Sabtu, 15 Maret 2014

Ibu Jempol dan Anak-anaknya Berwisata di Hari Kerja

          Suatu hari Ibu Jempol mengajak anak-anaknya berwisata di hari kerja. Anak-anak sangat gembira karena ibu mereka mengurangi jatah bekerja dan memilih wisata. “Kita ke mana, Bu? Mau ke mana?” tanya mereka sambil menarik-narik baju ibunya.
          “Kita ke Salihara,” jawab Ibu Jempol.
          Ibu Jempol mengajak anak-anaknya masuk ke dalam Anyara, sepatu wedges karet Nona Ika. Anak-anak dengan riang masuk Anyara. “Mari! Mari!” seru mereka.
           Nona Ika pulang kerja naik transjaka jam lima. Ia berharap bisa lekas tiba. Ibu Jempol dan anak-anaknya pula tak sabar mencapai Salihara.
          Sebenarnya, Ibu Jempol punya rahasia. Dengan Ibu Jari ia ingin berjumpa. Pula anak-anaknya. Ibu Jari itu siapa? Ya, ya, sini kuberi tahu, pasang telinga. Ibu Jari dan anak-anaknya biasa menumpang dalam sepatu cokelat seorang pria. Pria ini bukan pria biasa, ia pemilik hati Nona Ika.
          Naik transjaka dari jam lima. Ibu Jempol dan anak-anaknya menopang Nona Ika. Membantunya bergelayutan semampu-mampunya.
          Transjaka jam lima banyak betul penggemarnya. Meski begitu, Ibu Jempol dan anak-anaknya tak surut rianya. “Macet itu biasa. Nikmati saja selagi bisa,” demikian Ibu Jempol berkata.
          Nona Ika pemilik Anyara kurus tubuhnya. Kadang Ibu Jempol merasa Nona Ika bodoh orangnya. Bagaimana tidak, sudah tahu kurus, ia pilih berdiri di muka, dekat sopir transjaka yang sedang bekerja supaya transjaka baik jalannya. Nona Ika menjadi pusat tumpu orang-orang yang kalau sopir menginjak rem akan bergelayut ke arahnya. 
          “Ibu, Ibu, mari bantu Nona Ika!” seru salah seorang di antaranya.
          “Ayo, ayo, Nak.”
          Ibu Jempol dan anak-anaknya bekerja luar biasa. Meski “bekerja”, bagi mereka ini sebenar-benarnya wisata. Mereka menopang Nona Ika sambil bernyanyi-nyanyi, memperdengarkan suara. Sesekali terdengar juga, “Wooohooo”, saat mereka harus bergelayut ke sana ke mari ikuti irama laju transjaka.
          Bagi Ibu Jempol dan anak-anaknya, sopir transjaka ini lembut hatinya. Ia membunyikan klakson dengan bunyi “tin”, bukan “TIN”, bukan pula “TIN-TIN” bila kendaraan lain tak segera. Ia melajukan transjaka tak seperti gerbong makan mengejar kepala pada kereta: berlomba-lomba.
          Magrib sudah menunjukkan muka. Ibu Jempol dan anak-anaknya tahu sedang tak salat si Nona Ika. Ibu Jempol dan anak-anaknya lantas bertanya-tanya, “Apa Nona Ika ingat dengan kita? Apa dia berdoa agar kita baik-baik saja di dalam Anyara?”
          Mereka melihat mata menyipit Nona Ika. Sewaktu bus mengerem, tubuh orang-orang tertumpu kepadanya. Ibu Jempol dan anak-anaknya tahu seberapa pemarah dan tak sabarnya Nona Ika.
          “Mari, Nak, kita berdoa. Semoga sabar meliputi Nona Ika hingga ia tak perlu melempar Anyara ke wajah orang-orang yang menggencetnya. Kalau tak ada Anyara, kita akan bagaimana?”
          Anak-anak Ibu Jempol dengan khusyuk berdoa. Ibu Jempol memimpin doa.
          Pukul delapan Ibu Jempol dan anak-anaknya tiba di Salihara. “Ibu! Kita sudah di Salihara!”
          Ibu Jempol terlonjak hatinya. Ia kembali muda. Semangatnya membara. “Mari kita wisata!” seru Ibu Jempol kepada anak-anaknya sambil meninju udara.
          Ibu Jempol dan anak-anaknya mendengar Nona Ika berkata kepada temannya, “Gila! Naik transjaka jam lima! Oh, dan aku lupa ini hari kerja!”
          Temannya tersenyum saja.
          “Pas berangkat tadi aku masih berusia 12 tahun, lho!” seloroh Nona Ika. Ibu Jempol dan anak-anaknya bertanya-tanya Nona Ika ini serius atau bercanda. Ah, kemudian mereka memilih tak peduli saja. Toh, mereka sedang berwisata. Jadi, tidak berpikir yang rumit-rumit di kepala.
          Nona Ika banyak bicara. Namun, kadang Ibu Jempol dan anak-anaknya merasa ia baik hatinya. Ini sebab ia sempat mengeluarkan Ibu Jempol dan anak-anaknya dari Anyara saat di Salihara bahkan ketika di transjaka. Ibu Jempol dan anak-anaknya menikmati pertunjukan dengan gembira. “Hei, di depan sana ada Seno Gumira Ajidarma!”
          Nona Ika banyak bicara. Namun, Ibu Jempol kadang-kadang merasa itu hanya pengalih perhatian karena hati Nona Ika ke mana-mana. Ibu Jempol mengira ini terkait dengan absennya Ibu Jari dan anak-anaknya yang menumpang sepatu cokelat seorang pria. Ya, sebagaimana Ibu Jempol tidak menjumpai Ibu Jari, begitu pula Nona Ika. Ia dan si pria tak kunjung bersua. Entah ini akan berapa lama.

(Salihara, 10 Oktober 2013)        


2 komentar: