Sabtu, 01 Maret 2014

Yem

Yem,
          Waktu aku ke Pemalang bulan Juli tahun 2013, aku melihat beberapa orang lelaki berdiri di bagian belakang sebuah truk. Mereka arep ngetan kethoke[1]. Aku bersama teman-temanku berada persis di belakang truk mereka yang sedang melaju.

Yem,
          Entah kenapa, aku merasa sedih, haru, dan bangga sekaligus melihat mereka. Aku teringat Bapakku, Yem.

Yem,
          Wong lanang ning truk kae bojone sopo?[2] Opo bojomu? [3]

Yem,
          Ngiris ning ati rasane, ndhelok wong lanang kae.[4] Baju mereka bocel-bocel dan kotor penuh tanah. Aku menduga mereka dari Jakarta (atau sekenanya) yang kerja menggali saluran PLN atau saluran apa itu di pinggir jalan. Aku menduga merekalah si Penantang Matahari yang di tengah terik bertelanjang dada demi mencari nafkah.

Yem,
          Kuwi pak’e sopo?[5]

Yem,
          Apa betul Jakarta lebih menjanjikan? Mereka bela-belain datang dari kampung, beberapa hari di Jakarta cuma dengan tujuan membuat saluran di pinggir jalan. Mereka pulang menumpang di truk kena angin malam apa tidak kedinginan, ya, Yem? Lha kalau aku enak, duduk anteng di mobil temanku. Kalaupun dingin, dingin AC. Mereka?

Yem,
          Aku sangat berharap, bila salah satu lelaki itu suamimu, sambut mereka dengan senyum dan terima kasih saat pulang nanti. Aku juga berharap, semoga anak-anak mereka sadar betul apa yang dibela para bapak itu.

Yem,
          Sebut aku tidak tahu diri karena banyak berharap, tetapi benar aku berharap semoga mereka—yang bekerja betul demi mereka dan keluarga—dilindungi Tuhan. Amin.





[1] Mereka sepertinya akan pulang ke kampung.
[2] Lelaki yang ada di truk itu suaminya siapa?
[3] Apa suamimu?
[4] Hatiku seperti diiris rasanya melihat lelaki itu.
[5] (Lelaki) itu bapaknya siapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar