Senin, 23 Juli 2012

#MagicalRamadan #Day 2



Satu peristiwa terbaik

         Belum-belum aku sudah seperti nano-nano. Beragam rasa. Seperti banyak bola-bola rasa bertuliskan: senang, sedih, haru, bahagia, dan kawan-kawan yang mengudara di kamarku. Mereka muncul dari benak, dari hati, dari mata, dari kuping, dari segala lubang, dari segala pori di tubuhku.
          Mungkin kamu bertanya-tanya, seberapa istimewanya peristiwa itu sampai-sampai berbagai rasa memenuhi udara. Ya, kan?!
          Mmm… dia (kita manusiakan saja peristiwa itu, ya?) sangat, sangat istimewa. Dia itu disebut: WISUDA (kuberi huruf kapital biar matamu bisa membesar dan berbinar. Hehe…). Menurutku itu satu pencapaian. Bukan cuma pencapaianku, melainkan juga pencapaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku.      
          Kamu tahu, tidak seperti kebanyakan mahasiswa normal, aku perlu menghabiskan 8 tahun sebagai mahasiswa. Tanpa berniat begitu, tentu. Katakanlah, cita-citaku ideal: kuliah selesai 4 tahun, bekerja, lalu menikah (dengan tetap kerja).
          Awalnya aku berhasil. Aku bisa mengambil SKS lebih banyak dibanding kebanyakan teman-teman dan bisa semester pendek dengan tujuan percepatan (bukan perbaikan). Tahun 2003 aku masuk kuliah dan tahun 2006 akhir semua mata kuliah selesai. Tiga tahun. Tinggallah skripsi.  
          Namun, Allah berkehendak lain. Rencanaku bubar jalan. Aku yang notabene masih berantakan dalam mengatur waktu sehingga awalnya tidak mau bekerja dihadapkan pada kenyataan harus bekerja. Berbagai konflik seperti terasa kelereng se-truk dijatuhkan dari langit ke kepalaku. Mulanya masalah ekonomi, berimbas ke masalah keluarga, berimbas ke masalah internal diriku, dst.
          Aku kesulitan konsentrasi. Pikiranku pecah ke mana-mana. Bolehlah kau tahu, aku baru kembali ke kampus tahun 2010 (sejak tahun 2007 awal). Sebelumnya, aku ke kampus hanya untuk bayaran, tanpa kuliah, tanpa konsul, tanpa aktivitas apa pun—temanku selalu bilang: “Ika Fitriana sedang bertapa di gunung”.
          Aku rapuh, itu aku tahu. Padahal mungkin masalah-masalah yang kuhadapi adalah masalah umum yang cuma bernilai setitik dibanding masalah-masalah yang dihadapi orang lain. Yah, begitulah. Aku pengecut yang melarikan diri.
          Beruntungnya aku memiliki orang-orang yang peduli padaku. Mana bisa aku melupakan nama-nama seperti: Imas Uliyah, Indah Bakti, Nuniek Nurbayani, Anandia Eka Kencanawati, Wati yunita, Wahyu Nur Indah Kurniasari, Siti Asiyah, dan sederet nama lain yang kalau dituliskan serasa kata pengantar skripsiku pindah ke sini. Mereka memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Kurasa, mereka sempat hampir patah semangat membangun semangat dan percaya diriku yang mati suri.
          Hal lain yang membuatku makin gentar menghadapi skripsi adalah pembimbingku yang idealis. Memilih beliau adalah kemauanku. Mengajar di beberapa universitas ternama dan aktif di berbagai organisasi membuat beliau berkacamata luas. Aku merasa beruntung bisa dibimbing beliau.
          Tapi ya… itu. Waktu beliau terbatas. Harus sering bolak-balik Jakarta-Jember. Pernah konsulku dibatalkan sampai 3 atau 4 kali baru bisa bertemu. Pernah beliau suruh imel, tapi baru dibahas saat bertemu. Pernah beliau suruh kirim dokumen ke Jember, pun dibahas saat beliau kembali. Minimal 1 tahun bimbingan dengan beliau. Sampai beliau benar-benar yakin kita siap sidang, barulah kita di-acc.
          Aku bersyukur, paling maksimal cuma disuruh konsul di bandara—ada yang pernah harus ke Jember menyusul beliau. Ya. Aku ke bandara hanya untuk konsul. Jangan kaubayangkan kami akan duduk dan membahas skripsiku di salah satu bangku di sana. Kami membahas skripsi sambil berdesakan antre masuk terminal!
          Aku, ketika sedang konsul waktu itu, hanya membawa satu pulpen, skripsi, dan goody-bag. Ponsel, dompet, dan tas kutitip pada Bapak yang duduk di salah satu bangku. Benar-benar tak terbayang jika aku dimintai tiket. Di depan sana tampak petugas memeriksa tiket orang-orang yang antre. Aku benar-benar khawatir. Bagaimana jika dimintai tiket? Bagaimana jika dimintai uang apa itu untuk bisa masuk? Padahal nggak punya tiket dan nggak bawa uang.
          Aku berusaha mengabaikan itu. Aku konsen ke skripsi, dan voila! Aku sudah di dalam. Entah Allah campur tangan bagaimana. Mungkin aku tidak terlihat di mata petugas atau apa, yang jelas aku bisa masuk. Aku mengikuti dosenku ke mana pun ia pergi—ke tempat menimbang barang hingga ke meja panjang entah meja apa itu.
           Nafasku belum lega sampai aku keluar dari situ. Aku mencari-cari pintu keluar. Ada satu pintu—mungkin itu pintu petugas atau apa. Aku lewat situ dan dengan tatapan aneh satpam di pintu yang tampak selalu tertutup itu aku keluar. Fiuuuuhh… syukurlah!
          Masih kuingat betul saat aku (akhirnya) aku di-acc sidang oleh beliau. Waktu itu sudah  malam. Dengan perjalanan kurang lebih 1,5 jam, aku di rumahnya hanya sekitar 5-10 menit. Tanda tangan. Selesai.
Masih kuingat juga waktu sidang. Salah satu pengujiku orang kependidikan—bukan sastra murni. Babak belurlah skripsiku. Karena tegang dan sebagainya, aku kebingungan menjawab. Pembimbingku yang terkenal sebagai orang sangaaatt objektif (tidak pernah membela anak bimbingannya; bahkan ada yang pernah dijatuhkan) untungnya membelaku—tentang hal ini, setelah selesai semua, ia menolak dibilang “membela”, menurutnya ia hanya “menormalkan keadaan”.
Nah, dengan semua yang aku hadapi, bagaimana bisa aku tidak mengatakan betapa istimewanya wisudaku? Kuliah 8 tahun, mahasiswa tertua (nggak benar-benar tertua denotasi, tapi ngerti kan maksudku?), juru kunci angkatan, celingak sana nggak ada yang kenal, celinguk sini nggak ada yang kenal, ditambah seharusnya aku tidak sendiri, seharusnya aku bersama temanku yang seorang lagi yang juga berjuang bersama—entah bagaimana kabarnya sekarang.
Aku sangat, sangat, sangat bersyukur. Bersyukur Allah memantapkan niatku lulus, bersyukur Allah mempermudah jalan menyelesaikan skripsiku, bersyukur aku diberi kelapangan hati menerima segala hal, bersyukur diberi kenikmatan bersyukur, bersyukur dikirimkan malaikat-malaikat berwujud keluarga, teman, saudara, bahkan orang asing, bersyukur diberi berbagai pelajaran, bersyukur atas… ya, semuanya. Semuanya.
Kini aku seperti langit.
Merdeka.
Alhamdulillah.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
*salim*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar