Yem,
Waktu
aku ke Pemalang bulan Juli tahun 2013, aku melihat beberapa orang lelaki
berdiri di bagian belakang sebuah truk. Mereka arep ngetan kethoke[1].
Aku bersama teman-temanku berada persis di belakang truk mereka yang sedang
melaju.
Yem,
Entah
kenapa, aku merasa sedih, haru, dan bangga sekaligus melihat mereka. Aku
teringat Bapakku, Yem.
Yem,
Yem,
Ngiris ning ati rasane, ndhelok wong lanang
kae.[4]
Baju mereka bocel-bocel dan kotor
penuh tanah. Aku menduga mereka dari Jakarta (atau sekenanya) yang kerja
menggali saluran PLN atau saluran apa itu di pinggir jalan. Aku menduga
merekalah si Penantang Matahari yang di tengah terik bertelanjang dada demi
mencari nafkah.
Yem,
Kuwi pak’e sopo?[5]
Yem,
Apa
betul Jakarta lebih menjanjikan? Mereka bela-belain
datang dari kampung, beberapa hari di Jakarta cuma dengan tujuan membuat
saluran di pinggir jalan. Mereka pulang menumpang di truk kena angin malam apa
tidak kedinginan, ya, Yem? Lha kalau aku enak, duduk anteng di mobil temanku.
Kalaupun dingin, dingin AC. Mereka?
Yem,
Aku
sangat berharap, bila salah satu lelaki itu suamimu, sambut mereka dengan
senyum dan terima kasih saat pulang nanti. Aku juga berharap, semoga anak-anak
mereka sadar betul apa yang dibela para bapak itu.
Yem,
Sebut
aku tidak tahu diri karena banyak berharap, tetapi benar aku berharap semoga
mereka—yang bekerja betul demi mereka dan keluarga—dilindungi Tuhan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar