Senin, 17 Maret 2014

VVIP

          Angkot itu memang menyuguhkan banyak cerita.
          Malam itu sudah malam (ya, iyalaaah), Nyonya, melalui sandek, menceritakan tentang pengalamannya di angkot saat itu. Bukan pengalaman menyenangkan, melainkan, em, tragis, mungkin.
          Sopir-sopir angkot X, untuk Anda ketahui, memang sering membawa teman/keluarga/siapalah itu di angkot. Biasanya mereka duduk di bangku VVIP alias di sebelah sopir. Malam itu, sopir angkot yang dia naiki membawa keluarganya: istri dan satu anak.
          Si anak menangis entah karena alasan apa. Dengan maksud mendiamkan anaknya, Si ibu menampar anak itu. PLAK.
          “Diam nggak!” serunya.
          Bukannya diam, tangis si anak makin kencang. Barangkali si ibu gemas, ia kembali mendaratkan tamparan di pipi si anak. PLAK. “DIAM!”
          Ini berulang beberapa kali. Apakah si anak diam?
          Tidak.
          Si ibu terus melakukan hal yang sama. Karena tidak berhasil mendiamkan anaknya yang menangis, si bapak alias sopir merasa perlu ikut campur.
          Apa yang ia lakukan?
          PLAK.
          Menampar juga. Sambil—juga—membentak, “DIAM!”
          Adegan tampar-menampar itu, lapornya, terus berlanjut.  
          Nah, sampai di sini, menurut Anda, apa yang terjadi 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun yang akan datang saat ia—si anak—dewasa? Akan jadi model apa dia jika contoh langsung yang ia terima, kebenaran yang ia punya, kekerasan begitu?

(5 Maret 2014)


2 komentar:

  1. Saya rasa, nanti besarnya dia bakal jadi anak yang pembangkang, dan dari sisi psikologis bakalan jadi orang yang minder, gara2 sering dibully

    BalasHapus