Satu
peristiwa terbaik
Belum-belum
aku sudah seperti nano-nano. Beragam rasa. Seperti banyak bola-bola rasa
bertuliskan: senang, sedih, haru, bahagia, dan kawan-kawan yang mengudara di
kamarku. Mereka muncul dari benak, dari hati, dari mata, dari kuping, dari
segala lubang, dari segala pori di tubuhku.
Mungkin
kamu bertanya-tanya, seberapa istimewanya peristiwa itu sampai-sampai berbagai
rasa memenuhi udara. Ya, kan?!
Mmm…
dia (kita manusiakan saja peristiwa itu, ya?) sangat, sangat istimewa. Dia itu
disebut: WISUDA (kuberi huruf kapital biar matamu bisa membesar dan berbinar.
Hehe…). Menurutku itu satu pencapaian. Bukan cuma pencapaianku, melainkan juga
pencapaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku.
Kamu
tahu, tidak seperti kebanyakan mahasiswa normal, aku perlu menghabiskan 8 tahun
sebagai mahasiswa. Tanpa berniat begitu, tentu. Katakanlah, cita-citaku ideal:
kuliah selesai 4 tahun, bekerja, lalu menikah (dengan tetap kerja).
Awalnya
aku berhasil. Aku bisa mengambil SKS lebih banyak dibanding kebanyakan
teman-teman dan bisa semester pendek dengan tujuan percepatan (bukan
perbaikan). Tahun 2003 aku masuk kuliah dan tahun 2006 akhir semua mata kuliah
selesai. Tiga tahun. Tinggallah skripsi.
Namun,
Allah berkehendak lain. Rencanaku bubar jalan. Aku yang notabene masih
berantakan dalam mengatur waktu sehingga awalnya tidak mau bekerja dihadapkan
pada kenyataan harus bekerja. Berbagai konflik seperti terasa kelereng se-truk
dijatuhkan dari langit ke kepalaku. Mulanya masalah ekonomi, berimbas ke
masalah keluarga, berimbas ke masalah internal diriku, dst.
Aku
kesulitan konsentrasi. Pikiranku pecah ke mana-mana. Bolehlah kau tahu, aku
baru kembali ke kampus tahun 2010 (sejak tahun 2007 awal). Sebelumnya, aku ke
kampus hanya untuk bayaran, tanpa kuliah, tanpa konsul, tanpa aktivitas apa
pun—temanku selalu bilang: “Ika Fitriana sedang bertapa di gunung”.
Aku
rapuh, itu aku tahu. Padahal mungkin masalah-masalah yang kuhadapi adalah
masalah umum yang cuma bernilai setitik dibanding masalah-masalah yang dihadapi
orang lain. Yah, begitulah. Aku pengecut yang melarikan diri.
Beruntungnya
aku memiliki orang-orang yang peduli padaku. Mana bisa aku melupakan nama-nama
seperti: Imas Uliyah, Indah Bakti, Nuniek Nurbayani, Anandia Eka Kencanawati,
Wati yunita, Wahyu Nur Indah Kurniasari, Siti Asiyah, dan sederet nama lain
yang kalau dituliskan serasa kata pengantar skripsiku pindah ke sini. Mereka
memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Kurasa, mereka sempat hampir
patah semangat membangun semangat dan percaya diriku yang mati suri.
Hal
lain yang membuatku makin gentar menghadapi skripsi adalah pembimbingku yang
idealis. Memilih beliau adalah kemauanku. Mengajar di beberapa universitas
ternama dan aktif di berbagai organisasi membuat beliau berkacamata luas. Aku
merasa beruntung bisa dibimbing beliau.
Tapi
ya… itu. Waktu beliau terbatas. Harus sering bolak-balik Jakarta-Jember. Pernah
konsulku dibatalkan sampai 3 atau 4 kali baru bisa bertemu. Pernah beliau suruh
imel, tapi baru dibahas saat bertemu. Pernah beliau suruh kirim dokumen ke
Jember, pun dibahas saat beliau kembali. Minimal 1 tahun bimbingan dengan
beliau. Sampai beliau benar-benar yakin kita siap sidang, barulah kita di-acc.
Aku
bersyukur, paling maksimal cuma disuruh konsul di bandara—ada yang pernah harus
ke Jember menyusul beliau. Ya. Aku ke bandara hanya untuk konsul. Jangan
kaubayangkan kami akan duduk dan membahas skripsiku di salah satu bangku di
sana. Kami membahas skripsi sambil berdesakan antre masuk terminal!
Aku,
ketika sedang konsul waktu itu, hanya membawa satu pulpen, skripsi, dan goody-bag. Ponsel, dompet, dan tas
kutitip pada Bapak yang duduk di salah satu bangku. Benar-benar tak terbayang
jika aku dimintai tiket. Di depan sana tampak petugas memeriksa tiket orang-orang
yang antre. Aku benar-benar khawatir. Bagaimana jika dimintai tiket? Bagaimana
jika dimintai uang apa itu untuk bisa masuk? Padahal nggak punya tiket dan
nggak bawa uang.
Aku
berusaha mengabaikan itu. Aku konsen ke skripsi, dan voila! Aku sudah di dalam.
Entah Allah campur tangan bagaimana. Mungkin aku tidak terlihat di mata petugas
atau apa, yang jelas aku bisa masuk. Aku mengikuti dosenku ke mana pun ia
pergi—ke tempat menimbang barang hingga ke meja panjang entah meja apa itu.
Nafasku belum lega sampai aku keluar dari
situ. Aku mencari-cari pintu keluar. Ada satu pintu—mungkin itu pintu petugas
atau apa. Aku lewat situ dan dengan tatapan aneh satpam di pintu yang tampak
selalu tertutup itu aku keluar. Fiuuuuhh… syukurlah!
Masih
kuingat betul saat aku (akhirnya) aku di-acc sidang oleh beliau. Waktu itu
sudah malam. Dengan perjalanan kurang
lebih 1,5 jam, aku di rumahnya hanya sekitar 5-10 menit. Tanda tangan. Selesai.
Masih kuingat juga
waktu sidang. Salah satu pengujiku orang kependidikan—bukan sastra murni. Babak
belurlah skripsiku. Karena tegang dan sebagainya, aku kebingungan menjawab. Pembimbingku
yang terkenal sebagai orang sangaaatt objektif (tidak pernah membela anak
bimbingannya; bahkan ada yang pernah dijatuhkan) untungnya membelaku—tentang hal
ini, setelah selesai semua, ia menolak dibilang “membela”, menurutnya ia hanya “menormalkan
keadaan”.
Nah, dengan
semua yang aku hadapi, bagaimana bisa aku tidak mengatakan betapa istimewanya
wisudaku? Kuliah 8 tahun, mahasiswa tertua (nggak benar-benar tertua denotasi,
tapi ngerti kan maksudku?), juru kunci angkatan, celingak sana nggak ada yang
kenal, celinguk sini nggak ada yang kenal, ditambah seharusnya aku tidak
sendiri, seharusnya aku bersama temanku yang seorang lagi yang juga berjuang
bersama—entah bagaimana kabarnya sekarang.
Aku sangat,
sangat, sangat bersyukur. Bersyukur Allah memantapkan niatku lulus, bersyukur
Allah mempermudah jalan menyelesaikan skripsiku, bersyukur aku diberi kelapangan
hati menerima segala hal, bersyukur diberi kenikmatan bersyukur, bersyukur
dikirimkan malaikat-malaikat berwujud keluarga, teman, saudara, bahkan orang
asing, bersyukur diberi berbagai pelajaran, bersyukur atas… ya, semuanya. Semuanya.
Kini aku
seperti langit.
Merdeka.
Alhamdulillah.
Terima kasih,
terima kasih, terima kasih… .
*salim*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar