Selasa, 29 Maret 2011

pesan..


Saya dititipi pesan dari teman di lantai 1 untuk teman di lantai 3.
Pesannya berupa pertanyaan:
teman yang di lantai 3 itu izin berapa kali?

Sepanjang perjalanan ke atas,
saya mengunyah pesan itu,
ini saya lakukan untuk mengingat pesan yang diamanatkan kepada saya.
“berapa kali izin?”
“berapa kali izin?”
“berapa kali izin?”
saya lafalkan berulang-ulang seperti mantra
meskipun tidak bersuara keras
--atau bahkan tidak bersuara.

Kebiasaan ini saya lakukan sejak kecil.
Ketika itu, saya sering diminta ibu untuk membeli sesuatu ke warung.
Jarak antara warung ke rumah saya itu dekat.
Yaah.. kayak dari MAN ke rusun.
Kayak dari pasca ke blok M.
Kayak dari pege RM ke tukang gorengan pinggir jalan.
Deket, kan?

Nah, dengan jarak sedekat itu saja,
Saya seringkali lupa dengan pesan ibu saya,
apalagi yang dipesan banyak,
apalagi jika konsentrasi saya terganggu:
diajak ngobrol temen atau ibu tetangga (atau cuma disapa),
liat layangan putus,
atau nginjek tai ayam.
Bisa bubar jalan itu ingatan.

Pernah malah sesampainya di warung,
Saat si ibu penjual bilang,
“tuku opo, Ik?”
(artinya: beli apa, Ik?)
Saya jawab,
“Eh, emm.. apa, ya, Bulek?
Lupa..
Nanti dulu, deh, Bulek..
Aku tanya mama lagi..”
Ting.
Saya pulang lagi.
Tinggallah si ibu penjual geleng-geleng kepala
dan ibu di rumah marah-marah karena saya (untuk ke sekian kalinya) lupa.

Dikira saya nggak kesal apa.
udah disuruh-suruh,
lupa,
pulang dulu,
truz ke warung lagi.
Emang saya pernah minta jadi pelupa?
Belom lagi kalo di warung lagi antre.
Sebentaran aja bisa lupa,
Apalagi kalo lama nunggu?

nah, karena seringnya lupa,
ibu saya lantas memikirkan cara jitu untuk menyiasatinya.
Ia menyuruh saya mencatat pesannya
(ketika saya sudah bisa menulis tentunya).
Sejak itu,
saya selalu mencatat hal-hal yang harus dibeli (dan diingat)
meskipun hanya beli cabe lima ratus rupiah
dan tetap melafalkan pesan seperti mantra tentunya..
“cabe 500.. cabe 500.. cabe 500… .”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar