Untuk Jemmy Riga Suparno
Pulau ini seperti dihukum kelebihan
beban. Tiap detik penduduknya bertambah 3 orang. Tiap saat area hutannya makin
berkurang. Saat ini, ada 132 juta orang mendiami areal hanya 13,2 juta hektar
di Jawa. Atau kepadatan rata-rata per kilometer persegi adalah 1.000 jiwa.
Jalan Anyer – Panarukan yang dulu dirintis Daendels, sekarang menjadi kampung
sambung-menyambung. Menjadikannya deretan pemukiman padat terpanjang di bumi.
Karena desakan kebutuhan, hutan menjadi prioritas paling belakang untuk
diselamatkan. Di Jawa, sekarang tinggal 1,9 juta hektar hutan tersisa; atau 14%
dari total area. Itu pun kebanyakan bukan hutan alam. Jadi, Sarongge bukan
kekecualian. Sin, hutan di tempatmu makin gundul karena orang-orang terpaksa
membuka kebun sampai ke lereng-lereng Gunung Gede.
Padahal, sampai dua abad lalu,
sebagian besar Pulau Jawa masih tertutup hutan rimba. Ketika Stamford Raffles
menjabat Gubernur Jenderal Jawa, 1811 – 1815, dia memperkirakan 4/5 dari area
Jawa masih berupa hutan rimba. Kalau kita ambil mudahnya, maka hutan waktu itu
10 juta hektar lebih. Tak heran, kalau banyak catatan lain menunjukkan, para
pejabat yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, akan melewati hutan.
Dari Jakarta ke Bogor saja melewati hutan. Apalagi dari Bogor ke Bandung. Hutan
ada di mana-mana.
Hutan menjadi bagian tak terpisahkan
dari hidup masyarakat Jawa. Baik yang pola pertaniannya berladang seperti di
Jawa Barat (Sunda), maupun masyarakat sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Konon, orang ladang memandang hutan rimba sebagai bagian dari dirinya. Ada
kesatuan kosmologik antara tempat hunian, ladang, dan kuburan atau peninggalan
sejarah, serta hutan rimba. Para peladang di Sunda menganggap di tengah-tengah
hutan rimba ada masyarakat makhluk halus. Bahkan, raja-raja Sunda menjelma
menjadi “harimau putih” di hutan-hutan.
Berbeda dengan masyarakat sawah di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bagi mereka hutan adalah tempat tinggal roh-roh
jahat. Hutan itu angker karena mengandung malapetaka dan ancaman. Dalam cerita-cerita
wayang kulit selalu dikatakan jarak antarnegara dipisahkan hutan-hutan. Setiap
perjalanan seorang ksatria dari satu negara ke negara lain harus melewati
hutan. Perjalanan melewati hutan ini selalu dihantui para raksasa yang
menghadang dan ingin memakan para ksatria. Pandawa selalu dicegat Cakil dan
gerombolan raksasanya dalam perjalanan melewati hutan. Raksasa Cakil itu tak
pernah mati selama hutan rimba di Jawa masih ada. Demikian menurut sastrawan
Jakob Sumardjo.
Sin, tidak heran kalau di Sarongge,
ada kisah tentang Eyang Haji Suryakencana; yang ritualnya kalian lakukan setiap
purnama di bulan Mulud. Suatu hari, bolehkah aku ikut ritualmu ke Suryakencana?
Berjalan bersama teman-temanmu, petani yang ingin berziarah ke tempat Eyang
Suryakencana. Aku sekalian ingin menengok edelweis yang kudengar makin terancam
punah di lembah itu. Sungguh sayang, kalau bunga abadi yang diidolakan para
pendaki itu punah. Kita berhutang pada generasi mendatang untuk tidak
mewariskan edelweis hanya dalam gambar, tetapi juga bunga abadi yang
sebenarnya.
Aku
tahu kamu punya masalah sendiri: menjaga keseimbangan kebutuhan petani dan
kelestarian lingkungan hutan di Sarongge. Kisah tentang Hutan Pasir Pogor yang
angker, di dekat kita menanam pohon pekan lalu, mudah-mudahan membantu kamu
mempertahankan hutan itu, dari jarahan petani yang lapar tanah. Tidak mudah
memang, menjaga alam ketika warga sekitarnya terjerat kemiskinan. Aku terkesan
dengan prinsip Tiga-O yang dikatakan temanmu, Duroni, di madrasah pekan lalu.
Dia benar. Tak mungkin menjaga hutan kalau manusianya kelaparan. Mengingat
Duroni, aku menyadari kebajikan memang bisa muncul dari mana saja.
Dan serangan pada hutan tidak hanya
muncul dari ledakan penduduk yang kelaparan. Kehancuran hutan terutama juga
dipicu oleh keserakahan. Pada awalnya yang merusak hutan di Jawa adalah
perusahaan-perusahaan Belanda. Masa ketika VOC berkuasa, mereka mengeksploitasi
hutan jati di Jawa dan meninggalkan kerusakan parah. Pemerintah Belanda
kemudian melanjutkan perusakan itu demi mengejar pendapatan yang sangat tinggi
dan industri kapal yang butuh kayu jati.
Tahun 1865, Belanda mengeluarkan UU
yang membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara),
hutan jati bukan di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan
hutan yang ditumbuhi pohon-pohon utama selain jati. Beberapa tahun kemudian,
terbit lagi UU yang membagi hutan-hutan jati Jawa dalam 13 “distrik hutan jati”
di bawah djati bedrijf (perusahaan jati negara). Tapi itu semua tak menolong selamatnya
hutan jati. Kebutuhan akan penjualan selalu lebih cepat dibanding waktu yang
dibutuhkan untuk menanam. Perlu belasan tahun untuk merawat pohon jati sampai
siap panen, tetapi hanya perlu beberapa jam untuk menebangnya. Alam tak pernah
sanggup memenuhi keserakahan manusia.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan
hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Tekanan pada hutan tidak
menyurut. Tahun 1950, luas hutan di Jawa tinggal 5,1 juta Ha atau tinggal
setengah dibanding ketika Raffles memerintah di Jawa. Jawatan Kehutanan
kemudian berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Perhutani pada 1963.
Status PN diubah lagi menjadi Perusahaan Umum (perum) Perhutani pada 1972
ketika negeri ini diperintah Orde Baru. Rezim itu, kita kenal sangat mendukung
perkembangan modal dan privatisasi aset-aset publik. Hutan menjadi lebih cepat
digunduli.
Pada 2001, setelah reformasi, Perhutani berubah bentuk dari perum
menjadi perseroan terbatas, yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Ini
semakin ngawur saja. Banyak pihak keberatan terhadap peraturan ini, mengingat
pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai
ekonominya. Lebih dari seperenam penduduk Jawa tinggal di dalam tinggal di
dalam atau sekitar kawasan Perhutani. Artinya sekitar 20 – 25 juta jiwa. Jumlah
itu sangatlah banyak. Mereka itu bergantung langsung pada keberadaan hutan jati
di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu, pemerintah mengembalikan bentuk perhutani
menjadi perum pada 2002.
Masyarakat desa di sekitar hutan perlu
dana cepat setelah tertimpa krisis ekonomi. Sementara itu, pembeli kayu jati
terus meningkat. Industri mebel kayu di Jawa sedang melesat perkembangannya.
Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya. Penjarahan
itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum.
Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki
hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati
itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisi ekonomi
menimpa Indonesia, masyarakat memanfaatkan kesempatan.
Tetapi, pada saat itu mulai muncul
kesadaran baru untuk mengembalikan tanah Perhutani yang rusak menjadi hutan
kembali. Salah satunya di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sekitar
7000 Ha tanah Perhutani dialih-kelolakan kepada taman nasional. Termasuk di
Sarongge. Itu sebabnya, kamu dan para petani Sarongge sekarang mesti berurusan
dengan taman nasional, menghutankan kembali areal Sarongge lewat program adopsi
pohon. Hutan bukan lagi untuk produksi, melainkan bagian dari konservasi.
Konservasi yang juga memberi manfaat untuk penduduk sekitar.
Sin, aku berharap program adopsi pohon
di tempatmu berhasil supaya area hutan di Jawa tidak terus menyempit. Sebab,
hutan yang hilang tak pernah punah sendiri. Ia juga membawa punah beberapa
satwa asli Jawa, seperti harimau jawa. Ada juga yang terancam punah seperti
badak cula satu, elang jawa, owa jawa, dan macan. Aku ingin sekali mendukung
programmu, memperluas hutan Sarongge. Memberi daya dukung yang lebih baik untuk
satwa endemik yang hampir punah ini. Generasi setelah kita berhak untuk melihat
badak atau macan tutul hidup di rimba aslinya.
Pemerintah setelah reformasi
mengeluarkan UU No. 41/1999 tentang kehutanan. UU ini dimaksudkan untuk
memperbaiki sistem pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat diakui mempunyai
hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.
Perhutani memperkenalkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) pada
2002. Di bawah model PHBM Perhutani bekerja sama dengan masyarakat mengelola
hutan. Baik dalam hal merencanakan kegiatan pengelolaan ataupun memanfaatkan
hasil hutan. PHBM yang berhasil, misalnya dapat dilihat di daerah Blora.
Sin, aku rasa suatu hari nanti, kamu
perlu melihat perbandingan di Blora itu. Walaupun Perhutani dan Taman Nasional
punya pendekatan berbeda, setidaknya kamu bisa lihat bentuk lain hubungan hutan
dan petani yang saling menguntungkan. Lagipula, kamu jangan mengurung diri di
Sarongge terus. Sesekali lihatlah hutan dan kampung lain… .
Jemmy,
Itu
surat Karen kepada Husin di novel Sarongge
karangan Tosca Santoso. Sudah gue baca tulisan lu yang Burung Murai itu, gue ingat surat ini. Siapa tahu perlu.
Salam,
Ika Fitriana
panjang amaaattttt, gak sekalian satu buku ditulis neng? -____-
BalasHapus- ika, tukangpos, mijetin matanya yang lagi pegel.
Bahahahahak.
Hapusiya yah, mending aku tulis ulang satu buku yah? :b
aih, seperti membaca diktat kuliah kembali, ka. :))
BalasHapusterima kasih banyak, ka. aku sangat menghargai tulisan ini.
Iya, Jem. :)
Hapus