Selasa, 29 April 2014

Angin Itu

          Angin.
          Belakangan aku suka sekali merasakan angin. Kami bicara banyak hal.
          Pun malam ini.
          Angkot penuh. Aku memilih memejamkan mata saja sebab bingung: mata mesti memandang apa?
          Aku merasakan angin. Tiap kali kepalaku merunduk, ia mengangkat daguku. Kepalaku turun lagi, ia buat mendongak lagi. Tak dibiarkan aku takluk dengan pikiran sendiri.
          Melaluinya aku mendengar suara dering bel sepeda di angkot ini. Aneh memang, ada suara bel sepeda. Yah, barangkali  itu suara mesin angkot entah bagian apa. Yang kutahu, ada suara dering bel sepeda—kadang-kadang menjelma suara bel pulang. Entahlah. Ini menyenangkan.
          Suara dering bel sepeda bikin aku ingat sepeda sundung Bapak. Pernah aku coba kendarai lalu menabrak rumah tetangga. Sepeda Bapak itu dimaling orang. Dia masih ada nggak ya? Semoga malingnya merawat sepeda Bapak dengan baik.
          Suara dering bel sepeda mengingatkan aku juga dengan suara notifikasi whatsapp-ku. Irama post man. Barangkali aku sedang berharap suara misteri mesin angkot itu suara ponselku.
          Suara bel pulang sesekali terdengar. Tentang bel pulang memang aku suka bertanya-tanya: mengapa suara bel pulang itu begitu menyenangkan? Apa belajar itu menjadi hal yang membosankan, sehingga bel pulang bisa bikin riang?
          Sedang aku mengira-ngira sebab aku dengar suara bel sepeda (atau bel pulang), angin melempar sehelai rambut ke mataku yang masih memejam. Ia menggunakan rambut mbak-mbak yang duduk di sebelah kiriku. Kita sebut saja Mbak Sebelah.
          Aku terkejut dilempar sehelai rambut. Kagetku belum selesai, angin melempar sehelai lainnya. Kali ini mendarat di keningku: meluruskan kernyitan yang terpeta di sana. Aku baru menyadari keningku mengerut.
          Kini ia mulai iseng. Ia menggelitikiku dengan melempar beberapa helai rambut Mbak Sebelah ke hidung. Aku kegelian. Aku menggerak-gerakkan hidungku mengusir rambu-rambut itu. Angin makin meledek. Ia mengirim rambut yang lainnya untuk dihempas ke kening, ke mata, ke hidung. Aku senyum-senyum sendiri.
          Sedetik kubuka mataku. Mbak yang duduk di depanku sedang memandang ke arahku. Kita sebut saja Mbak Depan. Ia tak sempat melarikan matanya. Aku memejam lagi. Kubiarkan Mbak Depan dengan pikirannya. Mungkin ia bertanya-tanya perihal aku yang tersenyum-senyum sendiri. Kasihan sekali Mbak Depan, tak bisa ia kubagi cerita bahwa aku sedang bercanda dengan angin.
          Angin lalu bercerita tentang kaca-kaca angkot yang gemetar. Mereka kusam; jejak zaman. Sekonyong-konyong kudengar, “Sudah biasa begini.”
          Hidup kaca-kaca angkot itu tentu membosankan. Mereka tidak tampak ceria. Kupikir mereka dimandikan asal saja. Bisa jadi malah mandi dengan lap kotor. Aku komat-kamit saja, “Semoga kamu bahagia, Kaca-kaca Angkot.” Aku yakin angin akan melakukan tugasnya: menyampaikan pesan kepada kaca-kaca angkot yang gemetar.
          Begitulah. Aku sedang suka merasakan angin. Ia bisa menemani matahari, ia bisa menyertai hujan. Kemarin ia membawakanku bau durian dan bau martabak. Pernah ia jejalkan bau tinta spidol dari tempat pensil pertanda ada tutup spidol yang terlepas.
          Ya, aku sedang suka merasakanmu. Nyanyikan irama napasmu, Angin.

(28 April 2014)


Senin, 28 April 2014

Jalan Nunduk

Hei, ayam,
          kenapa, sih, kamu kalau jalan nunduk-nunduk gitu? Malu? Sopan? Cari duit?


Salam,


aku

Jumat, 25 April 2014

Sepotong Malam

Zus,
          Kembali aku menemaninya malam itu. Oke, dia menemaniku. Oh ya, baiklah, kami saling menemani.
          Sebagaimana yang sudah-sudah, ia lebih dulu terlelap daripada aku. Dengkurnya mengisi udara. Beberapa kali ia bergerak-gerak; tidurnya gelisah.
          Aku menyanyikan lagu pengantar tidur kesukaanku: Garuda Pancasila. Setelah itu, aku lantunkan pula lagu Pemilu, Bungong Jeumpa, Kampuang nan Jauah di Mato, hingga Yen Ing Tawang. Aku tahu dia sudah tidak lagi mendengarkan.
          Betapa bahagia itu mudah, Zus. Aku merasa memilikinya malam itu. Ya, aku merasa memilikinya dan hampir lupa kalau nanti kokok pagi terdengar ia harus kembali ke tempatnya: bumi.

Zus,
          Malam ini aku sangat merindunya. Namun, yang paling baik memang kami berada di tempat kami masing-masing.



Bidadari dari Negeri Hujan Bunga-bunga yang suka naik angkot dan suka es grim,



Ika Fitriana

Kamis, 24 April 2014

Dear Zus

Bekasi, 23 April 2014

Dear Zus,
          Entahlah, aku kepengin sekali mengajakmu menulis surat. Tulislah surat. Tujukan saja buatku. Ceritakan tentang kamu atau perempuan yang duduk di sebelahmu sewaktu di angkot atau tentang perempuan yang kausebut Mbok Jamu.
          Ceritakan kepadaku tentang apa saja. Apa-saja!
          Bagaimana pekerjaanmu sehari-hari?
          Apa saja yang kaulakukan?
          Apa yang kamu rasakan?
          Apa mimpimu?
          Apa rencana-rencanamu?  
          Apa yang kamu pikirkan melihat cilok di jalan?
          Bagaimana caramu melihat knalpot asap bajaj?
          Apa saja. Tulis di blogmu lalu mari publikasikan bersama Jumat (25/4) besok pukul 19.00. Ingat, lempar link postinganmu ke akunku (@ikafff), yak! :B
          Apa kaumau, Zus? Mau. Yuk!


Salam hangat,

(bukan) Nyonya Londo itu


Papa Kucing

          Sore hari, tidak ada jadwal waktu itu. Aku dan Mbak Wati duduk di ruang pengajar. Kami sama-sama menghadap laptop. Virgie, siswi 2 SD, masuk lalu duduk di tengah-tengah kami. Ia bukan siswa sini, hanya menunggu kakaknya les.
          Mulanya ia bertanya-tanya, “Itu apa?” sambil menunjuk-nunjuk laptop Mbak Wati atau laptopku. Lama-lama ia bosan. Ia ingin corat-coret. Aku memberinya selembar kertas. Ia mulai menggambar.
          Kami penasaran. Apa yang ia gambar?
          Ia menggambar dirinya sendiri. Aku menyela dengan menanyakan hal-hal semacam, “Rambutnya mana?” Dia lalu menambahkan gambar rambut. “Antingnya mana? Virgie kan pakai anting Hello Kitty.” Dia mengingat-ingat bentuk kucing tokoh kartun itu dan menambahkan dalam gambarnya. “Em, bajunya kok polos? Bajunya Virgie kan kembang-kembang.” Dia sedikit mengeluh, tapi tak urung dia melihat bajunya. Kini gambarnya sudah berbaju bunga-bunga.
          Sambil terus menggambar, ia berucap, “Ini ada mama kucing. Ini anaknya kucing.”


          Aku melihat gambarnya. “Loh, kok anak kucing cuma sama mamanya? Papanya mana?”
          “Kerja.”
          “Kerja papanya kucing apa?”
          “Mencari ikan.”
          “Ya coba digambar juga dong papanya.”
          “Iiiih… .” Meski mengeluh, ia membuat sebuah gambar lagi. Kali ini ada papanya kucing.

          Ah, sore yang menarik. Terima kasih, Tuhan, sudah mengirimkan Virgie. :’)

(17 April 2014)

Selasa, 22 April 2014

Surat untuk Lurah Ngricik

Bekasi, 22 April 2014

Yth. Lurah Dukuh Ngricik,
Wonogiri

Pak Lurah yang baik,
          Adalah sebuah kebahagiaan mengetahui tulisan saya yang berjudul “Gemericik Air di Ngricik” tiba di mata Anda. Sungguh saya tersanjung. Ibu saya yang baru saja kembali dari kampung memberitahukannya kepada saya.
          Saya barangkali tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Anda, memang, tetapi saya berharap surat ini cukup untuk menjalin kabar.

Pak Lurah yang baik,
          Saya masih menyimpan keinginan untuk kembali ke Ngricik, tempat ibu saya lahir, tempat saya menghabiskan liburan cawu dulu. Saya paling suka main ke kali—ah, Anda sudah tahu itu. Saya juga menyukai momen naik “angdes” (mobil pribadi yang difungsikan sebagai transportasi umum) menuju pasar. Masa-masa yang menyenangkan.

Pak Lurah yang baik,
          Saya juga masih menyisipkan harapan Ngricik dapat hidup dan berjalan dengan sejahtera dan bersahaja; gadis yang tidak kehilangan kecantikannya. Semoga pengaruh buruk terfilter. Semoga masyarakatnya semakin cerdas dengan tetap rendah hati.

Pak Lurah yang baik,
          Pimpin Ngricik agar lebih baik. Entahlah, saya tidak tahu penyampaian saya cukup sopan atau tidak karena takut terlalu banyak eufimisme malah mengaburkan maksud.

Pak Lurah yang baik,
          Sekian surat saya. Melalui tulisan ini, saya menitipkan Ngricik dan nasib Pak Lik dan Bu Lik saya. Saya tahu beberapa produk penanda kemajuan zaman tidak akan sampai kepada mereka secara langsung, tetapi saya yakin mereka akan dapat merasakannya melalui Anda. Sekali lagi terima kasih sudah mengapresiasi cerita saya. Semoga Ngricik menjadi lebih baik.



Salam hormat,


Ika Fitriana


Senin, 21 April 2014

Perempuan Penyuka Matahari

Dadaku sesak lagi
bukan asma, setahuku
tidak pula ada yang sedang merokok
di ruang berpendingin ini

Badanku gigil

Aku memutuskan untuk bertemu dengannya
: matahari

Aku suka matahari.
Ia suka bercanda
mengeluarkan sinar lebih tajam, misalnya
kening orang-orang mengerut karena ini.

Hahaha.
Aku suka memperhatikan ekspresi mereka.
Bagi mereka, matahari menjadi musuh.
Bagiku, matahari hanya anak nakal yang suka iseng
dan cari perhatian.
Dia hangat.

Pernah aku
kala dada sesak
dan badan gigil
aku keluar kantor
lalu duduk di pinggir tempat parkir
semata mendapatkan
sinar matahari

Kunamai bertemu matahari.
Literalnya menghangatkan tubuh
Maklum, tubuhku memang tidak didesain untuk akur dengan dingin.

Beberapa menit di situ
tanpa melakukan apa-apa
aku diperhatikan orang-orang
aku memikirkan apa yang sekira mereka pikirkan
: “Siapa perempuan yang duduk di pinggir tempat parkir?”
atau
: “Ngapain dia di situ?”

Kalau sudah berpikir macam ini,
aku merasa sangat iri dengan perokok.

Ya.
Seorang perokok bisa dengan leluasa
keluar dari kantor
dan bisa menjawab pertanyaan teman dengan mudah,
“Ngerokok bentar.”

