Sang pendoa muncul di twitter.
Sekali, dua kali, kau diam saja.
Ketika hampir tiap waktu dia begitu,
kau geram.
Kaubilang,
“Ini twitter, Bung. Mengapa
kau berdoa di sini? Tak adakah
tempat yang lebih privasi untukmu
bicara
kepada Tuhan?”
Nyinyir.
Aku sahuti, “Bukankah terserah dia?
Lagipula, semakin banyak yang tahu
doanya, semakin banyak yang mengamini.
Kalau kau mau berdoa di twitter juga,
silakan saja.
Tak perlu berkomentar nyinyir macam
itu.”
kau, yang kita kenal sebagai orang
keras kepala dan mudah tersinggung,
menjawab kata-kataku,
“Nah, terserah aku juga untuk
berkomentar atau tidak.
Terserah aku mau bereaksi seperti apa.
Kalau kau juga mau bicara seperti
perkataanku kepadanya,
Silakan saja.
Jangan karena ini-itu lantas kau bilang
aku yang nyinyir.”
Aku kesal.
Aku lalu menulis ini di blog.
Mari berdoa :D
BalasHapusmariiiiiii.. :D
Hapushehehe...emang begitulah manusia
BalasHapushe-em.. :))
Hapushuahahahahahahahahahahahaha
BalasHapusah, puas kali kau tertawa..
Hapus