Hai abang tukang kue putu,
Apa
abang tahu betapa takutnya aku dulu tiap abang melintas di depan rumahku?
Tuuu…
tuuu… suara bambu yang menyayat-nyayat seperti suara anak yang menangis itu
membuat anak seatraktif aku—bukan bandel, lho, ya?—lari ke rumah dan
bersembunyi di tirai jendela.
Mama
selalu bilang, kamu itu perwujudan tukang cekok: orang yang memasukkan
ramu-ramuan tradisional ke sebuah kain lalu menjejalkan kain itu ke atas mulut
agar obatnya masuk. Mana mau aku yang tidak suka obat dan jamu ini berurusan
dengan tukang cekok? Hih. Kain kumal tukang cekok selalu melintas di benak saat
kau lewat—apalagi berhenti—di depan rumahku. Jantungku rasanya mau kabur. Takut
aku.
Abang
tukang kue putu,
Tahukah
kau, hingga aku besar, aku baru mengenal putu dan kelepon. Itu pun setelah
mengalami proses penyelidikan—ala aku sendiri tentu. Aku lihat orang-orang yang
mendekatimu, pulang dalam keadaan menangis atau tidak. Aku cari asal suara
“tuuu, tuuu” itu, ada anak nakal yang menangis yang kausembunyikan di gerobak
atau tidak. Aku yang semula tidak mau melihatmu sama sekali mulai memberanikan
diri mengintipmu dari balik tirai. Sebisa mungkin tidak terlihat.
Uh,
syukurlah, kamu tidak benar-benar menakutkan, Bang. Itu semata ulah Mama yang
menurutnya aku tidak bisa dinasihati dan hanya kapok jika merasakan sendiri;
dan aku takutnya hanya cekok. Semoga tidak ada anak yang takut lagi kepadamu
sehingga mereka bisa merasakan kue buatanmu yang sangat Indonesia itu.
Sekian
suratku. Selamat berjualan, Bang. Semoga orang-orang tetap menyukaimu sehingga
daganganmu laris.
Salam cekok,
aku
Surat yang indah dan keren. hehehe salam kenal teh dari abdi ^_^
BalasHapusTerima kasih, mas. Salam kenal juga.. :)
HapusAyeee. heheheku tunggu postingan untuk hari yang ke 29 teh. heheheh ^_^
BalasHapusokeee.. :)
Hapus