Mungkin
matahari tak mampir hari ini. Mendung menggelayut. Langit menggencarkan
gumpalan-gumpalan awan hitam. Sesekali angkasa terpecah oleh segaris cahaya dan
bila sudah begitu, akan terdengarlah bunyi menggelegar menciutkan nyali pegawai
yang akan ke kantor.
Aku
terhimpit di antara langit yang marah-marah dan bumi yang tak acuh. Aku
mengernyitkan dahi tanda tak setuju dengan perseteruan langit-bumi. Tetapi aku
tidak bisa berbanyak kata karena sebentar lagi pun bisa jadi aku dipanggil bumi
dan dibenamkan dalam tanah. Maklum, sudah 80, jompo.
Setelah
lima belas menit menunggu, akhirnya muncul juga metro mini 47 itu. Aku maju
sedikit agar bisa lebih cepat masuk ke dalamnya. Pada jam-jam seperti ini
angkutan apa pun pasti penuh, begitu juga metro mini jurusan Pondok Kopi –
Senen ini. Aku berdesak-desakan dengan penumpang lain dan, seperti yang sudah
kuduga, aku tak dapat tempat duduk—juga tak ada yang memberi kesempatan duduk.
Ya sudah, aku memilih berdiri di dekat pintu menghadap ke depan.
Aku mengacak-acak rambutku sebentar
untuk melepaskan helai-helainya dari air-air hujan yang hinggap. Beberapa
bagian kemejaku pun basah. Rupanya hujan tadi cukup nakal.
Aku meratakan pandangan ke seisi bus
kecil ini. Biasa-biasa saja. Wanita berseragam pabrik motor, SPG, mahasiswa,
pegawai negeri, pelajar, dan copet. Aku dapat mengetahui beberapa pekerjaan
orang-orang itu dari seragam atau gaya berpakaian mereka, make-up, atau sikap mereka ketika menatap orang. Semua cenderung
setipe. Lihat saja wanita muda yang kukira SPG itu. Alisnya ditato legam,
kelopak matanya berwarna-warni, bulu matanya dibuat menjadi lentik, pipinya
berwarna lebam, dan bibirnya menyala bagai sehabis memakan satu cimol dengan
bubuk cabai dua sendok makan. Itu baru wajahnya, belum kemejanya yang membentuk
badan, roknya yang kehabisan bahan, dan sandal berhak tinggi yang kecil runcing
seperti tusuk satai. Dengan seragamnya yang berwarna merah ditambah nama sebuah
tempat perbelanjaan di kemejanya, jelaslah bahwa dia SPG.
Kalau
mahasiswa, kita akan lebih mudah mengenali. Ber-jeans, berkaus, dan cuek. Satu hal lagi yang membedakan mahasiswa
atau bukan adalah dari uang yang diberikannya kepada kondektur. Seperti pemuda
ber-jeans¸berkaus merek terkenal di
Yogya, dan memakai tas ransel yang ada di sebelah kananku. Ia menyodorkan uang
Rp1500,00. Lima ratus rupiah lebih murah daripada yang lain. Sambil menyerahkan
uang, ia menambahkan, “IKIP, Bang.” Jika sudah begitu, kondektur akan pergi
dengan wajah kecut.
Tentang
copet, aku mengetahui dari… .
Ah,
mengapa? Tiba-tiba aku tidak tertarik lagi pada topik mengenali profesi orang
ini. Perhatianku sepenuhnya tertuju pada laki-laki yang duduk di bangku
depanku. Usianya lebih muda dariku, mungkin separuh umurku. Ia berkacamata
segiempat, berkemeja garis-garis putih biru, dan bercelana bahan warna hitam.
Sampai di situ, masih normal saja, tapi yang membuat pandanganku tersita adalah
ulahnya. Tidak, dia tidak membuat rusuh satu bus, tidak.
Dahiku
berkerut melihatnya dari belakang. Ia mengeluarkan uang ribuan berjumlah tiga
lembar. Uang-uang itu ia bentuk menjadi kipas, tapi tidak untuk dikipaskan. Ia
amati ribuannya satu per satu. Ia raba-raba uang-uang itu pelan dan hati-hati.
Gerakannya itu seolah menunjukkan wajah yang berpikir meski aku tidak
melihatnya dari depan. O, iya, mengenai kacamatanya yang segiempat tadi aku
melihatnya ketika ia menyodorkan salah satu ribuannya kepada pengamen.
Setelah
puas mengamati, ia masukkan uang-uang itu kembali ke dalam saku kanannya.
Selang beberapa detik, ia mengeluarkan empat lembar ribuannya yang lain dari
saku celananya: dua dari saku kanan, dua dari saku kiri. Ketika keempatnya tiba
di telapak tangan, ia memperlakukan hal yang sama seperti tiga lembar ribuannya
tadi: membentuk kipas, mengamati satu per satu, dan meraba dengan hati-hati.
Hanya saja, kali ini ia tidak mengembalikan ke tempatnya semula, tetapi
dimasukkan ke saku kemeja bagian kanan, dikumpulkan dnegan tiga lembar ribuan
yang tadi.
***
PRAANG…!
Suara
pecahan kaca itu membuatku terkejut. Aku segera mendatangi arah suara. Tak ada
siapa-siapa, hanya sepotong batu bata kini terdampar di lantai ruang tamu. Baru
saja aku sampai di ruang kerjaku, terdengar suara pecahan lagi, dan disusul
dnegan pecahan lain dari arah belakang rumah. Spontan aku cabut samurai yang
menjadi pajangan ruang kerjaku dan segera keluar. Sesampainya di teras, aku
teriak sambil berkacak pinggang di tengah hening malam, “Hei! Siapa itu? Sini
kalau berani!”
Tak
ada yang menyahut. Setelah kupikir agak tenang, aku kembali masuk ke dalam
rumah yang memang sedang sepi. Aku memang sedang sendiri. Dalam waktu dekat,
istriku akan melahirkan anak keenam. Untunglah, aku segera mengungsikan istri
dan anak-anakku ke rumah orang tuanya. Ya, keadaan di sini memang sedang tidak
aman dan aku bertahan di sini hanya untuk mempertahankan rumahku.
Ternyata
kejadian pemecahan kaca itu tak hanya sekali – dua kali, tetapi begitu terus
hingga aku bosan teriak-teriak dan hanya tenang membaca di ruang kerja. Namun,
suatu kali ketika aku sudah tidak sabar, diam-diam dengan samurai di tangan,
aku hampiri ruang depan. Lampu yang awalnya kumatikan, dengan segera
kunyalakan. Sekelebat aku melihat bayang-bayang, yang tidak hanya satu, dengan
tubuh ditutup sarung menyerupai ninja, yang lari ketika melihat lampu menyala.
Cepat-cepat aku buka pintu depan lalu aku menghardik sambil mengacungkan
samuraiku, “Pengecut! Sama lampu saja takut! Kalau berani, sini! Satu lawan
satu! Bangsa apa kalian? Hanya berani dalam kelompok! Udang!”
Sebentar
setelah aku teriak-teriak itu, terdengar suara letusan pistol di udara. Lalu,
entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja kini muncul sepeleton tentara.
Seseorang yang kukira pimpinannya mendatangiku dan bertanya, “Pak Prayuda?”
Ditanya
seperti itu aku mengangguk heran. Seolah membaca pikiranku, ia berujar, “Mari,
Pak, kami amankan.”
Dengan
heran yang belum selesai, aku ikuti langkah-langkahnya. Aku tak terlalu
mengerti dengan ucapannya. Amankan? Amankan dari apa? Apakah daerah ini sudah
benar-benar tidak aman? Mau diamankan di mana? Bagaimana dengan keluargaku?
Rumahku? Tapi ternyata semua pertanyaanku itu tak terlontar dan aku hanya
seperti bebek yang digiring ke kali oleh sepeleton tentara.
***
DUK!
Kepalaku
terantuk pintu. Sopir mendadak menginjak rem. Oh, ternyata ada seorang ibu yang
menyeberang jalan dengan kurang hati-hati.
Amarahku
siap meledak saat ini. Aku teringat tanggal 13 Oktober 1965 itu. Awal aku
“diamankan”. Mengingat tahun itu, seperti ada yang menusuk ulu hatiku. Mataku
yang mulai nanar tak kupedulikan.
Pandanganku
yang belum sepenuhnya terisi berkeliling lagi. Seperti sebelumnya, mataku akan
terhenti pada laki-laki yang menatap lembar ribuannya. Ternyata hingga aku
tersadar pun, ia masih mengulang hal yang sama: mengeluarkan beberapa ribuan,
membentuknya jadi kipas, mengamat-amati, meraba, lalu memasukkan kembali.
Bus
berhenti di depan kantor Kecamatan Pulogadung. Wanita pegawai negeri yang duduk
di samping laki-laki pengamat uang pun turun di sini. Aku mengisi tempat kosong
tersebut. Kini aku bersebelahan dengan laki-laki itu.
Sebelumnya
aku sempat melihat pelataran kecamatan. Sedang apel rupanya. Seragam biru gelap
tertangkap mataku, seragam banpol, linmas, satpol PP, ah semacam itulah. Kamtib
mungkin nama umumnya. Aku tidak terlalu mengetahui. Begitu juga dengan
kerjanya. Aku tidak terlalu mengerti. Anak tetanggaku yang menjadi banpol
pernah suatu kali kutanyakan, “Mau jadi polisi, ya?”
Mendengar
itu ia hanya tersenyum. Katanya, “Banpol tidak untuk jadi polisi, Pak.”
“Lalu?”
“Banpol
itu bekerja di bawah Pemda.”
Dari
situ aku sedikit tahu bahwa meskipun bernama bantuan polisi, banpol tidak di
bawah kepolisian. Namun, aku masih tidak jelas sebenanya apa yang menjadi tugas
pokoknya. Aku berpikiran seperti ini karena heran saja. Pada jam-jam tertentu,
biasanya pagi dan sore—waktunya orang pergi dan pulang beraktivitas—mereka akan
turun di persimpangan-persimpangan. Tangan mereka sibuk mengarahkan pengendara
motor maupun mobil. Di antara mereka ada yang memakai topi, ada pula yang
memakai baret. Kupikir yang berbaret mungkin lebih tinggi tingkatannya. Mereka
tidak berada di setiap persimpangan, tetapi hanya persimpangan tertentu—untuk
hal ini, lagi-lagi, aku tidak tahu kriteria pemilihan persimpangan. Selain
bertemu di jalan, pernah aku melihat di televisi, mereka menggiring PSK ke
dalam mobil berwarna hitam-oranye. Masih dari televisi, aku juga pernah melihat
mereka menghancurkan tempat bermukim warga yang disebut-sebut tak memiliki
izin. Khusus mengenai izin ini aku mengernyit dan berpikir bahwa untuk tinggal
di tanah yang katanya ciptaan Tuhan ini kita harus izin pada pihak tertentu
yang merasa memiliki. Aneh. Tapi, apa jadinya ya, kalau ternyata yang harus
mereka bongkar itu adalah rumah mereka sendiri? Ah, kok jadi ngelantur.
***
Aku
melihatnya dengan mataku sendiri. Kejadiannya tepat di depanku. Keadaan lelaki
berkumis yang kira-kira sebaya denganku itu membuat miris. Kumis yang dulu
kuperkirakan rapi terjaga itu kini tidak jelas bentuknya. Aku tidak bisa
bergerak dan berlari menghampirinya. Masing-masing tanganku dicekal erat oleh
dua orang berbadan Rambo.
“Mengaku
saja. Kamu Lekra, kan?” tanya laki-laki berjaket kulit hitam berperut buncit
yang duduk di atas meja. Di sebelah kirinya si Lelaki Berkumis yang sebaya
denganku duduk dengan tubuh terikat. Ia meringis. Gigi-giginya bergemeletuk.
Dia sedang diinterogasi. Sang Interogator tadi memastikan lagi, “Iya, kan?”
Kejadian
itu mungkin terlihat biasa: ada yang duduk terikat di bangku, ada yang duduk
bebas di meja. Tetapi yang membuatku ngeri adalah ketika melihat ke bawah, ke
kaki sang Tawanan. Ibu jari kakinya ditindih meja sedangkan meja itu diduduki
sang Interogator. Bentuknya seperti baso yang ditiban sekaleng besar baso
beserta kuah. Kukunya tak terlihat, tenggelam dalam merah.
Tak
peduli dan seolah tak terjadi apa-apa, sang Interogator menambahkan, “Kamu
hanya tinggal bilang, ‘Ya, saya Lekra!’ Selesai. Apa susahnya?”
Lelaki
berkumis masih meringis. Interogator menekankan seluruh berat tubuhnya ke meja
yang membuat tawanan tersebut makin tersiksa hingga akhirnya… .
“AAAAKK…!”
“Sakit?
Mau Teriak? Teriak saja! TERIAK YANG KENCANG!”
“AAAAAAAAKKKKK…!”
“HAHAHAHA…
. Bagus, bagus. Biar yang lain tahu dengan siapa mereka berhadapan!”
Sesaat
teriakan mereda. Kulihat napas tawanan itu tersengaal-sengal. Kurasakan aku pun
begitu. Aku berusaha melepaskan diri, tetapi beberapa kali kucoba tetap tak
bisa.
Sambil
mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, sang Interogator melanjutkan, “Saya
masih menunggu. Kamu tahu proses selanjutnya kan kalau tidak mengaku?”
Lagi-lagi
sang Interogator memusatkan berat tubuhnya pada meja. Kulihat ibu jari sang
Tawanan. Ibu jari yang sudah kehilangan keibuannya.
Ditekan
seperti itu, sang Tawanan yang sudah tak berdaya itu pun akhirnya meneriakkan,
“YAAAA! AKU-MEMANG-LEKRAAAA!”
***
Siku
pemuda yang berdiri di sebelah tempat dudukku secara tidak sengaja menyikut
kepalaku. Tetapi untunglah, aku tidak harus melanjutkan kejadian itu. Kurasakan
otot-ototku mengejang, kepalaku mengeras, dan gigi-gigi beradu. Mungkin jika
melihatku saat ini orang akan berpikir bahwa aku seperti banteng yang siap
menerjang kapan saja.
Ketika
itu, setelah lelaki berkumis menyatakan bahwa ia anggota Lekra, ia dilepaskan
dari siksaan, sesaat. Ya, karena yang seperti itu sudah menjadi pemandangan
biasa. Suatu kali, pernah aku tanya kepadanya, “Apa benar?”
Ia
menggeleng lemah, kemudian mulai bercerita, “Saya-tidak-tahu-apa itu-Lekra.
Saat itu, sewaktu saya-sedang berjalan-pulang-habis kerja bangunan-di Cikini,
tiba-tiba saya-dihampiri dua orang-berbadan besar-dan sampailah-saya-di sini.
Mereka bilang-saya-diamankan. Saya-tidak tahu-apa-yang-mereka maksud.”
Beberapa
hari sesudah cerita itu, ia terpaksa putus hubungan dengan dunia. Ia ditembak
oleh salah seorang penjaga yang dengan paksa mengambil sepotong koran bekas
bungkus dari tangannya. Yah, hal yang biasa saat itu. Di sana memang tak ada
yang dapat benar-benar kami miliki. Mati karena memergoki penjaga yang mencuri,
mati karena mempertahankan makanan, semuanya wajar.
