Rabu, 12 Februari 2014

Kabar dari Jawa


          Pulau ini seperti dihukum kelebihan beban. Tiap detik penduduknya bertambah 3 orang. Tiap saat area hutannya makin berkurang. Saat ini, ada 132 juta orang mendiami areal hanya 13,2 juta hektar di Jawa. Atau kepadatan rata-rata per kilometer persegi adalah 1.000 jiwa. Jalan Anyer – Panarukan yang dulu dirintis Daendels, sekarang menjadi kampung sambung-menyambung. Menjadikannya deretan pemukiman padat terpanjang di bumi. Karena desakan kebutuhan, hutan menjadi prioritas paling belakang untuk diselamatkan. Di Jawa, sekarang tinggal 1,9 juta hektar hutan tersisa; atau 14% dari total area. Itu pun kebanyakan bukan hutan alam. Jadi, Sarongge bukan kekecualian. Sin, hutan di tempatmu makin gundul karena orang-orang terpaksa membuka kebun sampai ke lereng-lereng Gunung Gede.
          Padahal, sampai dua abad lalu, sebagian besar Pulau Jawa masih tertutup hutan rimba. Ketika Stamford Raffles menjabat Gubernur Jenderal Jawa, 1811 – 1815, dia memperkirakan 4/5 dari area Jawa masih berupa hutan rimba. Kalau kita ambil mudahnya, maka hutan waktu itu 10 juta hektar lebih. Tak heran, kalau banyak catatan lain menunjukkan, para pejabat yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, akan melewati hutan. Dari Jakarta ke Bogor saja melewati hutan. Apalagi dari Bogor ke Bandung. Hutan ada di mana-mana.
          Hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup masyarakat Jawa. Baik yang pola pertaniannya berladang seperti di Jawa Barat (Sunda), maupun masyarakat sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konon, orang ladang memandang hutan rimba sebagai bagian dari dirinya. Ada kesatuan kosmologik antara tempat hunian, ladang, dan kuburan atau peninggalan sejarah, serta hutan rimba. Para peladang di Sunda menganggap di tengah-tengah hutan rimba ada masyarakat makhluk halus. Bahkan, raja-raja Sunda menjelma menjadi “harimau putih” di hutan-hutan.
          Berbeda dengan masyarakat sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bagi mereka hutan adalah tempat tinggal roh-roh jahat. Hutan itu angker karena mengandung malapetaka dan ancaman. Dalam cerita-cerita wayang kulit selalu dikatakan jarak antarnegara dipisahkan hutan-hutan. Setiap perjalanan seorang ksatria dari satu negara ke negara lain harus melewati hutan. Perjalanan melewati hutan ini selalu dihantui para raksasa yang menghadang dan ingin memakan para ksatria. Pandawa selalu dicegat Cakil dan gerombolan raksasanya dalam perjalanan melewati hutan. Raksasa Cakil itu tak pernah mati selama hutan rimba di Jawa masih ada. Demikian menurut sastrawan Jakob Sumardjo.
          Sin, tidak heran kalau di Sarongge, ada kisah tentang Eyang Haji Suryakencana; yang ritualnya kalian lakukan setiap purnama di bulan Mulud. Suatu hari, bolehkah aku ikut ritualmu ke Suryakencana? Berjalan bersama teman-temanmu, petani yang ingin berziarah ke tempat Eyang Suryakencana. Aku sekalian ingin menengok edelweis yang kudengar makin terancam punah di lembah itu. Sungguh sayang, kalau bunga abadi yang diidolakan para pendaki itu punah. Kita berhutang pada generasi mendatang untuk tidak mewariskan edelweis hanya dalam gambar, tetapi juga bunga abadi yang sebenarnya.
          Aku tahu kamu punya masalah sendiri: menjaga keseimbangan kebutuhan petani dan kelestarian lingkungan hutan di Sarongge. Kisah tentang Hutan Pasir Pogor yang angker, di dekat kita menanam pohon pekan lalu, mudah-mudahan membantu kamu mempertahankan hutan itu, dari jarahan petani yang lapar tanah. Tidak mudah memang, menjaga alam ketika warga sekitarnya terjerat kemiskinan. Aku terkesan dengan prinsip Tiga-O yang dikatakan temanmu, Duroni, di madrasah pekan lalu. Dia benar. Tak mungkin menjaga hutan kalau manusianya kelaparan. Mengingat Duroni, aku menyadari kebajikan memang bisa muncul dari mana saja.
          Dan serangan pada hutan tidak hanya muncul dari ledakan penduduk yang kelaparan. Kehancuran hutan terutama juga dipicu oleh keserakahan. Pada awalnya yang merusak hutan di Jawa adalah perusahaan-perusahaan Belanda. Masa ketika VOC berkuasa, mereka mengeksploitasi hutan jati di Jawa dan meninggalkan kerusakan parah. Pemerintah Belanda kemudian melanjutkan perusakan itu demi mengejar pendapatan yang sangat tinggi dan industri kapal yang butuh kayu jati.
          Tahun 1865, Belanda mengeluarkan UU yang membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati bukan di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan hutan yang ditumbuhi pohon-pohon utama selain jati. Beberapa tahun kemudian, terbit lagi UU yang membagi hutan-hutan jati Jawa dalam 13 “distrik hutan jati” di bawah djati bedrijf (perusahaan jati negara). Tapi itu semua tak menolong selamatnya hutan jati. Kebutuhan akan penjualan selalu lebih cepat dibanding waktu yang dibutuhkan untuk menanam. Perlu belasan tahun untuk merawat pohon jati sampai siap panen, tetapi hanya perlu beberapa jam untuk menebangnya. Alam tak pernah sanggup memenuhi keserakahan manusia.
          Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Tekanan pada hutan tidak menyurut. Tahun 1950, luas hutan di Jawa tinggal 5,1 juta Ha atau tinggal setengah dibanding ketika Raffles memerintah di Jawa. Jawatan Kehutanan kemudian berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Perhutani pada 1963. Status PN diubah lagi menjadi Perusahaan Umum (perum) Perhutani pada 1972 ketika negeri ini diperintah Orde Baru. Rezim itu, kita kenal sangat mendukung perkembangan modal dan privatisasi aset-aset publik. Hutan menjadi lebih cepat digunduli.
          Pada 2001, setelah  reformasi, Perhutani berubah bentuk dari perum menjadi perseroan terbatas, yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Ini semakin ngawur saja. Banyak pihak keberatan terhadap peraturan ini, mengingat pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai ekonominya. Lebih dari seperenam penduduk Jawa tinggal di dalam tinggal di dalam atau sekitar kawasan Perhutani. Artinya sekitar 20 – 25 juta jiwa. Jumlah itu sangatlah banyak. Mereka itu bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu, pemerintah mengembalikan bentuk perhutani menjadi perum pada 2002.
          Masyarakat desa di sekitar hutan perlu dana cepat setelah tertimpa krisis ekonomi. Sementara itu, pembeli kayu jati terus meningkat. Industri mebel kayu di Jawa sedang melesat perkembangannya. Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya. Penjarahan itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum. Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisi ekonomi menimpa Indonesia, masyarakat memanfaatkan kesempatan.
          Tetapi, pada saat itu mulai muncul kesadaran baru untuk mengembalikan tanah Perhutani yang rusak menjadi hutan kembali. Salah satunya di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sekitar 7000 Ha tanah Perhutani dialih-kelolakan kepada taman nasional. Termasuk di Sarongge. Itu sebabnya, kamu dan para petani Sarongge sekarang mesti berurusan dengan taman nasional, menghutankan kembali areal Sarongge lewat program adopsi pohon. Hutan bukan lagi untuk produksi, melainkan bagian dari konservasi. Konservasi yang juga memberi manfaat untuk penduduk sekitar.
          Sin, aku berharap program adopsi pohon di tempatmu berhasil supaya area hutan di Jawa tidak terus menyempit. Sebab, hutan yang hilang tak pernah punah sendiri. Ia juga membawa punah beberapa satwa asli Jawa, seperti harimau jawa. Ada juga yang terancam punah seperti badak cula satu, elang jawa, owa jawa, dan macan. Aku ingin sekali mendukung programmu, memperluas hutan Sarongge. Memberi daya dukung yang lebih baik untuk satwa endemik yang hampir punah ini. Generasi setelah kita berhak untuk melihat badak atau macan tutul hidup di rimba aslinya.
          Pemerintah setelah reformasi mengeluarkan UU No. 41/1999 tentang kehutanan. UU ini dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat diakui mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Perhutani memperkenalkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) pada 2002. Di bawah model PHBM Perhutani bekerja sama dengan masyarakat mengelola hutan. Baik dalam hal merencanakan kegiatan pengelolaan ataupun memanfaatkan hasil hutan. PHBM yang berhasil, misalnya dapat dilihat di daerah Blora.
          Sin, aku rasa suatu hari nanti, kamu perlu melihat perbandingan di Blora itu. Walaupun Perhutani dan Taman Nasional punya pendekatan berbeda, setidaknya kamu bisa lihat bentuk lain hubungan hutan dan petani yang saling menguntungkan. Lagipula, kamu jangan mengurung diri di Sarongge terus. Sesekali lihatlah hutan dan kampung lain… .

 Jemmy,
          Itu surat Karen kepada Husin di novel Sarongge karangan Tosca Santoso. Sudah gue baca tulisan lu yang Burung Murai itu, gue ingat surat ini. Siapa tahu perlu.


Salam,


Ika Fitriana

4 komentar:

  1. panjang amaaattttt, gak sekalian satu buku ditulis neng? -____-
    - ika, tukangpos, mijetin matanya yang lagi pegel.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahahahahak.
      iya yah, mending aku tulis ulang satu buku yah? :b

      Hapus
  2. aih, seperti membaca diktat kuliah kembali, ka. :))
    terima kasih banyak, ka. aku sangat menghargai tulisan ini.

    BalasHapus