Hahahaha,
tolong jangan husnudzon kepadaku. Aku
nggak seagamis itu. Aku cuma mau berkisah tentang buku zakat dan wakaf sebagai
bagian dari relasi romansaku dengan seorang pria di masa lalu. Uhuk.
Ceritanya
begini.
Dulu
aku pernah memerlukan info tentang zakat dan wakaf. Sayangnya, aku lupa untuk
keperluan apa, mungkin mata kuliah agama di semester awal kuliah. Aku kerap
bertanya dan berdiskusi banyak hal dengan dia—kita sebut saja dia Mawar
(hahaha!)—tentang zakat dan wakaf. Aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang
terlintas di kepala yang terkait dengan zakat dan wakaf.
Mawar
(hahaha!) dengan sabar meladeni pertanyaanku. Dia menjawab sebisanya. Kami dua
orang yang tak tahu apa-apa yang sedang belajar.
Satu
hari ia datang ke rumahku. Seperti yang sudah-sudah, ia datang mengendarai
sepedanya (waktu itu dia belum punya motor). Jarak dari rumahnya ke rumahku
kurang lebih satu jam dengan motor. Nah, kalau sepeda? Yah, kaubayangkan
sendiri sajalah.
Handuk
kecil merah beladus-nya tidak alpa
dibawa. Ia menghapus keringat di wajah dan sebagian tubuhnya. Wajahnya lelah,
tetapi tampak puas. Aku penasaran. Kurasa tak perlu waktu lama untuk
mengetahuinya.
“Ini,”
katanya sambil memberikan dua buah buku. Ya, buku zakat dan wakaf itu. Aku
melongo. Aku nggak memintanya membawakan buku atau apa. Ya, memang aku perlu,
tapi aku tidak menyuruhnya mendatangkan buku itu.
Mawar
(bahahahak, Mawar!) memang suka begitu. Ia bisa tiba-tiba datang membawakan tas
ransel besar saat tahu aku mau ke Baduy tapi nggak punya tas yang cukup untuk
menampung baju tiga hari. Di rumahku cuma lima menit! Ngasih tas terus
pulang—padahal dia sendiri harusnya menyiapkan diri untuk ke Kalimantan waktu
itu. Hari lain dia pagi-pagi ke rumah cuma untuk ambil ponselnya yang
ketinggalan. Habis itu pulang.
Begitu
juga waktu dia membawakan kedua buku itu. Dia datang begitu saja tanpa aba-aba
dengan dua buku itu mengisi tasnya. Tentu aku begitu senang.
Yuhuuu~ Mas Irwan Bajang~ Ini bener harus
lima ratus kata? Duh, aku takut kebanyakan ngomong tentang Mawar
(hahahaha!) iniiih… . Kebanyakan mengingat nanti jadi gawat. Haloooo, Mas
Irwan… . *lambai kamera*
Huft.
Mari
lanjutkan saja. Buku itu—sebagaimana buku apa pun—kerenlah, ya. Memberi
informasi, dan seterusnya.
Udah lima ratus kata? Belum? Oke, ngoceh
lagi.
Belakangan
aku tahu dari kawan-kawan, sebelum kedua buku itu sampai di tanganku, Mawar
(ya, ampun! Hahaha!) berkeliling Jatinegara demi mencari buku itu! Ah, Mawar
(hahaha!) keren! Aku belum tentu seniat itu.
Kalau
kamu jadi aku, tentu kamu merasa tersanjung—sekaligus tidak enak. Ya, kan?
Iyalah.
Dia bukan dari keluarga ada. Buku yang ia belikan itu pun bisa jadi bekas
pakai. Namun, kau tentu tahu, yang sudah dia lakukan itu tidak kerdil nilainya!
Aku merasa keterlaluan kalau sampai membuatnya ngebela-belain.
Kautahu,
untuk menulis ini saja aku sulit. Ingatan membuatku babak belur. Aku selalu
merasa aku tidak melakukan apa-apa untuknya padahal ia melakukan banyak hal
untukku. Keterlaluan.
Akhir
cerita, kedua buku itu mesti kembali kepadanya. Lupa aku sebabnya. Sepertinya
kami bertengkar terus aku kembalikan bukunya, deh… .
Ah,
Mawar (hehehe) semoga segala niat baikmu diberkahi Allah. Terima kasih.
Hoy, Mas Irwan. Halo, haloo~ Aku sudah
selesai ini. Sudah, cukup, tidak ada yang perlu diceritakan lagi. Sudah 500
kata. Cukup, cukup. Sekian. Terima kasih.
Berhubung aku tidak punya bukunya, aku lupa fisik buku tersebut. Yang jelas, keduanya berwarna hijau. Yang jadi gambar di sini merupakan gambar yang kupinjam dari google. |
(10 November 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar