“Pagi
menjelang siaaang…!” sapanya riang dari balik helm yang kacanya terbuka. Mesin
motornya telah dimatikan beberapa saat lalu. Aku tersenyum kepadanya lalu tanpa
basa-basi langsung mengisi tempat kosong di belakang punggung perseginya. “Aku
culik kau hari ini, Tuan Putri.”
“Siaaap!”
sahutku bersemangat. “Kau kuizinkan menculikku, Tuan. Hehehehe… .”
Tak
lama melajulah kami di jalan raya. Kami bertukar cerita tentang banyak hal:
pekerjaan, keluarga, hingga kentut. “Pernah aku baca di Lupus, ada yang kirim karmina gini ‘jangan takut, jangan khawatir.
Ini kentut bukannya petir. Hahaha… .”
“Haha…
. Bisa aja, ya… . Segala kentutlah disamain sama petir,” sahutku. Seperti mesin
yang otomatis, aku menggumam lebih kepada diri sendiri, “Kentut yang ditahan itu kayak cinta yang
terpendam. Bikin sakit seluruh badan.” Mulutku memang terkadang lebih cepat
dari otakku.
“Hah?
Bilang apa tadi?” Kurasa ia cukup jelas mendengarku, hanya perlu penegasan. Hal
yang tidak kulakukan. Aku lebih memilih tersenyum di balik helm.
Berikutnya,
aku memilih memejamkan mata, merasakan waktu itu: aroma sabun mandinya yang
bercampur dengan bau jaket kulit, merekam suaranya, segala tentang dia hari itu.
Menyadari kediamanku, ia bertanya, “Kau tidur, ya?”
“Emmhh…,”
jawabku mengesankan kalau aku memang sedang tidur. Mataku membuka setengah.
“Kok tahu aku tidur? Berasa, ya?”
“Tidur
jam berapa semalam?”
“Normal.”
“Jam
berapa yang kausebut normal itu? Jam 1?”
“Hahahahaha…
.”
Dia
kelewat hafal jam tidurku.
“Cuma
jiwa-jiwa penggelisah yang insomnia, yang jam segitu masih melek padahal bukan
tukang ronda,” ujarnya.
“Ah,
pseudo-intelectual.”
“Apaan,
tuh?”
“Sotoy.”
“Jiaaaah…
. Hahaha…,” tawanya berderai. Cepat-cepat kurekam dalam memoriku. “Sotoy punya
istilah keren juga? Hahaha… . Eh, tapi bener, kan?”
“Bener
apa?”
“Tentang
jiwa penggelisah itu?”
“Lu
pikir gue gelisah jadi nggak bisa tidur cepet?”
Ia
mengedikkan bahu. “Kira-kira begitu.”
Kubiarkan
diam yang meraja.
“Ah,
bener,” ia menyimpulkan sendiri.
Sepuluh
menit kemudian aku tiba di tempat kerjaku. Aku turun dan menghadapnya. Sambil
melepas helm, kubilang kepadanya, “Makasih, yaaa… .”
Ia
tersenyum. “Iya.” Ia menerima helm yang tadi kupakai yang kuangsurkan kepadanya.
“Nggak berasa, ya? Perasaan Jatiwaringin – Rawamangun jauh, deh… . Tapi
sekarang rasanya cepet banget,” lanjutnya.
“Empat
puluh lima menit.” Ternyata kau menikmati
perjalanan, Tuan. Karena hanya orang yang menikmati perjalanan yang akan
menyatakan bahwa perjalanan begitu cepat. Aku menunggunya pergi.
Namun,
ia tak juga beranjak. Malah berkata dengan santai, “Sana masuk.”
“Sana
pergi,” sahutku.
“Masuk
aja dulu.”
“Pergi
aja dulu.”
“Masuk.”
“Pergi.”
“Masuk…
.”
“Pergi…
.”
Sebuah
dering telepon berbunyi. Ponselnya. Permainan “masuk-pergi” kami seketika terhenti.
Ia melihat nama penelepon yang tertera di sana kemudian menatapku penuh arti.
Kuterjemahkan sebagai tatapan minta maaf. Aku hanya bisa tersenyum memaklumi.
“Aku
masuk duluan,” pungkasku. “Sekali lagi, terima kasih atas penculikan ini,
Tuan.” Setelah berkata begitu, aku memunggunginya. Selekas mungkin aku ingin
berlalu dari situ. Hal yang sebenarnya tidak kusukai, tetapi lebih baik begitu.
Sayup-sayup
terdengar suaranya, “Iya, sayang. Ini aku lagi di… .”
Aku
tak mau mendengar lebih dari itu. Cukup.
ini 'masuk-pergi'nya so real. haha. baguuss :D
BalasHapusbelajar nulis panjang. hahaha..
Hapusmakasih, Na.. :D
kenapa satu permaisuri tidak cukup untukmu, Tuan..?
BalasHapusnah!
Hapusapa jawabanmu, Tuan?
Akh, Nona saya sungguh menikmati tulisan ini. Segalanya PAS! Tidak pendek pun panjang, Tidak hambar pun keasinan. PAS!
BalasHapusaih, sip. makasih banyak, ceu.. :))
HapusAduhhhh dasar tukang selingkuh *pembacayangemosi :D
BalasHapushajar aja, Jen. telen! :D
Hapus