Kamis, 14 November 2013

#5BukuDalamHidupku | Buku Zakat - Wakaf dan Sebuah Ingatan

          Hahahaha, tolong jangan husnudzon kepadaku. Aku nggak seagamis itu. Aku cuma mau berkisah tentang buku zakat dan wakaf sebagai bagian dari relasi romansaku dengan seorang pria di masa lalu. Uhuk.
          Ceritanya begini.
          Dulu aku pernah memerlukan info tentang zakat dan wakaf. Sayangnya, aku lupa untuk keperluan apa, mungkin mata kuliah agama di semester awal kuliah. Aku kerap bertanya dan berdiskusi banyak hal dengan dia—kita sebut saja dia Mawar (hahaha!)—tentang zakat dan wakaf. Aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala yang terkait dengan zakat dan wakaf.
          Mawar (hahaha!) dengan sabar meladeni pertanyaanku. Dia menjawab sebisanya. Kami dua orang yang tak tahu apa-apa yang sedang belajar.
          Satu hari ia datang ke rumahku. Seperti yang sudah-sudah, ia datang mengendarai sepedanya (waktu itu dia belum punya motor). Jarak dari rumahnya ke rumahku kurang lebih satu jam dengan motor. Nah, kalau sepeda? Yah, kaubayangkan sendiri sajalah.
          Handuk kecil merah beladus-nya tidak alpa dibawa. Ia menghapus keringat di wajah dan sebagian tubuhnya. Wajahnya lelah, tetapi tampak puas. Aku penasaran. Kurasa tak perlu waktu lama untuk mengetahuinya.
          “Ini,” katanya sambil memberikan dua buah buku. Ya, buku zakat dan wakaf itu. Aku melongo. Aku nggak memintanya membawakan buku atau apa. Ya, memang aku perlu, tapi aku tidak menyuruhnya mendatangkan buku itu.
          Mawar (bahahahak, Mawar!) memang suka begitu. Ia bisa tiba-tiba datang membawakan tas ransel besar saat tahu aku mau ke Baduy tapi nggak punya tas yang cukup untuk menampung baju tiga hari. Di rumahku cuma lima menit! Ngasih tas terus pulang—padahal dia sendiri harusnya menyiapkan diri untuk ke Kalimantan waktu itu. Hari lain dia pagi-pagi ke rumah cuma untuk ambil ponselnya yang ketinggalan. Habis itu pulang.
          Begitu juga waktu dia membawakan kedua buku itu. Dia datang begitu saja tanpa aba-aba dengan dua buku itu mengisi tasnya. Tentu aku begitu senang.
         
          Yuhuuu~ Mas Irwan Bajang~ Ini bener harus lima ratus kata? Duh, aku takut kebanyakan ngomong tentang Mawar (hahahaha!) iniiih… . Kebanyakan mengingat nanti jadi gawat. Haloooo, Mas Irwan… . *lambai kamera*
         
          Huft.
          Mari lanjutkan saja. Buku itu—sebagaimana buku apa pun—kerenlah, ya. Memberi informasi, dan seterusnya.
         
          Udah lima ratus kata? Belum? Oke, ngoceh lagi.
         
          Belakangan aku tahu dari kawan-kawan, sebelum kedua buku itu sampai di tanganku, Mawar (ya, ampun! Hahaha!) berkeliling Jatinegara demi mencari buku itu! Ah, Mawar (hahaha!) keren! Aku belum tentu seniat itu.
          Kalau kamu jadi aku, tentu kamu merasa tersanjung—sekaligus tidak enak. Ya, kan?
          Iyalah. Dia bukan dari keluarga ada. Buku yang ia belikan itu pun bisa jadi bekas pakai. Namun, kau tentu tahu, yang sudah dia lakukan itu tidak kerdil nilainya! Aku merasa keterlaluan kalau sampai membuatnya ngebela-belain.
          Kautahu, untuk menulis ini saja aku sulit. Ingatan membuatku babak belur. Aku selalu merasa aku tidak melakukan apa-apa untuknya padahal ia melakukan banyak hal untukku. Keterlaluan.
          Akhir cerita, kedua buku itu mesti kembali kepadanya. Lupa aku sebabnya. Sepertinya kami bertengkar terus aku kembalikan bukunya, deh… .
          Ah, Mawar (hehehe) semoga segala niat baikmu diberkahi Allah. Terima kasih.

          Hoy, Mas Irwan. Halo, haloo~ Aku sudah selesai ini. Sudah, cukup, tidak ada yang perlu diceritakan lagi. Sudah 500 kata. Cukup, cukup. Sekian. Terima kasih.

Berhubung aku tidak punya bukunya, aku lupa fisik buku tersebut. Yang jelas, keduanya berwarna hijau. Yang jadi gambar di sini merupakan gambar yang kupinjam dari google.

(10 November 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar