Rasanya
sudah lama sekali—berjuta tahun cahaya, dia bilang—dia tak berjumpa dengan lelakinya.
Ketika akhirnya lelaki dengan wajah itu muncul, dia bersukacita. Sayangnya,
sukacita hanya sebentar. “Aku tidak bisa lama, aku harus kembali,” kata lelaki.
Perempuan
tak mengerti. Bukankah ia merupakan rumah? Tempat lelaki kembali? Mengapa lelaki
bilang tadi kembali?
Mata
perempuan lemah. Ia merasa bahagianya direnggut. Mendadak ia kesal pada lelaki.
“Mengapa datang bila lekas engkau pergi?”
Perempuan
tahu, ketika ia bilang begitu, ia tahu ia akan lebih sedih bila sama sekali
tidak melihat lelaki. Namun, saat baru datang sudah mengatakan pulang, pula
tidak bisa membuatnya menyembunyikan kesedihan.
Rindunya
sudah membengkak: sakit bila kausentuh sedikit saja. Perempuan membayangkan,
ketika lelakinya datang, mereka akan berjalan-jalan sambil mengobrol tentang
hal tidak penting lalu tertawa. Ah, ekspektasi.
Kesedihan
yang berubah jadi kesal lalu kesal bercampur ekspektasi yang gagal mewujud
kemarahan. Ia marah kepada lelaki. Ia angkat tas lelaki ke luar rumah dan
mempersilakan lelaki itu pergi.
Barangkali kau sudah berusaha datang
untukku, mengorbankan entah apa saja; barangkali kau tidak bisa mewujudkan
ekspektasiku; barangkali malah kau sudah berusaha keras mencintaiku, yang tak
kaumampu sepenuh hati; dan aku marah sekali untuk segala hal yang tidak bisa
dicapai bersamaan, sekaligus. Rinduku dan rindumu berpisah tujuan, “keinginan
berjumpa”-ku dan “keinginan berjumpa”-mu bersimpang jalan.
Lelaki—yang barangkali
pula sudah disabar-sabarkan bertemu dengan perempuan hanya karena perempuan
bilang mereka kekasih—menjadi marah. Ia mengangkat tasnya dengan kemarahan yang
tak disembunyikan lalu pergi dari rumah perempuan.
Lelaki
merasa tidak dihargai.
Perempuan
kembali melakukan tugasnya di Minggu siang: menjemur pakaian. Seekor kelabang
besar tiba-tiba muncul dari pakaian. Perempuan menjerit, tapi tak ada lelaki
yang membantu mengusir kelabang atau sekadar menenangkannya.
(18 September 2016)