Kembali
aku dalam bus ini. Laki-laki di sampingku masih memasuk-keluarkan lembar
ribuannya. Kuperhatikan dengan saksama kode uang dan angkanya. Berbeda dan
tidak berurutan. Hal ini kulakukan dengan analogi cucuku sering mengumpulkan
uang dengan kode dan angka yang berurutan. Kukira laki-laki ini juga berpikir
seperti cucuku, ternyata tidak.
Pandangku
menyisir lagi. Bus rupanya sudah tidak sepadat tadi. Kali ini mataku tertancap
pada seorang gadis yang sedang membaca catatan-catatannya sambil komat-kamit
kecil. Mungkin ia mahasiswa yang akan ujian. Belajar itu untuk ujian, ujian
untuk nilai, dan nilai untuk siapa?
Aku
jadi teringat salah seorang cucuku yang mahasiswa. Ia menggerutu, “Kenapa sih,
Mbah, cerpenku harus dinilai dengan angka?”
Aku
menatapnya, mencoba menembus pikirannya. Tak berhasil dan kembali hanya bisa
menunggu kata-kata selanjutnya.
“Angka-angka!
Suatu penilaian khas dunia. Semua diukur dengan angka. Senang rasanya kalau School of Rock itu benar-benar ada.
Penilaian dengan angka dihapuskan dan diganti dengan cara menilai yang lain.
Maksud Bi, padahal kan cerpen itu bagian dari sastra sedangkan pengertian
sastra itu sendiri menurut salah satu teori adalah kegiatan kreatif yang bentuk
dan ekspresinya imajinatif. Jadi kalau ada nilai pasti untuk sastra, berarti
kreasi, ekspresi, dan imajinasi seseorang juga dianggap pasti dan berdasarkan
konvensi? Lalu bagaimana bisa orang memakai kreasi yang beda, imajinasi yang
bebas, dan ekspresi yang tidak dibuat-buat?”
Belum
sempat kukomentari, cucuku menambahkan, “Yang ada jadinya apa, Mbah? Kata salah
satu teman Bi, begini: ‘Bi, kita kuliah dengan beliau maka kita harus ikut
aturan beliau. Kalau beliau meminta perbaikan, ya lakukan saja. Agar kita
lulus, Bi.’ Mau bilang apa, Mbah? Mau protes? Berarti kelulusan Bi
dipertaruhkan. Ya, sebenarnya sih, tidak apa-apa, Mbah, cuma… .”
Hmmmh…
ada-ada saja si Biola itu. Cucuku yang satu itu memang tukang protes.
Pengetahuannya memang baru setetes, tapi ia pergunakan pengetahuan itu untuk
protes tanpa berpikir sisi lainnya. Pernah suatu kali ia lantang ketika ibunya
melarang dirinya pergi ke GKJ untuk menyaksikan pentas teater. Katanya, “Aduh,
Ibuku sayang. Walaupun Ibu orang tua Bi, apa selalu lebih benar? Ibu ini
bersikap seolah kebenaran milik yang tua, milik Ibu. Belum tentu kan, Bu?
Sedikit mendekati adil dong, Bu. Masak Mas Unggul boleh ke mana-mana, tapi Bi
nggak boleh. Bias gender namanya, Bu. Ibu boleh khawatir, tapi kalau Ibu
percaya sama Bi berarti Ibu harus menghilangkan kekhawatiran Ibu dan Bi akan
baik-baik saja. Lain soal kalau Ibu nggak percaya sama Bi… .”
Tak
tahan dengan celotehannya itu, sang Ibu pun akhirnya menyerah sambil berpesan
agar tidak pulang terlalu larut dan menelepon jika ingin dijemput. Suatu syarat
untuk menenangkan hati yang akhirnya diambil Biola. Umh, aku ngelantur lagi.
***
Setelah
14 tahun, aku akhirnya kembali. Sayangnya, bukan ciuman mesra istriku yang
kudapatkan, melainkan tangisan getir darinya. Aku bertanya padanya, “Ada apa?”
Tanpa
jawaban darinya, kutemukan alasan sendiri. Di dalam rumah ada dua sosok
terbujur kaku yang tertutup kain batik dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Yang satu mungil, yang satu agak besar. Perut keduanya membuncit, membentuk
kain batik yang menutupi.
Melihat
itu, sambil menahan seluruh cairan yang mendidih di dalam tubuh aku langsung
berlari ke luar rumah tak tentu arah. Di depan gang aku hampir menabrak keranda
jenazah. Kutanya pada salah satu pengantar mengenai siapa yang meninggal. Yang
kutanya menyahut, “Pak Priyono yang tinggal di gang sebelah.”
Priyono?
Priyono karibku? Aku tak percaya jika tidak melihat istrinya terisak-isak di
belakang iring-iringan. Apa ini?
Awangku
berpindah mengingat kejadian sebelum tiba di rumah. Ya, sebelum aku dibebaskan.
Tiga temanku ditembak mati secara bersamaan, seperti biasa, dengan alasan yang
dibuat-buat. Wajah mereka ketika meregang nyawa itu… .
Tergesa
aku duduk di atas sebongkah batu di pinggir jalan. Segera ku mencabut punting
kretek bekas yang kusimpan di tempat rokok yang juga bekas. Sambil mengejar
napas, kunyalakan korek yang kutemukan entah milik siapa. Kuhirup dalam-dalam
rokok itu. Bangsat! Mau apa sebenarnya nasib? Kalau aku salah, mengapa
anak-anakku?!
Selanjutnya
terngiang suara istriku, “Kami lapar, Pak. Tetangga-tetangga menjauh. Kami
seperti borok menular dan mematikan. Jangankan untuk memberikan makanan, untuk
menjual bahan makanan saja orang-orang tidak berani.”
***
“Permisi,
Pak, saya mau turun,” ujar laki-laki di sampingku dengan tiba-tiba. Aku
tergagap tak berpegangan. Kudengar jantungku terlonjak-lonjak. Kucoba kembali
menguasai diri dengan menarik napas.
Seperti
kaset. Kejadian-kejadian itu seperti kaset yang dimainkan secara otomatis. Aku
tak kuasa apa-apa untuk menghentikannya. Jangankan untuk menghentikan, untuk
menghindar saja aku tak bisa. Kadang aku malas memejamkan mata karena jika
terlelap aku akan bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang itu-itu juga.
Khusus
untuk yang terakhir tadi, memang pernah enam orang terdekatku meninggalkanku
bersamaan dalam satu hari. Hanya saja ketika itu aku masih sebagai tapol dan
hanya bisa mendengar kematian dua anakku dari istriku saat aku sudah dibebaskan
meski dengan syarat wajib lapor. Aku tidak benar-benar melihat jasad enam orang
tersebut.
“Permisi,
Pak… .” Laki-laki tadi mengulang ucapannya.
“Eh,
oh, tunggu, Pak,” aku menahannya. Sebelum sempat mengelak, buru-buru aku
menanyakan hal yang menyita perhatianku. “Saya cuma mau tahu, Pak, mengapa
Bapak bolak-balik mengamati uang-uang ribuan?”
Matanya
mengajak mataku untuk melihat lembar ribuan di tangannya. Sambil mengelus pelan
ia menjawab, “Untuk rakyat.”
Jaticempaka,
12 Mei 2006
(berusaha)
tanpa perubahan
Keren, ka.
BalasHapusterima kasih, Jem. :')
HapusIni bagus, twistnya juga dapat. Jalan ceritanya menarik tapi kok aku ngga ngerti endingnya yah?
BalasHapuseng.. tenang, Va. aku juga lupa kok kenapa aku nulis ending-nya begitu. tenang aja, ya!
Hapussalam manis.
:)