Angkot
itu memang menyuguhkan banyak cerita.
Malam
itu sudah malam (ya, iyalaaah), Nyonya, melalui sandek, menceritakan tentang
pengalamannya di angkot saat itu. Bukan pengalaman menyenangkan, melainkan, em,
tragis, mungkin.
Sopir-sopir
angkot X, untuk Anda ketahui, memang sering membawa teman/keluarga/siapalah itu
di angkot. Biasanya mereka duduk di bangku VVIP alias di sebelah sopir. Malam
itu, sopir angkot yang dia naiki membawa keluarganya: istri dan satu anak.
Si
anak menangis entah karena alasan apa. Dengan maksud mendiamkan anaknya, Si ibu
menampar anak itu. PLAK.
“Diam
nggak!” serunya.
Bukannya
diam, tangis si anak makin kencang. Barangkali si ibu gemas, ia kembali
mendaratkan tamparan di pipi si anak. PLAK. “DIAM!”
Ini
berulang beberapa kali. Apakah si anak diam?
Tidak.
Si
ibu terus melakukan hal yang sama. Karena tidak berhasil mendiamkan anaknya
yang menangis, si bapak alias sopir merasa perlu ikut campur.
Apa
yang ia lakukan?
PLAK.
Menampar
juga. Sambil—juga—membentak, “DIAM!”
Adegan
tampar-menampar itu, lapornya, terus berlanjut.
Nah,
sampai di sini, menurut Anda, apa yang terjadi 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun
yang akan datang saat ia—si anak—dewasa? Akan jadi model apa dia jika contoh
langsung yang ia terima, kebenaran yang ia punya, kekerasan begitu?
(5 Maret 2014)
Saya rasa, nanti besarnya dia bakal jadi anak yang pembangkang, dan dari sisi psikologis bakalan jadi orang yang minder, gara2 sering dibully
BalasHapusJadi anak baik, ya!
Hapus