: Tanggapan untuk Fadhli Amir dalam
tulisan "Tidak Semua Orang Kampung Kampungan"
Hai,
Fad, ini adalah tulisan ulangku tentang “kampungan”. Sebagaimana yang sudah
kuceritakan kepadamu, tulisan awalku rusak file-nya.
Nggak bisa dibuka. Nggak ngerti kenapa. Barangkali memang dia nggak mau dimunculkan. Halah.
Gini,
Fad, aku nggak kepengen kata kampungan dihilangkan
dari kamus seperti usulmu itu. Kenapa? Ya, kenapa emang dengannya sampai dia
dihapus?
Jika
ada nilai rasa yang melekat dalam sebuah kata, menurutku, ya tanggung jawab
masyarakat (alias kita), bukan malah dibebankan kepada kata.
Membaca
tulisanmu aku teringat dengan pembantu
rumah tangga. Kupikir ia mendapat nasib yang serupa dengan kampungan. Atas dasar survei “selewat
dan suka-suka”-ku, ada kesan hina banget di sana. Orang-orang lantas
memperhalus dengan “si mbak” , dsb. Pertanyaanku: emang perlu banget begitu?
Pada
perkembangannya malah ada yang mengganti pembantu
rumah tangga dengan asisten rumah
tangga. Ini malah menghina, menurutku. Ya, udah, sih, pembantu rumah tangga saja. Toh, di mataku, pembantu rumah tangga sama saja dengan pembantu rektor atau bank
cabang pembantu. Eh, aku curiga, deh, orang-orang yang menyebut asisten rumah tangga itu akan mengganti
dengan asisten rektor atau bank cabang asisten. XD
Fad,
kautahu, tulisanmu itu kurang ajar betul. Ia mengingatkanku dengan beberapa
ingatan dan opini pribadiku tentangnya. Ya, selain ingatan tentang pembantu rumah tangga, aku juga teringat
dengan baby sitter. Masih di ranah
yang sama dengan pembantu, sih. Gini
ceritanya.
Pada
suatu hari yang cerah matahari bersinar meriah (halah!). Aku dan kawan-kawan
kuliahku berkumpul di sebuah mal di Jakarta Utara yang (katanya) elit. Aku
terganggu dengan perempuan-perempuan berseragam yang menunduk-nunduk dan hilir
mudik mengikuti juragan kecilnya. Inferior yang diharuskan. Aku nggak suka.
Aku
lantas nyeletuk, “Kenapa, sih, baby
sitter itu harus pake seragam pas ke mal gini? Kayaknya gimana banget
gitu.”
Em,
maksudku, keciri banget mereka baby
sitter. Kenapa nggak baju bebas aja gitu? Kan jadi sama kayak orang-orang
yang lain. Aku dan teman-temanku membicarakan hal ini sambil mengunyah makanan.
Pembahasan di meja makan. Aku curiga yang kami makan adalah nasib orang, bukan
makanan. Duh.
Bentar,
aku minum dulu.
…
.
Oke.
Lanjut.
Tentang
baby sitter itu, berikutnya kami
menemukan yang tidak berseragam, tapi ya tetap saja keciri kalau ia baby sitter. Mungkin nggak kalau yang
jalan di depan dengan tangan kosong tanpa belanjaan tanpa anak sambil
mengangkat dagu itu baby sitter?
Huft~
Jadi,
inti cerita tentang baby sitter ini
apa, ya?
Ah,
tauklah. Mungkin aku kangen sama teman kampusku. Mari kita kembali ke fokusmu
saja: kampungan.
Aku
menyoroti kampungan bukan pada
“seharusnya kata itu dihilangkan (eh, babu
masih ada atau arkaik? Eh, maap, fokus!)”, melainkan kepada sikap kita
terhadap kata itu. Konsep di pikiran. Aku setuju kalau ada upaya penetralan
terhadap nilai rasa negatif pada kata itu. Aku sendiri bukan orang yang selalu
bisa menetralkan nilai rasa, sih, masih harus banyak belajaaaar… .
Udah.
Gitu aja.
p.s.:
pernah
ada siswa yang heran bukan main setelah tahu aku dipanggil “Mbak” di rumah.
Ngerti, kan, konteks “Mbak” yang mereka tahu itu “pembantu”.
(5 Oktober 2013)
hmmm. menghapus kata "kampungan" lebih kepada kekesalan sebenarnya. Seperti sebuah hal yang tdk mgkin dilakukan, tapi sepertinya ingin. Bukan bermaksud menyalahkan kata. Justru saya menyalahkan kita yang sepakat dengan makna kampungan yang tertera di kamus. Kita seperti mengiyakan, karena terus2n menggunakannya. Menurut saya, makna kata "kampungan" di kamus besar Bahasa Indonesia yang kita jadikan patokan kosakata yang benar, malah mendiskriminasi, dan terkesan ganjil, irasional sebagai sebuah makna kata.
BalasHapushemmm.. masukan.
HapusKayaknya 'Mbak' itu lebih nasional deh pengertiannya bukan berarti pembantu :)
BalasHapusbagi siapa, Vi? kalau dalam kasus yang kutemukan, "Mbak" itu merujuk ke pembantu mereka di rumah..
Hapus