Suatu
hari Ibu Jempol mengajak anak-anaknya berwisata di hari kerja. Anak-anak sangat
gembira karena ibu mereka mengurangi jatah bekerja dan memilih wisata. “Kita ke
mana, Bu? Mau ke mana?” tanya mereka sambil menarik-narik baju ibunya.
“Kita
ke Salihara,” jawab Ibu Jempol.
Ibu
Jempol mengajak anak-anaknya masuk ke dalam Anyara, sepatu wedges karet Nona Ika. Anak-anak dengan riang masuk Anyara. “Mari!
Mari!” seru mereka.
Nona Ika pulang kerja naik transjaka jam lima.
Ia berharap bisa lekas tiba. Ibu Jempol dan anak-anaknya pula tak sabar
mencapai Salihara.
Sebenarnya,
Ibu Jempol punya rahasia. Dengan Ibu Jari ia ingin berjumpa. Pula anak-anaknya.
Ibu Jari itu siapa? Ya, ya, sini kuberi tahu, pasang telinga. Ibu Jari dan
anak-anaknya biasa menumpang dalam sepatu cokelat seorang pria. Pria ini bukan
pria biasa, ia pemilik hati Nona Ika.
Naik
transjaka dari jam lima. Ibu Jempol dan anak-anaknya menopang Nona Ika.
Membantunya bergelayutan semampu-mampunya.
Transjaka
jam lima banyak betul penggemarnya. Meski begitu, Ibu Jempol dan anak-anaknya
tak surut rianya. “Macet itu biasa. Nikmati saja selagi bisa,” demikian Ibu
Jempol berkata.
Nona
Ika pemilik Anyara kurus tubuhnya. Kadang Ibu Jempol merasa Nona Ika bodoh
orangnya. Bagaimana tidak, sudah tahu kurus, ia pilih berdiri di muka, dekat
sopir transjaka yang sedang bekerja supaya transjaka baik jalannya. Nona Ika
menjadi pusat tumpu orang-orang yang kalau sopir menginjak rem akan bergelayut
ke arahnya.
“Ibu,
Ibu, mari bantu Nona Ika!” seru salah seorang di antaranya.
“Ayo,
ayo, Nak.”
Ibu
Jempol dan anak-anaknya bekerja luar biasa. Meski “bekerja”, bagi mereka ini
sebenar-benarnya wisata. Mereka menopang Nona Ika sambil bernyanyi-nyanyi,
memperdengarkan suara. Sesekali terdengar juga, “Wooohooo”, saat mereka harus
bergelayut ke sana ke mari ikuti irama laju transjaka.
Bagi
Ibu Jempol dan anak-anaknya, sopir transjaka ini lembut hatinya. Ia membunyikan
klakson dengan bunyi “tin”, bukan “TIN”, bukan pula “TIN-TIN” bila kendaraan
lain tak segera. Ia melajukan transjaka tak seperti gerbong makan mengejar
kepala pada kereta: berlomba-lomba.
Magrib
sudah menunjukkan muka. Ibu Jempol dan anak-anaknya tahu sedang tak salat si
Nona Ika. Ibu Jempol dan anak-anaknya lantas bertanya-tanya, “Apa Nona Ika
ingat dengan kita? Apa dia berdoa agar kita baik-baik saja di dalam Anyara?”
Mereka
melihat mata menyipit Nona Ika. Sewaktu bus mengerem, tubuh orang-orang
tertumpu kepadanya. Ibu Jempol dan anak-anaknya tahu seberapa pemarah dan tak
sabarnya Nona Ika.
“Mari,
Nak, kita berdoa. Semoga sabar meliputi Nona Ika hingga ia tak perlu melempar
Anyara ke wajah orang-orang yang menggencetnya. Kalau tak ada Anyara, kita akan
bagaimana?”
Anak-anak
Ibu Jempol dengan khusyuk berdoa. Ibu Jempol memimpin doa.
Pukul
delapan Ibu Jempol dan anak-anaknya tiba di Salihara. “Ibu! Kita sudah di
Salihara!”
Ibu
Jempol terlonjak hatinya. Ia kembali muda. Semangatnya membara. “Mari kita
wisata!” seru Ibu Jempol kepada anak-anaknya sambil meninju udara.
Ibu
Jempol dan anak-anaknya mendengar Nona Ika berkata kepada temannya, “Gila! Naik
transjaka jam lima! Oh, dan aku lupa ini hari kerja!”
Temannya
tersenyum saja.
“Pas
berangkat tadi aku masih berusia 12 tahun, lho!” seloroh Nona Ika. Ibu Jempol
dan anak-anaknya bertanya-tanya Nona Ika ini serius atau bercanda. Ah, kemudian
mereka memilih tak peduli saja. Toh, mereka sedang berwisata. Jadi, tidak
berpikir yang rumit-rumit di kepala.
Nona
Ika banyak bicara. Namun, kadang Ibu Jempol dan anak-anaknya merasa ia baik
hatinya. Ini sebab ia sempat mengeluarkan Ibu Jempol dan anak-anaknya dari
Anyara saat di Salihara bahkan ketika di transjaka. Ibu Jempol dan anak-anaknya
menikmati pertunjukan dengan gembira. “Hei, di depan sana ada Seno Gumira
Ajidarma!”
Nona
Ika banyak bicara. Namun, Ibu Jempol kadang-kadang merasa itu hanya pengalih
perhatian karena hati Nona Ika ke mana-mana. Ibu Jempol mengira ini terkait
dengan absennya Ibu Jari dan anak-anaknya yang menumpang sepatu cokelat seorang
pria. Ya, sebagaimana Ibu Jempol tidak menjumpai Ibu Jari, begitu pula Nona
Ika. Ia dan si pria tak kunjung bersua. Entah ini akan berapa lama.
(Salihara, 10 Oktober 2013)
Apik, Kaaffffff :D
BalasHapusAw, terima kasih, Eva! :D
Hapus