Lampu

          “Pernah ke Kawah Putih, Kaf?” tanya Barika kemarin lusa.
          “Iya, pernah.”
          “Bagus banget, ya! Sulit untuk berpikir Tuhan itu tidak ada ketika kau dihadapkan pada keindahan semacam Kawah Putih.”
          “Emmm, ya.”
          “Menurutmu Kawah Putih itu gimana?”
          “Bau.”
          “Hah?”
          “Iya, ada bau belerang. Daripada di Kawah Putihnya, aku lebih suka pas naik mobilnya, dari bawah (tempat parkir) ke atas (Kawah Putih). Itu lebih seru.”
***
          Itu bukan yang pertama kali aku dan Barika berbeda fokus. Percakapan di atas bikin kami ingat obrolan setelah menonton pementasan Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang dilakoni Niniek L Karim dan kawan-kawan dalam rangka ulang tahun Putu Wijaya ke-70 tanggal 11 April 2014 lalu. Menurut Barika, alurnya dahsyat, akting Niniek L Karim juga luar biasa. Selain itu, ia pun membahas unsur intrinsik lain yang membuatnya terpukau (dan hingga saat ini ia masih senang sekali mengingat itu).
          “Menurutmu apa yang menarik?” tanyanya ketika itu.
          “Lampu.”
          “Lampu?”
          “Ya. Lampu.”
          Ia tidak habis pikir: mengapa Ikaf menjawab lampu? Sama. Aku juga tidak tahu. Hahaha… .
          Nah, karena tidak tahu itu, aku menganalisis diri sendiri (yang bisa digoyahkan oleh orang yang lebih mengenal aku selain aku). Ini dia:
1.     Aku bertanya-tanya tentang waktu, waktu yang melatari peristiwa-peristiwa di panggung, berdasarkan lampu-lampu. Bisa? Tidak. Karena aku buta terhadap hal ini. Aku cuma menebak-nebak saja. Mungkin ini malam karena lampu redup. Oh mungkin ketika adegan itu waktunya pagi karena lampu oranye puas sekali, dan seterusnya.
2.    Ada adegan Nyoman bermonolog di salah satu sisi depan panggung (jangan tanya kanan-kiri!), tetapi lampu tersorot ke Gusti Biang. Aku lalu mencari-cari lampu untuk Nyoman. Apa memang tidak ada atau tidak menyala? Padahal dalam adegan itu Nyoman emosional sekali sampai berlelehan air mata. Di mana lampu? Mengapa kami tak diizinkan fokus melihat itu?
3.    Adegan lain adalah dialog Nyoman dengan Ngurah. Itu dialog lumayan panjang. Lagi-lagi tidak ada lampu untuk mereka. Aku bertanya-tanya sendiri. Apa yang penting hanya Gusti Biang? Ini sebab lampu untuk Gusti Biang kupikir tidak berkurang. Ini menarik.
4.    Puncak ketertarikanku terletak di ending. Semua lampu mati, kecuali sebuah lampu teplok (yang mulanya kupikir properti mati). Ia menjadi satu-satunya cahaya—yang tak lama kemudian ikut mati. Kegelapan sempurna. Total. Ketika itu melintas fragmen “Doa”-nya Chairil Anwar di benakku: “tinggal kerdip lilin ditelan sunyi”.

          Beberapa detik setelah semua cahaya padam, lampu kembali menyala sebagai tanda pertunjukan usai dan penonton dapat leluasa memberi apresiasi dengan tepuk tangan. Di sana aku membuat keputusan: kegelapan sempurna itu ada, tetapi tidak selamanya.

(4 Mei 2014)