Dua
orang lelaki di warung kopi. Yang satu menyulut rokok, yang lainnya sedang
bicara di telepon.
“Iya,
Sayang,” kata Si Penelepon. “Aku nggak lama, kok. Cuma ketemu Roni sebentar,
ngomongin reuni… . Sayang, ini nggak ada hubungannya… .”
Barangkali
kata-katanya dipotong lawan bicara dengan kata yang tidak berterima karena Si Penelepon
tampak menjauhkan telinganya dari gagang telepon. Setelah beberapa lama, ia
akhirnya bicara, “Nanti kita bicarakan lagi tentang ini. Oke?”
Klik.
Telepon
terputus.
Roni,
Si Perokok itu, mendengus sambil menjentikkan rokoknya di asbak, membuang abu. “Kenapa
lu, Re? Nggak boleh ikut reuni sama yayang lu itu?” tanyanya dengan nada
sinis.
Are,
yang tadi menelepon itu, tersenyum lemah. “Iya, Ron. Dia masih aja cemburu sama
Dini. Padahal kan Dini udah masa lalu… .”
“…
Yang masih lu cinta,” potong Roni.
Kali
ini Are yang mendengus.
“Dia
punya radar, kali, siapa yang perlu diwaspadai,” Roni berteori.
“Ah,
lebay lu!”
“Bener,
kan? Masih ada Dini di situ?” Roni menunjuk dada Are. “Kok bisa-bisanya lu
jalan sama Ayu padahal hati lu di Dini?”
Are menyesap kopinya sebelum menjawab, “Gue vegetarian, Boy!”
“Bah!
Sejak kapan lu jadi vegetarian, Cuy?”
“Ya,
sejak sama Ayu.”
“Apaan,
sih, lu?”
“Barangkali
cinta gue ke Dini, tapi hati kan bisa bertahan, Boy!” pandangannya mengawang. “Nggak
makan daging aja orang bisa tetap hidup dengan makan sayuran. Iya, kan?”
“Gila
lu!”
(Rawamangun, 26 Februari 2013)
biar gak makan ati, jadi vegetarian.. gtu ya???
BalasHapusbebas tafsir.. :)
HapusSemacam cinta adalah perkara memilih :)
BalasHapusemm, kurang lebih begitu.. :)
Hapushahaha. baru liat ini :D
BalasHapusjadi terilhami pengen nulis apa. ika, makasih.
yes. Kutunggu tulisanmu (dan ilustrasinya), Prie..
Hapusyang penting nggak makan hati orang lain bro, hehe
BalasHapusyoi.. setuju, bro! :)
Hapus