Jalan
di Ngricik belum lama diaspal—baru beberapa tahun belakangan. Pasar di sana
tidak buka setiap hari, tetapi hanya hari-hari tertentu saja—tanggalan Jawa.
Namun, fokus saya bukan di situ. Saya mau berbagi tentang air di sana.
Tiap
saya pulang kampung, saya selalu tertarik dengan sistem pengairannya. Bukan,
bukan irigasi yang saya maksud. Air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Penduduk
di sana mengambil air tanah tidak menggunakan mesin tertentu, tidak menggunakan
timba, apalagi memanfaatkan jasa perusahaan air minum. Mereka mengandalkan
sumber air alami. Sumber air ini biasanya ada di sekitar sungai.
Dahulunya warga setempat pergi ke sungai untuk kegiatan mandi dan cuci-cuci. Sebuah bilik
(biasanya tanpa atap) dibangun di tempat yang memiliki sumber air.
Dalam satu bilik, biasanya lebih dari tiga orang bisa mandi sekaligus. Pikiran
kotor? O, o, pikiran mereka bersih sejernih airnya. Tidak ada yang berpikiran
macam-macam melihat orang lain mandi—biasanya mereka menggunakan kain basahan.
Itu
tahun ‘90-an. Masa kecil saya. Tiap kali mandi dan buang air, saya selalu ke
sungai. Meskipun tidak buang air, saya akan beralasan buang air demi bisa
bermain-main air di sungai.
Seiring
berjalannya waktu, warga tidak lagi menggunakan sungai sebagai pusat kegiatan
bersih-bersih. Sekarang di tiap rumah terdapat kamar mandi lengkap dengan
peturasannya. Hanya kerbau dan sapi yang masih mandi di sungai.
Oh,
iya, saya tadi mau bicara tentang sistem pembagian air bersih di sana. Tiap
rumah di Ngricik memiliki kolam di kamar mandinya. Air ini digunakan untuk
banyak hal: minum, mandi, dan bersih-bersih. Mereka memanfaatkan air dari
sumber.
Alur
perjalanan airnya kira-kira sebagai berikut:
Air
dari sebuah sumber—biasanya di sungai ada beberapa sumber air—dialirkan melalui
pipa ke sebuah kolam kecil yang dibangun di ladang/pekarangan seorang penduduk.
Untuk pembangunan kolam kecil dan pembelian pipa biasanya mereka urunan. Dari
kolam kecil inilah air meluncur ke rumah-rumah warga yang dihubungkan dengan
selang. Tidak ada keran. Untuk menghentikan aliran air di kolam mereka di
rumah, mereka menggunakan gabus atau semacam itu untuk menyumbat.
Satu
sumber air bisa dimanfaatkan oleh beberapa warga, tergantung besar-kecilnya air
yang keluar dari sumber tersebut. Semakin besar sumber air, semakin banyak
warga yang dapat memanfaatkannya. Hingga hari ini.
Bersyukurlah
mereka di sana masih bisa mendapatkan air yang memadai untuk kehidupan
sehari-hari. Bukankah air mengisi segala lini kehidupan?
(tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Jurnalistik Aqua)
kalau desa Nungkulan ada di Wikimapia
BalasHapushttp://wikimapia.org/street/15843672/id/nungkulan
Di sana ada semacam kedung mbak?
Wah, ternyata ada ya? Terima kasih.. :D
Hapus