Sabtu, 31 Januari 2015

Tantangan Tanding Futsal


Beuh, surat ramean ini?
          Iyak!
          Apa kabar, Jeeeeeng? Masak apa hari ini?
          Gini lho, Jeng, dalam rangka mempererat dan mendekatkan anak-anak kita, gimana kalau kita adain tanding futsal untuk anak-anak cowok kita yang kece?
          Em, tandingnya nantilah mulai 10 tahun yang akan datang. Lumayan kan, anak-anak main futsal, kitanya mah membicarakan persoalan dunia. Iya, dunia! Kita bisa ngomongin cara mempertahankan harga tempe biar stabil, nggak perlu impor, dan nggak lebih mahal daripada daging, misalnya.
          Tempatnya di mana?
          Di Jakarta!
          Jakarta punya lapangan?
          Oh, punya banget, Jeng!
          Itu aja pakai mal yang segede alaihim gambreng, tapi pengunjungnya sepi. Sabtu lalu aku dan Aprie udah survei lokasi. Asyik kok tempatnya! LUAAAAASSSS… . Anak-anak kita pasti bahagia bisa lari-larian di sana. Main tak umpet atau bentengan juga oke.
          Kitanya nanti asyik gunjing di kedai steak yang mahal itu. Kita pakai kartu kredit suami ajaaa. Ohohohow~
          Dah, gitu aja, Jeng, sampai jumpa!


Salam emak-emak hebring,


Ika Fitriana


Jumat, 30 Januari 2015

Gajlukan

Teruntuk gajlukan

Hai,
          Kamu gajlukan atau gengsi, sih?
          Tinggi bener.


Salam,


aku

Senin, 26 Januari 2015

Perempuan Bermata Merah di Lorong Kaca Hitam

          Aku benci lorong.
          Ada sebuah lorong kaca berwarna hitam di salah satu mal di Jakarta. Untuk menuju toilet, kita harus melewati lorong itu. Bagi beberapa orang, lorong tersebut barangkali bisa dijadikan tempat foto-foto atau berkaca. Namun, bagiku, lorong hitam menjadi salah satu tempat yang menakutkan. Aku bukan abnegation  yang tidak suka melihat diri dalam cermin, tetapi tiap kali aku melihat ke kaca lorong hitam, aku merasa hal mengerikan akan terjadi.
          Benar saja.
          Pada sebuah siang hari, mal yang jarang pengunjung ini makin terasa senyap di bagian lorong. Seberapa banyak sih orang yang ke toilet dalam waktu bersamaan?
          Aku berhasil mencapai toilet. Caranya adalah dengan mengabaikan kengerian si lorong hitam dan berjalan lurus fokus ke toilet. Hanya ada satu orang di dalam toilet. Dia pergi, tinggallah aku sendiri. Mal sepi di toilet yang sepi.
          Keluar toilet, lorong kaca hitam menatapku dingin. Antara penasaran dan takut, mataku beralih kepadanya: lorong kaca itu.
          Aku terkejut bukan buatan kala melihat perempuan berambut gelombang terurai melewati bahu. Ia berada di dalam kaca hitam lorong. Matanya merah dengan kelopak yang bengkak dan rautnya jauh dari kesan ramah. Dengan pelan ia menunduk seolah memberitahukan keberadaan gadis kecil di sana. Aku baru menyadarinya!
          Anak perempuan itu berjalan gembira menuju sebuah bangku. Entah dari mana, ada seorang lelaki paruh baya mendekati si gadis kecil. Dengan tatapan binal, lelaki merasa haus melihat gadis kecil. Ia membuka resleting celananya lalu mengeluarkan kelaminnya yang tegak menantang. Sambil menyeringai, lelaki menggosok-gosokkan kelaminnya dengan dua tangan di depan gadis kecil yang tercengang.
          Lalu hilang.
          Tinggallah perempuan bermata merah menangis sesenggukan.
          Aku gemetar. Tiada daya bergerak maju atau mundur. Ternganga saja. Ketika mulutku sudah hampir bilang siapa kamu?, sosok perempuan dalam kaca menghilang.
          Aku kemudian tahu sebab ia menghilang saat mendengar dua orang bercakap-cakap. Sepasang kekasih berjalan menuju toilet yang aku tinggalkan. “Sebentar aku ke toilet dulu,” ujar perempuan. Lelakinya mengangguk lalu mematut-matut diri di depan kaca.
          Aku berusaha berjalan dan melupakan perempuan dalam kaca di lorong hitam. Sudah, lain kali takkan aku biarkan aku sendirian.

(25 Januari 2015)

Tulisan yang ikutkan untuk give away Aprie Janti di sini.

Sabtu, 17 Januari 2015

Anak-anak Senja dan Seorang Perempuan

senja melahirkan anak-anak lagi
mereka berlari-larian
dan menertawakan ombak yang pulang
lalu lepas ke laut lagi

senja menitipkan anak-anaknya pada seorang perempuan;
perempuan itu hanya duduk saja
tidak paham tentang keriangan si anak-anak senja


(16 September 2014)

Selasa, 13 Januari 2015

Jangan Mau Mencari Kebenaran Sejarah

“Orang miskin jangan mau mencari kebenaran sejarah, bahkan sejarah dirinya sendiri.”

          Apa maumu sebenarnya dengan kalimat begitu, ha? Mengapa ada “orang miskin”? Diskriminatif sekali kau!
          Makan apa kau sehingga bisa bilang kalimat provokatif macam begitu?
          Tunggu, biar kutebak.
          Begini kau berpikir.
          Sejarah, mengandung berbagai kepentingan. Pembuat sejarah merupakan pihak terkuat pada masanya. Napoleon Bonaparte bilang bahwa sejarah adalah kebohongan-kebohongan yang disepakati.
          Sejarah menjadi eksklusif. Sejarah menjadi badan lentur pemain akrobat. Sejarah menjadi lap pel yang mudah dipelintir.
          Harga sejarah, Sayangku, kautahu, seharga nyawamu. Kau bisa dengan mudah menukarkan kebenaran sejarah dengan nyawamu. Pilihannya menjadi: kau mati atau sejarah mati—ah, atau matilah kau bersama sejarah.
          Miskin itu, Sayangku, punya apa? Miskin.
          Kehendak pun miskin. Mana pula hasrat mengenali diri tumbuh? Bibit-bibit penasaran diberantas. Barangkali ini seumpama kata “merdeka” pernah menjadi begitu tabu, dipikirkan saja tidak pantas.
          Sejarahnya, sejarah dirinya, kehidupannya, sudah siap dicatat oleh pemegang pena—menurut kacamata si Pemegang Pena tentu. Si Miskin, Sayangku, yang pena saja tidak punya, kehendak memiliki pena pula tidak ada, bagaimana hendak ia ada? Bagaimana buku sejarah bisa menerbitkan namanya?
          Sejarah itu mahal, Sayangku. Bertukar dengan nyawa.

(12 Januari 2015)