Jumat, 14 Maret 2014

Choki-choki untuk Ikaf

          “Kaf, mau kukasih choki-choki?” kata seorang lelaki kepadaku.
          “Mau!” Tentu saja.
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Yah, ternyata sudah habis.”
***

          Keesokan harinya, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Mau!”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Wah, choki-chokinya belum ada.”
***

          Lusa, ia menanyakan hal itu lagi. “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Beneran nggak, nih?”
          “Bener!”
          “Em, mau!”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Tadi sudah kubeli choki-chokinya, tapi ada anak yang menangis. Jadi kukasih choki-choki itu kepadanya.”
***

          Tulat, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Ah, kamu bohongin aku!”
          “Loh, kapan aku bohong? Kan kemarin memang sudah kubeli, tapi—“
          “—Banyak alasan.”
          “Jadi, mau nggak?”
          “Mau!”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Aku kalah rebutan dengan ibu-ibu, Kaf.”
***

          Tubin, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Auk, ah.”
          “Dih, masih sensi.”
          Aku diam. Cemberut.
          “Jadi, mau nggak, Kaf?”
          “Mau.”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Kaf, choki-chokinya katanya habis diborong cewek. Nggak tahu siapa.”
          “Iya. Cewek itu aku. Aku sudah punya banyak choki-choki sekarang. Jadi, kau tak perlu menawarkan choki-choki yang tak kaupunya itu untuk kauberikan kepadaku.”


(9 Desember 2013)


4 komentar: