“Kaf,
mau kukasih choki-choki?” kata seorang lelaki kepadaku.
“Mau!”
Tentu saja.
“Sebentar,
ya!”
Beberapa
menit kemudian, “Yah, ternyata sudah habis.”
***
Keesokan
harinya, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
“Mau!”
“Sebentar,
ya!”
Beberapa
menit kemudian, “Wah, choki-chokinya belum ada.”
***
Lusa,
ia menanyakan hal itu lagi. “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
“Beneran
nggak, nih?”
“Bener!”
“Em,
mau!”
“Sebentar,
ya!”
Beberapa
menit kemudian, “Tadi sudah kubeli choki-chokinya, tapi ada anak yang menangis.
Jadi kukasih choki-choki itu kepadanya.”
***
Tulat,
ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
“Ah,
kamu bohongin aku!”
“Loh,
kapan aku bohong? Kan kemarin memang sudah kubeli, tapi—“
“—Banyak
alasan.”
“Jadi,
mau nggak?”
“Mau!”
“Sebentar,
ya!”
Beberapa
menit kemudian, “Aku kalah rebutan dengan ibu-ibu, Kaf.”
***
Tubin,
ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
“Auk,
ah.”
“Dih,
masih sensi.”
Aku
diam. Cemberut.
“Jadi,
mau nggak, Kaf?”
“Mau.”
“Sebentar,
ya!”
Beberapa
menit kemudian, “Kaf, choki-chokinya katanya habis diborong cewek. Nggak tahu
siapa.”
“Iya.
Cewek itu aku. Aku sudah punya banyak choki-choki sekarang. Jadi, kau tak perlu
menawarkan choki-choki yang tak kaupunya itu untuk kauberikan kepadaku.”
(9 Desember 2013)
buahahahahaha.... *ngakak* x))
BalasHapushehe hehe
HapusGood and Smart Choice!!!
BalasHapusMerdeka!!!
Hapus