Lha aku?
Masa aku bilang, “Mau bertemu matahari”?
Ya makin lengkap aku dibilang gila.

Orang gila yang tidak terima dibilang gila
—karena sedang tak mau.

Pernah aku
ingin bertemu matahari
tapi tak hendak menjadi pusat perhatian
karena duduk di pinggir tempat parkir
aku lantas berjalan-jalan
memutari pertokoan
aku berjalan dengan lagak orang akan beli makan
demi bisa diri dihangatkan.

Ah ya, begitulah.
Aku suka matahari!


(20 April 2014)


(Tulisan yang dibuat untuk dipublikasikan bersamaan dengan Putri Widi Saraswati yang menuliskan "Perempuan yang Berbicara pada Matahari" dan Vanda Kemala yang mengawinkan tulisanku dan Widi dalam "Perempuan yang Ingin Dipeluk Matahari")

Jumat, 18 April 2014

Misi Kecoa

Hai, kecoa,
          Kenapa, sih, kamu hobi banget ngejengkang-jengkang? Apa kamu nggak punya kerjaan lain selain ngejengkang gitu? Em, apa sih sebetulnya misimu datang ke bumi ini?



with love,


Aku yang suka bikin kamu ngejengkang

Rabu, 16 April 2014

Raksasa Bermuka Menyeramkan

          Raksasa bermuka menyeramkan berambut panjang duduk di gunung. Barangkali ia pikir gunung itu batu kali. Ia sangat besar, tetapi orang-orang tidak ambil peduli.
          Raksasa sangat iri kepada orang-orang berukuran seperti semut. Mereka hilir mudik ke sana ke sini, saling menyapa satu sama lain. Ia? Sendiri tak berkawan.
          Siapa pula mau berteman dengan makhluk seperti dia?
          Raksasa lalu merasa ia sangat perlu memeluk dirinya sendiri.

(2 April 2014)

  

Selasa, 15 April 2014

Man

Teruntuk Manusia

          Gini, lho, Man, saya ini memang pohon di pinggir jalan, tetapi bukan cuma. Saya makhluk hidup juga. Bahasa saya memang tak sama dengan bahasamu, sehingga barangkali ini menjadi penyebab ketidakmengertian di antara kita.
          Aku mau komplain, Man. Mengapa kami, pohon-pohon di pinggir jalan, sering sekali kautempeli iklan-iklan? Kautancapi tubuh kami dengan paku. Belum lagi ada anak muda yang jatuh cinta. Mereka goreskan nama mereka pada tubuh kami.
          Sekarang gini, Man, kalau aku yang melakukan itu kepadamu bagaimana? Mau kau ditancapi paku? Mau kau punya goresan nama di tubuhmu—apalagi bukan namamu?
          Man, apa kau pernah tanya pendapatku tentang iklan-iklan yang kautancap di tubuhku? Pernah minta izinku?
          Kalau boleh memilih, Man, barangkali aku lebih senang tinggal di kebun raya (yang harga tiketnya sudah naik itu) atau taman saja. Badanku nggak belepotan polusi dari kendaraanmu, Man.
          Ah, iya, tambahan, Man. Manusia yang berjenis laki-laki. Mereka—kadang juga kucing atau anjing—suka mengencingi tubuhku. Mereka mau menandai wilayah kekuasaan juga atau bagaimana, Man?
          Itu saja dulu, Man. Terima kasih sudah membaca suratku. Semoga terjalin pengertian di antara kita.


Salam,


Pohon di pinggir jalan dekat pengkolan

Minggu, 13 April 2014

Mau Naik Odong-odong

Rumah, 1 Juni 2015

Yah,
          Mama pengin naik odong-odong itu, deh! Terutama yang bentuknya kereta. Kayaknya asyik gitu. Nanti, kalau kakak udah lahir, Mama ajak naik odong-odong ya, Yah? Eh, Ayah mau ikut juga nggak? Seru lho, Yah! Nanti kita foto-foto, deeeh. Hehehe… .

Salam kecup,

Mama


p.s.: nanti pulang kerja belikan martabak, ya! Eh, es krim colek juga!

Jumat, 11 April 2014

Mahlan

perempuan datang dari langit
kala semesta masih muram
ada bumi di pelupuk matanya
menggelayut ke mana ia memandang

dia perempuan bernama Mahlan
yang tidak sesuai dengan namanya

(30 Maret 2014)


Rabu, 09 April 2014

Menyelamatkan Es Krim

          Kami berencana bertemu di sini: sebuah mal yang ramai. Aku bersembunyi di balik mesin pendingin minuman. Di tanganku tergenggam sebuah senjata laras panjang. Mataku terpusat ke satu arah.
          Ah, itu dia datang!
          Seorang pria bertampang menyeramkan muncul. Aku menyiapkan senjataku, mengumpulkan fokus, lalu “DAR!”
          Sebuah peluru bersarang di tubuhnya. Dia lalu jatuh.
          Dengan penuh kemenangan, kuhampiri ia. Sayangnya oh sayangnya, banyak es krim colek yang sangat kuinginkan jatuh berantakan begitu saja di sekitar tempatnya terjatuh.
          Ternyata dia membawa es krim!
          Pikiran jeniusku langsung bekerja. Dengan hanya memerlukan beberapa alat (kuambil saja dari sekitar situ), aku bisa mengubah fungsi mesin pendingin minuman menjadi mesin waktu!
          Lekas aku masuk ke mesin waktu dan kembali ke masa ia datang tadi. Tak lupa kubawa jam “pembeku waktu”-ku.
          Sudah aku sampai di waktu dia datang, aku langsung memencet jam “pembeku waktu” yang seperti di video klip Falling in Love at a Coffee Shop Landon Pigg.
          Ctek.
          Semua orang diam tak bergerak, kecuali aku. Mesin-mesin bergerak normal. Aku menghampirinya, hendak mencari es krim yang dibawanya. Di tangan sebelah kanan yang disembunyikan di balik badan itulah es krim berada. Es krim colek stroberi!
          Set.
          Aku berhasil menyelamatkan es krimnya! Hahaha! Aku tertawa puas.
          Kupencet lagi jam “pembeku waktu” dan ketika ia bisa bergerak, peluru sudah tiba di depannya. “AAAAK!” teriaknya.


(30 Maret 2014)

Senin, 07 April 2014

Berjumpa Tokoh Masa Depan

Kamu percaya masa depan Indonesia akan lebih baik?
Aku percaya.
Coba lihat gambar ini!

          Itu gambar sebagian siswaku kelas 4 SD. Yang bertopi bernama Bintang Priyasadewa (Bintang), yang berkaus putih bernama Kevin William (Kevin), perempuan berkucir bernama Ilma Suci Utami (Ilma), dan yang berbaju batik bernama Karann Adiya Dwinanti (Kaka).

          Sini aku perkenalkan mereka.
          Bintang Priyasadewa. Dia anak yang cerdas. Seorang pengajar matematika memberikan soal dua hingga tiga kali lebih banyak kepadanya dibanding kepada anak lain. Mengapa demikian?
          Bintang membawa watak anak cerdas pecicilan. Ia tidak bisa diam kalau sudah selesai dengan tugasnya. Kecepatannya menyelesaikan tugas bisa dua kali lebih cepat dibanding anak lain. Selebihnya ia anak biasa: berisik, suka mengganggu, dan lincah.
          Di masa depan nanti aku tidak heran kalau dia jadi pemimpin. Ia bisa menggerakkan teman-temannya untuk melakukan sesuatu dan tidak takut menghadapi kakak kelas yang usil kepadanya. Yang masih menjadi PR untuknya adalah sabar dan mau mendengarkan.

          Kevin William. Ia anak yang tidak banyak bicara dan berhati lembut. Dalam mengerjakan soal, ia selalu berhenti di soal yang tidak dimengerti tanpa mau bertanya. Meski begitu, ia bukan anak yang pelit. Ia mau meminjamkan mainan atau alat tulisnya.
              Di masa depan nanti barangkali akan banyak orang yang curhat kepadanya karena ia tipe pendengar atau meminta pertolongan kepadanya karena ia tidak keberatan membantu. Yang masih menjadi PR untuk Kevin adalah kemampuan menyampaikan pendapatnya dan menghadapi hal yang sulit baginya.

          Ilma Suci Utami. Sekilas ia tampak pendiam. Dalam kenyataannya, ia sama sekali bukan anak pendiam, juga bukan pemalu. Ia berani maju ke depan dan percaya diri. Ia ramah dan suka membantu yang lain. Ketika Kevin memiliki kesulitan, misalnya, ia akan membimbing Kevin.
          Hobinya membaca. Taraf bacaannya sudah sampai novel—walau masih novel kanak-kanak. Pernah ia membawa Ulysses Moore, sebuah novel terjemahan dari Itali. Buku itu memang untuk anak-anak, tetapi kuduga untuk anak dengan kelas yang lebih tinggi: kelas 6 atau SMP mungkin. Novel tersebut berisi tentang misteri. Ia memilih sendiri buku tersebut—mulanya kupikir buku itu merupakan saran dari orang tuanya. Karena ia suka membaca, kusarankan novel Bliss dan Totto-chan. Ia senang sekali. Tadinya mau kuanjurkan juga 5 Sekawan, tetapi aku tidak tahu buku itu masih ada di toko buku atau tidak.
          Melihat Ilma, Tina Talisa terlintas di benakku.

          Karann Adiya Dwinanti. Ia anak yang sangat suka bercerita. Ia ingin punya adik empat agar ada yang bisa membantunya mencuci mobil, merapikan rumah, dan seterusnya. Ia salah satu anak yang kritis yang suka mempertanyakan ini-itu. Ia juga suka membaca. Hanya saja, berbeda dengan Ilma, bacaan yang dipilihnya adalah komik sains. Kalau kautanya tentang buku yang dibacanya, dengan riang dia akan menuturkan panjang lebar lengkap dengan pendapatnya sendiri dan pertanyaan-pertanyaan semisal: Kakak percaya UFO itu ada?
          Jika tadi Tina Talisa yang membayang, sekarang Pak Habibie yang sedang berdiri di samping Gatotkaca ciptaannya (N-250) terbit di kepala.

Nah, sekarang, aku merasa tenang menatap masa depan. Indonesia akan lebih baik. Aku punya mereka. Kamu juga. Kita masih bisa berharap. Kalau kau ragu dengan masa depan, berkeinginan menciptakan masa depan yang lebih baik, masuklah ke dalam kelas. Di sana kau bisa berinteraksi langsung dengan tokoh masa depan.

(5 April 2014)

Jumat, 04 April 2014

Minta Bocoran

Om Malaikat yang baik,
          Gini, Om. Sebelumnya saya minta maaf jika menulis surat ini dianggap lancang. Saya merasa perlu menuliskan ini.
          Om, boleh minta bocoran nggak kapan Tuhan memanggil saya untuk pulang?
          Plis, Om, kasih tahu, dooong… .
          Om, saya ini belum jadi anak baik untuk orang tua saya. Saya sangat menyayangi mereka. Itu sebab saya ingin melakukan lebih banyak hal untuk mereka.
          Om, plis, cabut nyawa saya nanti jangan mendadak. Saya mesti melihat orang-orang yang saya kasihi tersenyum bahagia. Tertawa malah. Saya ingin bahagia bersama mereka!
          Om, saya beneran, nih! Kasih bocoran, ya!
          Ini saja isi surat saya. Titip salam buat Tuhan, tetapi jangan beri tahukan kalau saya minta bocoran. Oke, Om? Janji dulu, dong, akh (nyodorin jari kelingking).

Salam.


p.s.:
ummm.. seharusnya aku pakai “Om” atau “Tante”? ._.

(28 Januari 2014)

Kamis, 03 April 2014

Rujak Kangkung

Januari 2014

Teruntuk Dwi Hastaningtyas
Di Baret Biru

Yaaaaaaaaaasssss… .
          Apa kabar lu?
          Hahaha… iya, gue tahu, ini udah bukan zamannya lagi ber “elu-gue” secara buntut lu udah dua. Iya, gue tahu nanti takutnya kasih pengaruh buruk ke anak lu.
          Eh, anak lu beneran dua kan, ya? Apa udah lima kayak balonku?

Yas,
          Lu di mana sekarang? Masih di Baret Biru?
          Gue sih mengalamatkan surat ini ke Baret Biru yang kata lu dulu luasnya segede alaihim gambreng.

Yas,
          Gue lagi keingetan lu, nih! Terutama yang paling gue inget kita lagi duduk di teras perpus Rawa Bunga buat ngerjain tugas “Pocut Muhammad”. Mata kuliah apa sih tuh dulu? Sastra Nusantara apa Kapita Selekta Sastra?
          Iya, kita cari bahasan  “Pocut Muhammad”. Ingat nggak lu, dulu lu nyebutnya “coput” gara-gara lu selalu ingat sama yayang lu dulu.
          Eh, ini suami lu nggak ikutan baca, kan?
          Ah, ikutan juga biar aja. Toh, udah berlalu juga.

Yas,
          Inget nggak, waktu di perpus Rawa Bunga itu kita ngobrolin banyak rencana. Yang pengin dateng ke GRJT-lah buat nonton orang latihan teater (tapi ternyata pas kita ke sana nggak ada yang lagi latihan, ya? Hahahaha). Terus, curhatan kita tentang “doi” kita masing-masing sampai mengkhayal tentang apa aja!

Eh, iya, Yas,
          Lu inget nggak, dulu kita sering kirim “sms” kertas pas kuliah. Nah, kertas-kertas itu kan masih gue simpen sampai sekarang! Sms kertas dari anak-anak yang lain juga. Salah satu sms kertas gue sama lu isinya tentang mbak-mbak yang gelantung  di metro terus bulu keteknya yang segambreng keluar semua. Iya, gue pernah cerita itu tauk! Gue bilang, di metro gue liat mbak-mbak bajunya pendek, gandul di samping gue, terus bulu keteknya keliatan. Ada mas-mas yang ngeliatin gitu. Terus, komentar lu adalah: si mbak-mbak itu orang kaya.
          Berhubung gue bingung, lu bilang lagi, “Iyalah. Dia orang kaya. Lo liat kan, dia punya hutan sendiri. Kira-kira binatang apa aja yang dia pelihara di situ ya?”
          Khak. Semprul!
          Em, tapi zaman dulu mah cewek bulu keteknya keliatan itu keren, sik!

Yas,
          Gue nggak tahu sih lu bakal baca ini atau nggak. Kalaupun dibaca entah dibacanya kapan. Tapi, di sini, gue pen bilang (teriak kalau bisa): HUWAAAAAAAA~~ TYAAAAAASSSS~ GUE KANGEN ELOOOO~ KEMBALILAH PADAKUUUUUU~ LUPAKAN SUAMIMU~~
Lah?
          Ngaco, ah.

Yas,
          Segini aja surat dari gue. Kapan-kapan dilanjut lagi yak. Ehiya, tentang “rujak kangkung” yang gue jadiin judul di sini itu karena gue inget emak lu yang jago betul bikin rujak kangkung. Salam ye, buat doi! Lu bisa bikin rujak kangkung seenak emak lu, nggak? Kalau bisa, undang-undang gue yaaa… . Kita adain “rujak kangkung party”! Hahaha.

Yas,
          Ah, gilak!
          Gue kangen bet, ah. Hahahaha… .
          Selalu bahagia, ya, Jeng! Mwachk!


Salam kecup banyak,


Ika Fitriana