Rezeki tak pernah tertukar
Bicara tentang rezeki (dan saya), kita tidak akan banyak membicarakan uang. Saya tidak seberuntung "itu" (contoh dalam PR MagicalRamadan Day 5). Meski demikian, saya percaya keberuntungan saya besar. Ini bisa terlihat pada lima hal dari sejuta hal berikut:
1. Bersekolah sesuai keinginan
Bisa bersekolah saja bersyukur. Kedengerannya klise tapi ya emang benar. Saya merasa beruntung. Tahun 2006, saat saya KKN ke Cirebon, saya menemukan banyak anak usia SD putus sekolah. Alasan mereka? Mulai dari sekolahnya jauh, lebih pilih kerja, sampai ada juga--ini yang paling mengenaskan menurut saya--yang tidak bersekolah karena harus menjaga adik. Menjaga adik, pemirsa. Kedengarannya nggak penting banget, kan? Kita (oke, saya, deh) mana pernah kepikiran nggak sekolah cuma untuk jaga adik? Ke mana orang tuanya?
Ternyata, anak itu tinggal bersama neneknya. Neneknya sibuk jadi buruh petik sayur untuk makan sehari-hari. Ibunya? Jadi TKI di Arab--ia tidak menceritakan tentang ayahnya.
Oke, kembali ke subjudul saya: bersekolah sesuai keinginan. Benar-benar, deh, saya bersyukur untuk ini. Betapa tidak, hampir semua rencana pendidikan saya terealisasi. Waktu SMP saya menginginkan masuk MAN (Madrasah Aliyah Negeri--setingkat SMA) dan itu terwujud. Ketika duduk di kelas 1 SMA, saya sudah memutuskan untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia atau jurnalistik. Syukurlah keinginan itu terwujud. Saya diterima di jurusan Sastra Indonesia meski bukan di universitas yang saya idam-idamkan. Sekarang ini, saya memendam keinginan untuk belajar lagi. Di Leiden. Semoga Allah--dan orang tua saya--mengizinkan.
2. Rezeki tak terduga
Saya rasa kamu juga pernah merasakan ini. Seringkali saya menginginkan sesuatu--bahkan sangat--dan dengan cara yang ajaib Allah mengabulkannya. Misalnya, saya menginginkan pepaya (terutama jika saya demam) lalu Bapak pulang dengan membawa pepaya--tanpa saya minta (verbalkan). Syukurlah!
3. Pengalaman kerja
Saya bersyukur punya pengalaman kerja magang di Kompas, Penerbit Desantara, hingga Indosat. Dari yang nyambung sampai yang nggak nyambung dengan sastra. Dengan begitu, aku merasa diriku semakin kaya. Ini tentu rezeki, bukan?
4. "Abang"
"Abang" itu sebutan untuk motorku. Dulu, saya sangat menginginkan Honda Supra X 125 dengan tangan saya sendiri. Menurut saya ketika itu, saya tidak bisa mencapainya. Sekarang, saat saya benar-benar bisa mewujudkan itu, bagi saya itu seperti rezeki yang sudah diatur. Saya percaya, saat saya yakin saya bisa mendapatkan sesuatu, saat itu tangan Tuhan bekerja. Kita, manusia, tinggal mencari cara mendapatkannya.
5. Puas bermain
Keluarga kami bukan orang ada. Tapi dulu, saat kami kecil, Bapak rajin mengajak kami jalan-jalan. Monas, TMII, sampai Yogya kami sambangi. Segala permainan pun pernah kami rasakan: bombom car sampai mandi bola (ingatkah, kalian, generasi masa lalu, betapa happening-nya permainan itu di kalangan bocah kencur. haha..). Bukankah itu rezeki?
Oh, ya, baru inget, saat kecil, rezeki kami begitu lancar begitu lebaran menjelang. Paling seneng deh beli baju berkantong banyak. Ngerti, kan, ya? Kita bisa masukin duit dan kue semuatnya kantong.
Kalau sekarang, waktunya gantian. Kitalah yang menjadi orang yang mengisi baju berkantong millik anak-anak kecil itu. Hahahaha.. Tapi syukurlah, kita masih bisa memberi. Bukankah itu kenikmatan juga?
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar